Menemui Bintang
Oleh: Ning Kurniati
Kamu dengar kicau burung kutilang dan waktu melemparkanmu ke suatu masa. Aneh, pikirmu. Padahal sudah bertahun-tahun kamu lupa kejadian itu, tetapi hari ini tiba-tiba saja pikiran itu menyeruak keluar dari sudut tersembunyi, ia seperti kanopi pohon yang menyembul karena waktu.
Kamu pun memikirkannya terus-menerus, mungkin ini pengaruh kebosanan. Ela, setiap bangun dari tidurnya hanya akan menyempatkan bilang, “Jangan keluar-keluar ya, Nek. Tidak boleh. Dilarang sama pemerintah.” Mendengarnya, kamu patuh tanpa kata bantahan. Berbeda dengan di awal-awal dahulu ketika anakmu mulai berkata banyak, melarang ini-itu jangan dilakukan, dan tak lama kemudian cucumu mulai ikut-ikutan, kamu gondok. Rasanya-rasanya semua orang melakukan konfrontasi terhadapmu. Kini, kamu merasa tak punya banyak tenaga untuk mendebat anak-anak yang baru tahu dunia itu.
Sudah lima hari. Bukan lagi bosan yang menderamu, tapi rasanya kamu ingin memarahi orang-orang. Kamu merasa seperti di penjara. Padahal rumah itu kan rumahmu, berdiri di atas tanah yang dibelikan mendiang suamimu. Punya hak apa mereka larang-larang keluar?
Pagi-pagi seperti kebiasaanmu ketika masih gadis, kamu keluar menginjak-injak rumput basah di pekarangan. Sudah lama sekali kamu merindukan hal itu. Rasanya menyenangkan sekali bagimu. Orang-orang belum ada yang bangun, tidak ada juga yang lewat-lewat. Kamu bertanya-tanya, sudah berapa hari ini rasanya kompleks perumahan tidak ribut-ribut, padahal salah satu kesukaan orang-orang ini ribut-ribut, pagi, siang, sore, malam, tak ada waktu untuk menyepi.
Diiringi rasa penasaran, kamu keluar melewati batas yang sudah ditetapkan cucu dan menantumu. Menoleh ke segala arah: rumah tetangga, jalanan, warung kopi depan rumah, dunia benar-benar sepi, pikirmu. Apa yang terjadi?
Bintang, kamu teringat tetangga sekaligus sahabat yang periang itu. Yang senyumnya selalu mengembang, memamerkan giginya yang ompong. Yang untuk menemuinya kamu harus melewati lima rumah berjalan ke arah kiri.
Rohmat, tetangga pertama yang rumahnya terlewati, bahkan jendelanya tak ada yang terbuka. Kamu geleng-geleng kepala, menganggap rumah itu rumah kegelapan. Tak ada kembang di depan rumahnya, tak ada juga rumput liar, benar-benar suram pikirmu. Andai saja Rohmat menikah lagi, pasti rumahnya tak jadi begini.
Memikirkannya, kamu segera berlalu dari sana, dan … oh seperti jodoh yang pasti bertemu, tak disangka-sangka si Bintang sedang berjalan ke arahmu, rambutnya yang kelabu berumbai-umbai disapu angin pagi. Kalian sama-sama tersenyum, gembira sekali, seperti dua orang yang terpisah sekian tahun, lalu dipertemukan kembali hari ini oleh Sang Maha Kuasa.
“Mau ke mana kau, Liha?”
“Saya mau ke rumahmu.”
“Loh, ada apa?”
“Saya kesepian.”
“Heh, kenapa kau kesepian? Kau punya anak, menantu dan cucu, tak seperti saya yang tinggal sendiri, tak ada suami, tak ada anak, apalagi cucu.”
“Saya tidak tahu, Bintang,” jawabmu dengan cemberut. “Saya kesepian ya, kesepian. Memangnya kau tidak kesepian?”
“Tidak. Kenapa saya mesti merasa kesepian?”
“Karena kau sendiri, Bintang, tak punya teman.”
“Kau tak menganggap saya teman, Liha?”
“Bukan begitu maksud saya.”
“Ya, sudah ayo kita ke rumah saya.”
“Ayo!”
Masing-masing menggunakan daster yang panjangnya di bawah lutut, dengan langkah agak goyah kalian berjalan ke rumah Bintang. Diam-diam kamu pun berharap ada makanan di rumah itu, biar bebas makan. Di sana tak ada Ela yang akan rajin sekali menjadi alarm berjalan. Tapi, bintang sudah setua ini, apa ia masih suka memasak makanan yang macam-macam?
***
Dua jam kamu di rumah Bintang. Hampir mencoba semua makanan yang ada di rumahnya. Bercengkerama banyak, mengingat-ingat masa lalu ketika kalian sama-sama muda, mengenang ketika Bintang divonis tak bisa punya keturunan, dan begitu saja pikiran kalian sama-sama tiba di satu pemberhentian, ketika anakmu di suatu hari mencoba masakan Bintang dan berkata, “Nanti kalau saya sudah besar, saya akan membelikan kue-kue yang lebih enak dari ini. Kita akan duduk dan makan sama-sama. Seperti hari ini.”
Ketika pulang, Ela sudah berdiri di bibir jalan, seperti hendak pergi, tapi tak tahu mau ke mana. Kamu pun merasa, anak itu kebingungan mencarimu. Gawat, bibir cerewetnya bakal menjadi-jadi lagi, pikirmu. Dan, benar saja ketika pandangan mata kalian saling bertemu, Ela seperti hendak menyemprotkan isi kepalanya.
Tiga helai masker. Ela memberikan kain itu dan bilang, “Kalau keluar dari pekarangan harus pakai masker, Nek. Nenek tidak boleh lagi menemui Nenek Bintang. Tidak boleh pergi-pergi tanpa saya atau Mama atau Papa.”
Kamu hendak menyahut dan mengatakan ini tidak adil, tidak boleh begini begitu. Tapi tidak jadi, melihat amarah Ela yang membuat mukanya merah dan kaca-kaca air memenuhi pelupuk matanya. Apa salahnya menemui Bintang?(*)
18 April 2020
Ning Kurniati, Perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat dihubungi melalui lin, bit.ly/AkunNing
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.