Mengasuh Rasa Bersalah

Mengasuh Rasa Bersalah

Mengasuh Rasa Bersalah
Oleh
 : Siti Nuraliah

Aku tahu, aku telah salah mengambil langkah. Memutuskan untuk meninggalkanmu ternyata menciptakan resah yang begitu membuat gelisah. Aku harus jujur, menyakitimu ternyata juga menyakiti perasaanku. Melukai hatimu, ternyata aku yang begitu merasakan sakitnya.

Waktu itu, pada saat pertemuan kita sebelum semuanya sirna, aku menatap binar bahagia di kedua bola matamu, entah pada pertemuan kita selanjutnya, tatapmu yang memesona itu masihkah menyimpan bayanganku, atau telah tergantikan oleh yang lain. Kamu harus tahu, sebenarnya aku benci keputusanku. Membiarkanmu terbiasa tanpa kabar dariku, membiarkanmu berwaktu-waktu mengasuh rindu, membiarkanmu tanpa kepastian dariku. Aku hanya perlu jeda untuk menenangkan rasa.

“Apa kamu yakin dengan keputusanmu?” tanyamu waktu itu, saat kita berdua menikmati secangkir kopi di ujung hari. Mata indahmu merupa danau.

“Maaf, bila keputusanku terlalu menyakiti hatimu. Percayalah, aku terlalu mencintaimu dan ini caraku untuk menjaga kita berdua.” Kuseret pandanganku yang mulai berkabut. Membuang wajah ke arah lalu-lalang kendaraan di  jalan raya.

Ternyata ada sesak meninggalkanmu saat kita sudah sama-sama nyaman. Mematahkan banyak harapan yang telah berhari-hari kita rencanakan. Bila saat ini, kamu di sana sedang berusaha menenangkan hati, aku di sini sedang membunuh rindu, setiap kali bayangmu menikam.

Konsep jodoh pasti bertemu itu serupa menyesap kopi. Aromanya begitu menenangkan, tapi manisnya yang bertemu pahit menyatu begitu nikmat. Dan konsep cinta tak harus memiliki itu hanya omong kosong, pada faktanya, kita tidak bisa menahan rintih di dada jika melihat seseorang yang amat dicinta bersanding bahagia bukan dengan kita.

Sebelumnya, aku tahu, ada rindu yang selalu menagih temu. Ada jarak yang menanti dilipat. Pada malam-malam yang lengang, syahdu suaramu di ujung telepon yang begitu membuatku candu, kian membuatku semakin takut. Takut untuk menyatakan sebuah perpisahan. Beberapa perempuan akan mengatakan serupa: semua lelaki sama saja, setelah membuat nyaman, setelah memberi banyak harapan, lantas pergi setelah membuat retakan-retakan di hati.

Aku setuju kalimat itu. Namun, wahai makhluk Tuhan yang bernama perempuan, terkadang laki-laki menorehkan luka bukan dengan sengaja. Terdengar egois memang, tapi percayalah ada alasan-alasan yang begitu logis.

Aku tahu, perempuan selalu butuh kepastian, maka dari itu, aku tidak ingin membuatmu semakin menunggu. Membuatmu tersiksa kala rindu butuh ditenangkan dengan bersua. Saat cemburu membuat gundah. Saat prasangka-prasangka membuat curiga di antara kita.

“Ayahku menunggumu untuk melamarku.” Kata-kata itu tidak pernah sekali pun absen dari setiap percakapan kita.

“Tunggu aku menyelesaikan pendidikanku dulu, ya!” pintaku dengan hati-hati agar tidak menggores lebih banyak lagi lubang di hatimu.

Mendengar jawabanku, kamu diam dengan senyum yang sedikit dipaksakan. Sungguh, itu menjadi pemandangan yang membuatku selalu merasa bersalah. Membuatku semakin merasa bahwa kamu tidak bahagia.

“Berapa lama lagi?” Kamu bertanya dengan suara bergetar. Masih kuingat jari-jari lentikmu memainkan sendok, mengaduk minuman yang sama sekali belum kamu sesap sedikit pun.

Aku menghela napas. “Belum ada kepastian tentang waktunya.”

Aku yakin, jawabanku membuat satu lagi titik lubang di hatimu. Dapat kulihat, satu lelehan berhasil meluncur dengan satu kedipan saja. Kamu mengangguk dengan menerbitkan sedikit lengkungan bulan sabit di bibirmu.

Sekali lagi, aku tahu, perempuan selalu butuh kepastian. Kepastian untuk segera dihalalkan, atau kepastian untuk ditinggalkan. Lantas aku sadar, aku telah terlalu lama membuatmu menunggu. Aku telah terlalu lama menarikmu menjauh dari Rabb-ku. Maka dari itu, memilih meninggalkanmu, adalah keputusan besar yang kubuat setelah pemikiran panjang. Agar aku tak lagi dihantui rasa bersalah sebab telah banyak yang kita tinggalkan hanya demi hasrat rindu yang tak terelakkan.

Satu titik lubang bersarang lagi di hatimu, entah berapa banyak luka yang tak kasatmata. Aku merasakan juga, setelah bermalam-malam mataku terjaga tak mau terpejam. Setelah keputusan-keputusan yang kubuat, bagaimanapun aku harus tetap mengambil satu kesimpulan.

Selamat tinggal, Sayang, ternyata tidak ada perpisahan yang tidak pernah meninggalkan luka. Setidaknya aku sudah lega, tidak ada lagi tuntutan, tidak ada lagi harapan selain kepada Sang Pemberi Harapan.

Sampai jumpa di hari di mana kita disatukan dengan ikatan halal, atau di suatu tempat di mana kita sama-sama telah rela saling melepaskan dengan sangat  ikhlas.

***

Banjarsari, 26 Mei 2020

Siti Nuraliah, perempuan sederhana penyuka sastra. Kadang suka menulis, kadang suka membaca. Penulis amatir yang selalu berusaha memperbaiki tulisannya.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

 

Leave a Reply