Menggenggam Pasir
Oleh : Dhilaziya
Kali ini aku tidak mau berhenti hanya karena tangisnya. Meski sedu-sedannya menyakiti hatiku, aku tak hendak berhenti. Tidak sebelum aku puas mencerca dan memakinya.
Wajah yang beranjak tua, hampir lima puluh tahun. Bintik-bintik hitam memenuhi kedua pipinya. Ditambah ukuran mata yang tak sama antar kiri dan kanan. Disempurnakan dengan deretan atas gigi bagian depan yang tetap meyembul keluar meski kedua bibir sudah dirapatkan. Bukankah tak keliru jika aku juga siap menamainya buruk rupa?
Itu belum seberapa. Bodohnya dia adalah yang paling utama. Dia sudah paham jika keluarganya menolak menganggapnya bagian dari mereka. Tak hanya kerabat dan bahkan saudara sekandung, ibu dan ayahnya saja lebih senang menganggap tak pernah melahirkan dia ke dunia. Lalu mengapa dia masih saja mengais-ngais kasih sayang dan berharap perhatian meski selintas saja? Apa yang didapat selain nyeri?
Nyeri oleh tatapan sinis. Nyeri oleh pandangan menghinakan. Nyeri oleh penolakan entah samar atau terang-terangan. Nyeri oleh kesadaran bahwa dia tak diinginkan.
Padahal sedari kanak dia telah menyerahkan diri kepada peliknya perjuangan agar bisa bertahan hidup. Anak perempuan, paling besar, maka seolah sudah selayaknya jika mesti menanggung beban membantu orangtua. Tamat sekolah dasar saja cukup, sekadar bisa membaca rangkaian huruf. Maka dia patuh saat diperintah menjadi pesuruh di kota. Tinggal menghamba kepada saudara orang sekampung yang butuh tenaga tambahan membersihkan jelaga di rumahnya yang semegah istana.
Begitulah hidupnya. Tahun boleh berganti, bumi tentu tak berhenti berputar, musim berulang, tapi hidupnya bisa dibilang sama saja. Satu-satunya yang berubah adalah perubahan majikan. Anak tuannya yang pertama tak sudi lagi memperkerjakan dia, tak mau harus hidup bersama orang yang tampilannya membuat sakit mata. Dia terseok mengadu pada orangtua, yang segera saja sigap membantunya. Mencarikan juragan baru, sebab penghasilan bulanannya telah begitu diandalkan.
Seumur dia bekerja, tak pernah sekali pun dia tau berapa dia dibayar untuk seluruh kerja kerasnya. Semua gaji diserahkan langsung dari majikan kepada orangtuanya. Menurut mereka, cukup sebatas membuat perutnya kenyang dan memberi selembar-dua lembar pakaian, asal dia tak telanjang, cukuplah sudah. Dia tak butuh lebih dari itu, dan tak layak meminta melampaui itu.
Dia pernah mengira laranya akan berakhir, tatkala orangtuanya mengabarkan sebuah pinangan. Seorang pria berazam menjadikannya istri. Menggedor hasrat purba yang dipaksanya lesap sekian lama. Tersipu saat waktunya tiba, dia benar-benar menjadi seorang pengantin. Ratu sehari bersama pria berpenampilan pendiam yang lantang menyuarakan ijab kabul, berjanji menjadikannya yang paling dalam sepanjang perjalanan hidup setelahnya.
Pernikahan yang rupanya adalah pintu neraka baru. Tidak perlu kuingatkan padanya bagaimana lelaki itu memukul dan menendang, bagaimana lelaki itu memaksa menyenangkannya dengan cara paling entah dan tak pernah terbayang. Bagaimana sepanjang pernikahan belum pernah dia menerima apa pun kecuali derita. Tidak uang terlebih lagi kasih sayang.
Dia berlari waktu itu, mengiba pada perangkat desa agar diselamatkan, menunjukkan memar dan luka-luka, juga mengisahkan pilu hati tak terperi. Meski sekali lagi dia mesti mengalah, diminta berdamai tak perlu sampai melapor ke polisi, bahwa cukuplah agar hubungan pernikahan ditamatkan saja, demi nama baik entah siapa.
Dia kembali kepada hidupnya semula, menghidupi diri sendiri sebagai sahaya. Bedanya kini dia berkuasa atas upah yang memang miliknya. Kemudian dia mulai bermimpi pada hal baru. Cinta.
Lalu kebodohan demi kebodohan, terulang dan tak membuat jera. Dia mengira yang datang menawarkan angan, setulus hati sepertinya dalam menyayang. Dia sangka yang bersimpuh mengucapkan rindu, adalah sungguh sepertinya yang mendamba temu. Rupanya, tak ada yang beda, seluruhnya palsu. Mereka datang tak lebih hanya karena uang.
Sekarang setelah semua habis, dia ditinggal seorang diri. Limbung mengenang kalung seberat tujuh gram yang diminta Ucok sebagai modal membuka warung, meratap mengingat uang sepuluh juta yang disebut Paiman untuk patungan membayar uang muka rumah, merintih menyadari satu tahun gajinya yang telah diminta di awal oleh Asep ternyata bukan digunakan untuk biaya pernikahan mereka. Lalu yang terbaru, dia meranggas mengetahui Prakoso telah menggunakan KTP-nya untuk mengajukan pinjaman online, dan bukannya untuk medaftarkannya beroleh bantuan di balai desa.
Bahuku berguncang kencang sekeras getar pundaknya. Kami menangis dalam raungan penuh duka lara. Sekali lagi aku melaknatnya, memilih kata paling keji untuk menyakitinya. Tidak lain kulakukan itu agar dia mengerti, bahwa semestinya dia selesai mendamba laki-laki. Bahwa setelah ini, hiduplah untuk dirinya sendiri.
“Kamu itu jelek. Orang liat mukamu aja takut. Nggak akan ada yang mau sama kamu. Tua! Jelek! Miskin! Apalagi yang diharapkan?! Sadarlah! Sadar!”
Aku menyusut air mata agar bisa melihat mata paling nelangsa di dalam cermin. Mataku.(*)
#dz. 18102020
Dhilaziya. Perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.
Editor : Uzwah Anna
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata