Mengelola TBM, Ketidaksengajaan yang Menggembirakan

Mengelola TBM, Ketidaksengajaan yang Menggembirakan

Mengelola TBM, Ketidaksengajaan yang Menggembirakan

Ada dua hal yang selalu ingin mereka—para mentor dan anak-anak TBM—ketahui dari saya. Pertama, apakah saya sudah memimpikan untuk mendirikan TBM ini sejak bertahun-tahun yang lalu?

Percayalah bahwa ini hanyalah sebuah ketidaksengajaan. Ruang TBM yang digunakan itu tadinya saya pakai sendiri untuk menyepi, mengurung diri bersama rak-rak yang penuh dengan buku yang jumlahnya sekitar dua ratusan. Buku-buku itu saya kumpulkan semasa hidup saya, mulai dari yang saya beli karena ingin membacanya maupun karena kewajiban studi. Pada waktu itu saya memimpikan—siapa tahu—kelak saya bisa menjadi seorang penulis. Sampai suatu hari, tiga orang dari anak-anak itu mengetuk pintu ruangan saya keras-keras. Mereka bilang hendak mengerjakan tugas sekolah dan meminta bantuan saya. Esoknya mereka datang lagi untuk mengerjakan tugas-tugas baru dan sekaligus mengajak teman-teman mereka yang lain.

Dari sanalah semuanya bermula, yang  mana saya syukuri pula. Ada sesuatu yang berubah dalam keseharian saya dan saya pun menerimanya dengan senang hati. Entah bagaimana, mereka bisa adem ayem saja menghabiskan waktu di tempat itu bersama saya yang sibuk sendiri di sudut ruangan. Buktinya mereka tidak jera untuk datang lagi keesokan harinya.

Sejak itu kami mulai sering belajar bersama, saya tetap dengan dead line menulis yang saya tetapkan sendiri dan mereka dengan pekerjaan rumah masing-masing.

Setelah PR selesai, agenda selanjutnya adalah membaca puisi. Seru-seruan membaca puisi ini pada mulanya hanya gagasan iseng saya, karena pada waktu itu buku-buku yang bisa mereka nikmati cuma buku puisi. Tidak saya sangka mereka menyukainya dan aktivitas itu pun menjadi agenda rutin yang dipinta oleh mereka sendiri. Setelah pembacaan puisi usai, agenda selanjutnya adalah menari, yang mana saya hanya berperan sebagai penikmat penampilan mereka dari sudut ruangan. Selain kadang-kadang mengurus bagian teknis untuk latihan tari mereka, saya merasa mendapat kehormatan setelah menjadi penonton VVIP bagi setiap bakat yang mereka tunjukkan.

Dalam hati saya berbisik, semoga mereka juga bisa sebebas ini menampilkan siapa diri mereka kepada lingkungannya, tanpa perlu menerima penghakiman di sana sini. Harapan saya pada mereka tidaklah muluk-muluk sampai mampu mengubah dunia atau apa, saya hanya berpikir setidaknya di tempat ini mereka bisa bermain seperti selayaknya anak-anak bermain, tanpa televisi, tanpa video game, tanpa gadget. Hanya ada buku, bola, kertas-kertas origami dan semacamnya.

Dalam satu perbincangan dengan seorang sahabat karib, saya mendapat informasi tentang TBM (Taman Baca Masyarakat). Obrolan santai itu berlanjut serius dan pada akhirnya kami memutuskan untuk mengubah ruangan belajar bersama kami menjadi TBM. Maka, meskipun kegiatan di ruangan belajar saya itu sudah dimulai sejak November 2016, secara administrasi semuanya baru dimulai pada awal tahun 2017.

Jadi, kalau ada yang bertanya perihal kurikulum atau rencana program dan sebagainya, saya hanya bisa bilang bahwa saat ini kami belum mempunyai kurikulum ataupun perencanaan program yang terstruktur. Semuanya berlangsung atas dasar suka-suka dan tanpa perencanaan. Ide kegiatan muncul pada saat itu juga, baik dari saya, para mentor maupun mereka. Semuanya mengalir begitu saja. Mengingat bahwa saat ini kami sedang mengelola sebuah taman baca (taman: tempat bermain), maka saya rasa hal itu sah-sah saja. Selain itu karena tujuan kami yang utama adalah membuat anak-anak betah datang, membaca dan belajar di sini.

Meskipun terlihat tidak serius dan terkesan main-main, dari 200-an buku pada mulanya, saat ini kami telah mengoleksi kurang lebih 1100 buku di perpustakaan kami. Buku-buku itu adalah hasil dari membangun kemitraan dengan komunitas-komunitas yang relevan dan sumbangan dari para donatur.

Selain aktivitas baca dan peminjaman buku, sejauh ini kami sudah menyelesaikan banyak kegiatan pada semester pertama TBM ini berjalan, di antaranya adalah program bimbingan belajar di mana kami membimbing mereka dalam pelajaran di sekolah; praktik sains untuk membuat kipas angin portabel, kincir air dari DVD bekas, elektroskop sederhana, demonstrasi lava, demonstrasi keajaiban air; membuat prakarya kerajinan tangan misalnya bunga dari tali plastik, diary berbahan dasar koran, pot/wadah pensil dari botol bekas, membuat berbagai dekorasi untuk ruangan TBM; mementaskan satu grup storytelling di acara perpisahan RA; dari kelas tari kami membentuk grup menari yang telah berani pentas di acara perpisahan RA—yang terkini mereka diundang menari di acara pernikahan tetangga sekitar; dari kelas menulis kami telah membuat banyak karya antara lain puisi, cerita pendek, gambar, dan komik yang disusun dalam sebuah buku yang dicetak sendiri; dan untuk bersenang-senang, kami membuat film pendek dan video-video pembacaan puisi, tutur sastra dan sebagainya.

Untuk semester kedua tahun ini, karena saya pikir pada semester lalu kami telah belajar mengenal, memahami, membuat, mengevaluasi, membuat lagi, mengevaluasi lagi melalui kelas-kelas yang kami selenggarakan, kenapa tidak jika anak-anak TBM dibimbing lagi untuk membuat video-video menarik sekaligus belajar mempublikasikannya ke internet. Atas keinginan itu, kami pun bersegera membuat akun di Youtube sebagai wadah penampung kreativitas mereka.

Pemikiran demikian muncul ketika saya memikirkan permainan yang sering dimainkan anak-anak. Permainan tersebut berupa sekumpulan tantangan yang diselesaikan dalam tingkatan-tingkatan tertentu. Melihat betapa betahnya anak-anak melakukan permainan tersebut, saya lantas berpikir kenapa tidak konsep belajar di TBM meniru konsep yang ada pada permainan tersebut.

Jika pada semester lalu metode belajarnya adalah mentor mengajarkan atau mendemonstrasikan sesuatu kemudian mereka melakukan tanya jawab dan akhirnya mencontohkan apa yang telah dipelajari. Mengapa tidak semester ini paradigmanya ditingkatkan ke level yang lebih tinggi, yaitu mentor bersama-sama dengan mereka dalam mencari ide cerita, tari kreasi atau demonstrasi sains terlebih dahulu dari berbagai referensi. Bisa dari membaca buku, menonton video-video edukatif atau bisa juga dengan tukar pendapat antara satu sama lain. Jika ide utamanya sudah didapatkan, mulailah mereka mencoba membuat cerita, gerakan tari atau demonstrasi sainsnya sendiri, dan yang terakhir, membuat video bersama-sama.

Saya terinspirasi dari Sugata Mitra dalam sebuah film dokumenter berjudul Future Learning, ia mengatakan bahwa kita sedang menyiapkan anak-anak hari ini untuk masa depan, sebuah dunia yang tidak kita ketahui. Untuk itu, setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan, yaitu mengajarkan siswa caranya membaca, caranya mencari informasi dan cara untuk percaya pada diri sendiri.

Saya ingin paling tidak menyiapkan dua dari tiga hal yang ia gagas itu kepada anak-anak di TBM. Saya hendak memberi mereka paradigma baru, bahwa belajar tidak selalu tentang datang ke sekolah, menyimak materi dari guru, menghapal dan menjawab deretan soal ketika ujian semata. Sebaliknya, belajar bisa dilakukan di mana saja, kapan saja dan dari siapa saja. Dan bahwa kehidupan itu bukan hanya soal menamatkan sekolah, bersegera bekerja dan menikah melainkan ada sesuatu yang bernama passion, yang layak untuk diperjuangkan.

Pertanyaan kedua, apakah saya selalu bergembira ketika mengelola TBM? Suatu hari anak-anak bertanya perihal mengapa saya mendirikan TBM. Saya mengatakan bahwa saya hanya ingin kalian membaca. Namun di belakang mereka, di dalam pikiran saya sendiri saya mengatakan bahwa semua itu saya lakukan untuk membuat saya bahagia. Bahagia dalam definisi saya adalah bergembira dalam melakukan sesuatu, apa pun itu.

Apakah akhirnya saya selalu mendapatkan kegembiraan? Tidak. Emosi seorang manusia selalu naik turun. Ada kalanya saya menjadi sangat bersemangat dan ada kalanya pula saya hampir ingin menyerah.

Saya merasa sangat gembira ketika melihat anak-anak bersemangat membaca buku dan belajar untuk menyelesaikan tugas sekolahnya dari buku-buku koleksi TBM. Saya juga akan riang sekali ketika anak-anak yang selama ini belajar, berlatih menari atau storytelling itu mendapat prestasi yang bagus di sekolah dan diundang untuk tampil di sebuah acara.

Saat ini, saya melakukan evaluasi pada setiap anak-anak yang mengikuti kegiatan beberapa bulan belakangan dan mengamati perubahan apa yang tampak dari mereka. Beberapa memang tidak begitu terlihat, biasanya bagi mereka yang tidak rutin datang ke TBM. Namun ada pula yang rutin mengikuti setiap kegiatan dan saya bisa melihat adanya perbedaan pada diri mereka yang sekarang.

Misalnya Nisa (kelas 6 SD) dan Nami (kelas 1 SD), pada saat pertama kali kami mengadakan kegiatan baca puisi, mereka tidak fasih membaca dan masih terkesan malu-malu. Saat ini jika mereka diminta membaca puisi, mereka dapat melakukannya dengan baik. Ada pula Zacky, Viroza dan Jeny yang menemukan tempatnya untuk berlatih tari, membaca dan membuat puisi. Viroza dan Jeny nampak berbakat menulis puisi sedangkan Zacky lebih bagus ketika diminta membaca puisi, dan ia juga paling mahir menari ketimbang yang lain. Lebih dari itu, ia pun bisa membuat gerakan tarinya sendiri. Ia hanya butuh persetujuan kami sebagai mentor untuk memastikan bahwa ia sudah menciptakan gerakan yang tepat atau belum. Adapula Aditya yang saat ini duduk di kelas 3 SD, ia ternyata bisa menulis puisi dan fiksi-fiksinya punya cerita yang sangat menarik—untuk seusianya. Sementara Ulan saya dengar mendapat peringkat empat di sekolahnya pada semester lalu, padahal sebelumnya-sebelumnya ia belum pernah mendapat peringkat setinggi itu.

Dalam suasana yang santai, saya menanyakan kepada mereka tentang apa yang mereka dapatkan dari belajar di TBM. Secara umum, mereka menjawab bahwa mereka menjadi lebih berani dan percaya diri daripada sebelumnya. Saya mengatakan pada mereka bahwa keberanian dan rasa percaya diri yang mereka tunjukkan kepada saya juga semestinya ditunjukkan kepada semua orang. Mengingat-ingat hal ini membuat kami merasa bahwa apa yang kami lakukan selama ini memiliki manfaat bagi mereka.

Namun, ada pula saatnya saya merasa gamang, misalnya saja ketika saya melakukan demonstrasi lava di hadapan anak-anak sekolah dasar. Demonstrasi itu membutuhkan air, minyak dan Adem Sari serta gelas sebagai perlengkapannya. Seperti demonstrasi-demonstrasi lainnya, tentu ada dana yang dibutuhkan. Setidaknya saya menghabiskan lima ribu rupiah untuk hari itu. Secara teori, saya ingin menunjukkan betapa menariknya sains kepada mereka. Dan secara biaya, bagi saya itu sudah minimum. Saya juga ingin memperlihatkan secara khusus bagaimana cara kerja lampu lava yang sedang tren saat itu, sekaligus memberi cara alternatif yang jauh lebih murah untuk membuat barang yang sama. Pada akhirnya, mereka akan belajar tentang konsep fisika dan pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari.

Tiba-tiba salah satu anak menanggapi kegiatan yang saya selenggarakan tersebut dengan bertanya, “Tidak sayangkah dengan bahannya, Mbak?” Saya, siswa tersebut dan siswa-siswa lainnya sadar betul bahwa setelah kegiatan ini, semua bahan tersebut akan menjadi sampah. Sementara ada banyak orang mati-matian memperoleh bahan-bahan tersebut untuk bertahan hidup.

Kali lain saya merasa terganggu ketika pada suatu kali ada anak-anak yang sedang mengerjakan prakarya, memenuhi tugas dari guru sekolah mereka. Di TBM tersedia setidaknya alat dan bahan yang mereka butuhkan dan tempatnya relatif mereka sukai, sebab saya tidak memarahi mereka jika barang-barang berserakan. Selama mengerjakan prakarya tersebut, saya perhatikan mereka sering menggerutu. Bahwa tugasnya tidak jelaslah, bahwa tugasnya tidak pentinglah, bahwa guru terlalu membuat repot siswanyalah dan sebagainya.

Lalu saya bertanya tentang apa yang mereka kerjakan itu. Mereka menjawab itu adalah tugas prakarya sekolah.

“Pentingnya tugas itu apa sih?”

Seolah sudah menunggu untuk ditanya demikian, salah satu dari mereka menjawab, “Entahlah.” Ditambah dengan embel-embel lain di belakangnya.

“Ya, kalau tidak penting, tidak usah dikerjakanlah. Buat apa menghabiskan waktu.” Supaya lebih dramatis, saya menambahkan, “Lebih enakan main kok.”

“Trus nanti kami gak akan dapat nilai donk,” potong mereka.

“Lagipula apa pentingnya nilai sih?” tanya saya.

“Ya, supaya kami pintar terus supaya kami lulus sekolah terus supaya kami…. Ok, ini penting. Kami paham maksudnya apa, Mbak.”

Setelah itu, saya memilih tidak menanggapi apa pun lagi. Yang terpenting, pekerjaan mereka dilanjutkan dengan damai hingga selesai.

Kali lain saya merasa lelah ketika mereka datang ke TBM hanya untuk bermalas-malasan saja. Saya pikir, selama duduk di bangku perkuliahan, kita hanya belajar apa yang harus dilakukan dan bagaimana caranya untuk menuntaskan kebodohan, sementara musuh terbesar yang hendak kita perangi bukanlah kebodohan melainkan ketidakmauan seseorang mengubah dirinya menjadi seseorang yang lebih baik.

Selama menjadi guru, saya selalu menghadapi dua macam pertarungan. Saya mendorong anak-anak hingga ke tepi batas dalam dirinya dan jika mungkin menghancurkan batas tersebut sembari saya sendiri menghadapi keterbatasan yang saya miliki. Dan dengan menjadi pengelola TBM, saya harus terus menyemangati orang lain untuk belajar sambil terus menyemangati diri saya untuk terus menyediakan sarana dan prasarana untuk mereka.

Mengutip Rita Pierson yang mengatakan bahwa setiap anak berhak menjadi pemenang dan orang dewasa yang tidak boleh menyerah pada mereka, maka akhirnya saya, para mentor dan semua yang turut mendukung keberlangsungan TBM ini harus terus melakukan segala cara untuk bertahan dan menciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk belajar. Kami hanya tahu, bahwa ini semua adalah hal yang benar untuk dilakukan.

Berbicara mimpi, kami selalu membayangkan kelak TBM ini akan menjadi pusat pembelajaran dan pengembangan keterampilan yang lebih besar dan dapat menjangkau anak-anak yang lebih banyak. Di setiap ruangannya ada satu mentor dan sumber daya untuk minat dan bakat tertentu. Kami membayangkan jika setiap anak yang datang dapat merapat ke ruang minatnya masing-masing. Entah itu yang suka tari, menggambar, menulis, belajar, membuat produk fisika atau kerajinan tangan, berlatih berbicara dan sebagainya. Kami selalu berharap bahwa kami dapat menyediakan lebih banyak sumber daya baik itu sarana dan prasarana maupun ketersediaan mentornya, yang barangkali bisa terpenuhi dalam dua atau lima tahun lagi, atau mungkin lebih dari itu.

Meskipun nyatanya tidak selalu berjalan baik, namun ini semua saya awali dari sebuah kegembiraan, berusaha dijalankan dengan kegembiraan dan akan diteruskan dengan kegembiraan pula. Karena itu, biarlah ia mengalir saja.

Keinginan saya sederhana saja, saya ingin setiap orang punya kesempatan yang sama untuk bermimpi dan berani mewujudkannya. Apakah keinginan saya yang sedikit itu sudah terlalu banyak?(*)

Tentang TBM Hesti Mora

Nama TBM      : Hestimora
Alamat             : Jalan Babuttaubah no 81 RT 3 kel. karya bakti kec. Lubuklinggau Timur II

Nama Pengelola TBM     : Yuhesti Mora
Nomor kontak                  : 0812 2220 3693, 087825042024 (Whatsapp)

Untuk melihat daftar kegiatan kami secara lengkap, dapat mengikutinya di akun sosial media berikut:

Akun IG                      : @hestimora
Akun Youtube             : Yuhesti Mora
Halaman Facebook    : Hestimora Peduli

Halaman FB Loker Kita
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan

Leave a Reply