Menemui Masa Lalu

Menemui Masa Lalu

 

Menemui Masa Lalu

Oleh: Erien

 

Aku sudah memaafkan lelaki itu. Sudah. Sudah kumaafkan dia sejak pertama kali tahu bahwa apa yang dia lakukan kepadaku adalah satu kesalahan fatal.

Di dalam kereta yang membawaku menuju pinggir kota, aku duduk dengan jari saling meremas. Berkali-kali kulirik jendela. Tidak ada pemandangan menarik yang bisa mengalihkan perhatianku dari rasa gugup luar biasa. Meski kubilang memaafkan, tetap saja ada perasaan yang tidak bisa aku katakan. Mungkinkah itu rasa takut karena sebentar lagi aku bertemu kembali dengan lelaki itu setelah sekian lama aku menghindarinya?

Pemuda bertopi dan bapak-bapak berkumis tebal yang duduk di hadapanku beberapa kali kepergok melirik dadaku. Aku tidak peduli. Memang tanktop hitam dipadu jaket jeans dan celana jeans sobek-sobek yang membungkus ketat tubuhku, membuat kedua bagian itu mudah dinikmati mata lelaki. Kurapatkan jaket hitam sambil tersenyum sinis pada mereka. Cih, dasar lelaki! Semua sama saja.

Kilat nakal mata mereka sama seperti milik lelaki yang bakal kutemui. Aku masih mengingatnya meski sudah belasan tahun berlalu. Saat itu kali pertama aku ditinggal ibu memulung. Gubuk kami di dekat rel kereta api jadi saksi ketika lelaki itu menarikku masuk. Jeritanku teredam riuh rel yang bergetar karena dilewati kereta.

Sakit. Sakit sekali rasanya. Bagian mana yang sakit, perlukah aku jelaskan? Aku menunggu Ibu pulang sambil memikirkan apa perlu kuceritakan rasa sakitku? Tapi, kata lelaki itu sakitnya cuma sebentar. Aku anak perempuan yang kuat dan pintar, pasti bisa menahan dan tidak akan menangis. Begitu katanya.

Kata-katanya benar. Sewaktu jatuh di rel kemarin, aku tidak menangis meski lututku berdarah. Ibu saja yang lebay dan menganggapku tidak bisa membantunya memulung dan meninggalkanku di gubuk. Maka saat itu aku memutuskan untuk diam menahan rasa sakit. Benar juga, setelah tiga hari sakitnya mulai hilang.

Seminggu kemudian semua terulang.

Sebulan kemudian pun sama.

Entah berapa lama kemudian, semua berulang dan terulang berkali-kali.

Suatu hari, aku akhirnya tahu apa yang sebenarnya dilakukan lelaki itu padaku. Guru mengaji yang mengajariku membaca dan menulis mengatakan bahwa perbuatan itu hanya boleh dilakukan orang-orang yang sudah menikah. Jika belum menikah, maka itu adalah dosa besar. Perasaanku campur aduk. Usiaku baru sebelas tahun tapi mendapati kenyataan bahwa apa yang kulakukan adalah dosa padahal aku mulai menikmatinya.

Ketika pertama kali aku berani menolak, satu tamparan kudapat. Untung saja dari jendela yang engselnya sudah lepas satu, Ibu terlihat di ujung gang sedang memanggul karung berisi rongsokan. Lelaki itu bergegas pergi. Ibu tidak menyadari pipiku yang memerah.

Setelahnya, aku memohon-mohon pada warung tegal di ujung gang perkampungan ini agar diperbolehkan membantu apa saja. Aku tidak mau didatangi lagi oleh lelaki itu. Maka, meski hanya dibayar dua piring nasi beserta lauk dan sayur, aku berhasil menghindarinya.

Kata orang, aku tidak cantik tetapi manis. Wajahku menarik. Itu membuat beberapa pengamen dan anak jalanan yang mampir di warung seringkali menggodaku. Senang dapat teman baru, aku mulai akrab dengan mereka.

Keluar dari mulut buaya malah masuk mulut harimau. Ya, mereka ternyata sama saja. Pertemanan itu tidak tulus. Aku dijebak. Mereka memaksaku menerima banyak noda. Ah, nasibku sungguh sial. Sudahlah miskin, dinodai sana-sini.

Salah satu pelanggan setia warung tegal ini bernama Mbak Sinta. Dia selalu datang siang hari karena menjelang malam hingga pagi dia bekerja. Sering aku diberi uang, jajan, bahkan baju yang bagus olehnya. Menurut Mbak Sinta, melihatku seperti melihat adiknya yang tinggal jauh di seberang pulau. Pantas saja beberapa kali dia memelukku dengan sayang. Mungkin untuk mengobati rasa kangennya.

Aku baru tahu kalau Mbak Sinta ngelonte dari bos warung tegal yang bercerita padaku. Sewaktu kutanya artinya, bosku malah menyebut satu kata lain yang intinya aku adalah perempuan pemuas nafsu. Sepertinya bosku lupa kalau umurku masih dua belas tahun. Reaksiku hanya bisa melongo saat itu. Antara percaya atau tidak. Sesaat, wajah lelaki yang pertama menindihku terbayang lagi.

Aku yang penasaran memberanikan diri bertanya langsung pada Mbak Sinta. Benarkah kerjanya seperti itu dan dibayar? Banyakkah bayarannya? Raut wajahnya langsung berubah. Bukannya marah, dia minta izin bosku untuk mengajakku main ke kosnya. Dengan dua lembar merah muda, bosku mengangguk.

Saat jalan bersisian aku berulang kali menghirup aroma wangi dari badan Mbak Sinta. Kulitnya putih, sangat kontras dengan warna kulitku yang gelap. Dia sangat cantik.

Sesampai di kosnya, kuceritakan semua yang kualami pada Mbak Sinta. Mata cantiknya terbelalak seakan-akan tak percaya. Berulang kali dia menanyakan kebenaran ceritaku dan aku mengangguk sebagai jawabannya. Dia semakin kaget ketika tahu aku ingin bekerja seperti dirinya.

“Daripada gituan dapat sakitnya doang, mending dibayar, Mbak. Lumayan duitnya, ‘kan?”

Aku tertawa saat Mbak Sinta bilang bahwa pekerjaannya adalah dosa besar.

“Tanggung, Mbak. Capek aku. Pengen cepet kaya.”

Berdua, kami pindah ke kota beberapa hari kemudian. Ya, aku kabur. Beruntung Mbak Sinta punya banyak teman di kota. Kami segera mendapat tempat tinggal dan Mbak Sinta kembali bekerja. Sementara, aku malah disekolahkan oleh Mbak Sinta. Katanya, aku akan bekerja setelah tamat nanti.

Tak ingin mengecewakan Mbak Sinta, aku belajar giat. Aku harus cepat lulus agar segera bekerja. Meski Mbak Sinta sangat baik, aku tidak mau seperti kacang lupa kulitnya. Aku tahu jika aku bekerja, Mbak Santi juga bakal dapat bagian. Lagipula, aku sudah tidak perawan. Tidak ada yang perlu dijaga.

Lima tahun berjalan sangat cepat. Aku sudah berbeda jauh dari aku yang dulu. Kulitku memang tidak seputih Mbak Sinta, tetapi jauh lebih bersih, eksotik dengan warna cokelat. Wajahku bersih tanpa jerawat yang sering datang saat remaja. Rambutku panjang dan halus. Bukan cuma itu, aku bahkan sudah lulus kejar paket C dan kini saatnya bekerja untuk mengumpulkan uang. Aku mau menabung untuk kuliah.

“Pulanglah.”

Aku mengernyit mendengar perintah Mbak Sinta saat kukatakan bahwa aku siap untuk bekerja.

“Pulanglah. Temui lelaki itu. Kata ibumu, dia sedang sakit dan mencarimu. Pulanglah. Katakan kamu memaafkannya.”

Aku terdiam.

Aku sudah memaafkannya meski tidak bisa melupakan. Apa lelaki itu membutuhkan ucapan langsung dariku?

Yang kuingat, Mbak Sinta memberiku segepok uang dan berkata bahwa dia akan menikah dengan salah satu pelanggannya dan hidup bahagia. Mbak Sinta menyuruhku menghubungi salah seorang temannya jika ingin bekerja. Tentu saja bukan pekerjaan macam ini.

Aku menghela napas panjang.

Keretaku sudah sampai. Hanya tinggal menyeberang rel maka aku sampai di gubuk tempat tinggal kami. Ya Allah, kuatkan aku.

Aku melangkah mendekati gubuk tempat tinggal ibuku dan lelaki itu, lelaki yang biasa kupanggil Bapak.

 

Kotabaru, 18 Agustus 2022

 

Erien. Pembaca yang mencoba ikut menulis. Masih terus belajar agar tulisannya enak dibaca dan mudah dipahami. Kenali lebih dekat di akun FB-nya, Maurien Razsya.

 

(Cerpen ini adalah cerpen yang terpilih di Bulan Agustus. Di cerpen ini, kita bisa seolah bisa merasakan emosi tokoh begitu kuat tentang masa lalunya yang kelam. Endingnya pun terasa begitu natural. Keren.)

 

Editor: Imas Hanifah N.

Leave a Reply