Menembus Alam Gaib
Oleh : Ina Agustin
Namanya Wawan Kurniawan. Seorang pemuda berpostur tinggi kurus yang duduk di kelas XII itu sering membuat kesal kedua orang tuanya. Ia sering bolos sekolah, berkelahi dengan teman, membantah orang tua, dan sederet kenakalan lainnya. Berbagai nasihat yang dilontarkan tidak mampu menampar hatinya. Namun, kali ini Rini dibuat tercengang saat anak sulungnya menitikkan air mata sembari bertekuk lutut di hadapannya.
“Ibuuu, ampuni aku!”
“Ada apa, Wan?” Wajah Rini dipenuhi tanda tanya.
“Wawan ingin minta maaf atas semua kesalahan Wawan.”
Rini seolah tak percaya. Namun, perasaan itu ia tepis lagi dan meyakinkan diri sendiri bahwa anaknya telah berubah.
“Syukurlah kalau kamu sudah sadar, Wan.” Rini mengusap rambut ikal Wawan.
Wawan mengambil sebuah baskom kecil berisi air, lalu memasukkan kedua kaki ibunya ke dalam baskom tersebut. Ia membasuh kaki Rini dengan hati-hati, lalu meminum airnya hingga tandas.
“Eh, kok, diminum? Kotor Wan!” Rini mengernyitkan dahi.
“Enggak apa-apa, Bu.”
“Tapi, Wan ….”
Wawan memeluk ibunya. “Sekali lagi, maafin Wawan ya, Bu!”
Wawan beserta kedua adiknya lahir dan besar di rumah yang beratapkan daun kelapa kering, berdindingkan anyaman dari bilah bambu, dan berlantaikan pelur kasar, yang terbuat dari campuran semen dan pasir ala kadarnya. Amben merupakan tempat ternyaman saat mereka terpejam. Ayahnya yang bekerja sebagai kuli panggul di pasar tradisional Pandeglang, belum mampu mencukupi kebutuhan ketiga anaknya. Sering kali mereka diejek teman sekolahnya karena sepatu yang sudah koyak, tas yang penuh jahitan tangan, dan seragam yang sudah usang. Hati Wawan tercabik-cabik saat kalimat-kalimat ejekan itu menerobos gendang telinganya.
Aku tidak mau dihina terus!
Untuk yang kedua kalinya, Wawan pergi ke rumah Didin yang berada di kampung sebelah. Sejak berteman dengan Didin, sejak itulah ia mulai berubah. Didin adalah anak almarhum Pak Edi yang berpenampilan bak kiai. Ia memiliki kesaktian yang didapat dari ayahnya secara turun-temurun.
“Din, saya sudah lakukan syarat pertama, terus syarat lainnya apa?”
Didin menjelaskan panjang lebar. Ia melihat kesungguhan pada diri Wawan. Melalui mata batinnya, ia melihat Wawan betul-betul menjalankan apa yang disuruhnya. Pemuda berkulit sawo matang itu berpuasa selama empat puluh hari berturut-turut dan berbuka hanya dengan segelas air mineral dan sepiring nasi putih. Di dalam kamar, dia salat empat puluh rakaat selama empat puluh hari, dan membaca surat Jin sebanyak empat puluh kali tanpa istirahat barang semenit pun.
Di satu sisi, Rini merasa senang melihat perubahan pada anaknya, tetapi, di sisi lain, ia merasa ada yang janggal. Namun, semua itu terbantahkan saat Agus, suaminya, berkata, “Ah, mungkin perasaan Ibu saja!”
Sesuai instruksi, Wawan membakar kemenyan yang ia peroleh dari Didin. Ia memulai aksinya saat langit berwarna hitam pekat, suara jangkrik saling bersahutan, disertai gonggongan anjing dan nyanyian burung hantu yang mencekam. Bibirnya komat-kamit membaca mantra yang diajarkan Didin. Aroma kemenyan menguar. Ia menajamkan penglihatan pada api lilin yang ada di hadapannya. Lalu, saat mengedipkan mata, saat itu pula api padam, dan semua penerangan di rumahnya ikut padam.
“Pak, bangun! Gelap.” Rini menepuk bahu suaminya.
“Nyalain lagi aja, lampunya, Bu! Koreknya di atas lemari.” Kelopak mata milik lelaki berusia empat puluh lima tahun itu kembali menutup.
Rini mencoba menyalakan lampu totok, namun usahanya sia-sia. Setiap kali ia coba, gagal. Akhirnya ia menyerah dan kembali menarik kain panjangnya.
Wawan merasa bangga. Ilmu mematikan api dalam satu kedipan mata, sudah ia kuasai. Lalu, ia masuk ke tahap berikutnya, yaitu ilmu kanuragan yang membuat tubuhnya terpagari. Segala persyaratan dilakoni untuk mencapainya.
***
“Hey, Berengsek! Ngapain lu deketin si Fani? Dia gebetan gue!” ujar Tomi yang mencegat Wawan di sebuah jalanan sepi.
“Bukan gue, tapi si Faninya sendiri yang mau!”
“Halah, udah miskin, belagu lu!” umpat Tomi sembari mengacungkan sebilah pisau.
Tatkala musuh sudah di hadapan, Wawan pantang mundur ke belakang. Pertikaian tak terelakkan. “Nih, rasain lu!” Tomi menusukkan pisau di perut Wawan. Ia terperanjat saat melihat Wawan tak terluka sedikit pun, yang ada, malah pisaunya patah. Akhirnya Tomi lari terbirit-birit. Wawan bangga atas keberhasilannya menguasai ilmu itu. Kemudian, ia menuju tahapan berikutnya.
“Tapi kali ini syaratnya agak ribet, Wan. Kalau kamu melanggar, akan berakibat fatal.”
“Enggak masalah, Din. Aku siap!”
“Oke, untuk persyaratan awal kuberitahu. Selanjutnya, makhluk itu yang akan menuntunmu.”
Wawan ingin bisa mengobati orang sakit melalui ilmu kebatinan. Dengan begitu, orang-orang akan berbondong-bondong meminta bantuannya. Siapa yang tidak ingin sembuh dalam waktu singkat? Terbayang sudah, lembaran kertas berharga bertuliskan angka menghiasi hari-harinya. Kalau aku kaya, tidak ada yang berani menghinaku lagi!
***
Dewi malam menyapa, seolah ingin mengintip ritual yang akan dilakukan pemuda berhidung bangir itu. Pendar cahayanya menerobos celah-celah bilik kamar, menerangi wajah persegi Wawan. Ia duduk bersila di hadapan kemenyan yang mengepulkan asap. Mulutnya komat-kamit membaca mantra, kedua telapak tangan dirapatkan, diletakkan di depan dada, matanya dipejamkan. Beberapa menit kemudian, tiba-tiba muncul seekor hewan panjang bersisik. Suara desisnya mengganggu konsentrasi Wawan hingga ia membuka mata. Ini hanya halusinasi. Wawan terus menghibur dirinya agar tidak takut.
Ia kembali memejamkan mata dan meneruskan ritualnya, hewan itu hilang. Kini, seekor binatang melata bertubuh besar menghampirinya. Ia membuka mulutnya lebar-lebar dan memamerkan deretan giginya yang tajam. Ini hanya halusinasi. Kemudian hewan itu pun raib. Lagi, pemuda itu melanjutkan mantranya, ratusan kalajengking mendekat. Mereka naik ke tubuh Wawan, masuk ke dalam kaos yang dikenakannya, dan, “Aaarrghh, enyah kau semua!” Wawan berpindah posisi.
Sial, hanya halusinasi. Kenapa aku terkecoh?!
Gagal sudah ritualnya malam ini karena konsentrasi terpecah. Wawan bertekad mencoba lagi di malam berikutnya. Aku harus berhasil!
Kedua orang tua dan adiknya sama sekali tidak mendengar jeritan Wawan. Lubang telinga mereka disumpal oleh “para pendamping” Wawan.
Keesokan malamnya, Wawan kembali melakukan ritual. Ia menguatkan hati agar tidak terkecoh, apalagi takut. Bukankah aku sudah punya bekal ilmu kebatinan? Aku bisa mematikan api dalam sekali kedipan mata. Aku pun tidak mempan ditusuk benda tajam. Kenapa mesti takut? Itulah yang ada di pikiran Wawan saat ini.
Wawan menyiapkan keperluan ritualnya. Sama seperti kemarin, ia membakar kemenyan dan menaburinya dengan kembang tujuh rupa, Ialu bersila dan menutup mata dengan khidmat. Berbagai macam binatang menyeramkan yang menghampirinya, sama sekali tidak berhasil menggoda Wawan, sampai muncul seorang perempuan yang sangat cantik nan menggairahkan. “Aku akan melayanimu, Sayang. Ayolah!” bujuk perempuan dengan busana yang memperlihatkan lekuk tubuh dan bagian dada yang membusung itu. Harum aroma tubuhnya membuat kepayang. Ia mengelus dan menciumi dahi, pipi, bibir, tengkuk leher, dan beberapa bagian tubuh pemuda itu. Wawan sempat merasakan sensasi luar biasa saat perempuan itu menggerayanginya. Tapi ia urungkan karena sudah bertekad kuat mencapai tujuannya. Bukankah dengan banyak uang, nanti perempuan akan datang dengan sendirinya? Itulah yang ada di pikiran Wawan. Seketika perempuan itu pun raib, wusss!
“Hahaha ….!”
“Hahaha ….!”
Tiba-tiba muncul sesosok makhluk hitam, tinggi besar. Sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu yang sangat lebat. Matanya melotot, merah menyala.
“Si-siapa kamu?” tanya Wawan terbata-bata.
“Bodoh! Kau yang mengundangku!”
“Ja-jadi kau ….”
“Aku adalah Ifrit yang akan membantumu.”
Jin Ifrit atau disebut juga Jin Afarid, bertugas menipu daya manusia supaya menggadaikan keimanan. Berbagai macam cara digunakan agar manusia tunduk padanya. Jin Ifrit ini dibantu oleh Jin Ammar, Jin Attawabi, dan Jin Qorna. Jin Ammar bertugas mendorong manusia agar tertarik mempelajari ilmu gaib. Sedangkan Jin Attawabi adalah jin pengekor, tugasnya membantu kerja jin lain, dan Jin Qorna adalah jin yang setia mendampingi manusia yang tengah mendalami ilmu gaib.
“Tapi itu semua tidak gratis, wahai anak muda! Kita harus menyepakati perjanjian terlebih dulu! Ada syarat-syarat yang harus kau penuhi. Kau siap?”
“Siap!”
“Jika kau bisa memenuhi persyaratannya selama empat puluh hari berturut-turut, akan kutiupkan ilmu kebatinan ke dalam jiwa ragamu!”
“Apa pun persyaratannya, akan kusanggupi,” jawab Wawan mantap.
“Pertama, sediakan darah dari seekor ayam jantan putih, kemudian teteskan darah itu pada benda ini saat kau melakukan ritual.” Jin itu memberikan gulungan rambut hitam pekat yang dibentuk menyerupai boneka, yang harus dibawa kemana pun Wawan pergi.
Kemudian jin itu mengatakan syarat lainnya yang harus dipenuhi Wawan: kemenyan warna hitam, kembang tujuh rupa, dan tempat khusus untuk melakukan ritual. Jika memang kamar ini tempat yang ia pilih, maka, sejak saat ini, tidak boleh ada yang masuk ke kamarnya selain Wawan. Syarat selanjutnya, ia hanya boleh makan nasi putih saja, tanpa lauk apa pun, di pagi hari. Untuk siang dan malamnya Wawan cukup makan bunga kamboja yang tumbuh di pemakaman umum kampung ini.
“Kalau kau tidak memenuhi salah satu persyaratan, maka akan fatal akibatnya!”
“Maksudnya?”
“Kau tidak perlu menanyakannya! Itu tidak akan terjadi jika kau bisa memenuhi semua persyaratan yang kuminta!”
Wawan mengangguk. Ia merasa persyaratan yang diajukan jin itu mudah dipenuhi.
***
Rini menyapu seluruh ruangan, tak terkecuali kamar anak-anaknya. Setelah kamar adiknya dibersihkan, ia menuju kamar Wawan yang tidak dikunci. Namun, saat membuka pintu, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat. Sang anak telah pulang.
“Ibu lagi ngapain di situ?”
“Enggak apa-apa, cuma mau nyapu.”
“Enggak usah, Bu! Biar Wawan aja ya!”
Wawan masuk ke kamarnya, lalu mengeluarkan kemenyan yang ia beli dari Didin dengan cara mengutang. Ia berjanji akan membayar setelah sukses memiliki ilmu kebatinan hingga mendatangkan banyak rupiah. Awalnya Didin memberikan cuma-cuma, tapi, lama-lama Didin berpikir bisa rugi kalau dia memberi gratisan terus-menerus. Saat Wawan sudah siap dengan keperluan ritualnya, tiba-tiba ia berteriak histeris. Perut Wawan seperti ditusuk-tusuk benda tajam. Ia berguling-guling mengerang kesakitan.
“Cukuuup!”
“Hahaha ….! Itu hukuman untukmu!”
“Apa salahku?!”
“Kau teledor, tidak mengunci pintu kamarmu! Beruntung aku bergerak cepat hingga ibumu tidak curiga!”
Setelah kejadian itu, Wawan lebih berhati-hati. Ia selalu memastikan pintu kamarnya dalam keadaan terkunci.
***
Hari ini adalah hari pertama Ujan Nasional. Wawan berpikir, namun konsentrasinya terpecah saat mendengar suara ribut yang berasal dari “para pendamping” Wawan di ruangan itu. Makhluk-makhluk itu berlari-lari di kelas Wawan, sambil bercengkerama satu sama lain.
“Diaaam!”
Semua terperanjat, melihat ke arah Wawan.
“Kenapa Wan? Dari tadi teman-temanmu tidak ada yang berisik, kok,” ujar Bu Laila.
“Ma-maaf, Bu.”
“Bikin kaget aja, lu, Wan! Kita lagi pada fokus, lu malah teriak enggak jelas!”
“Iya, nih, bikin kaget tau!”
“Huuu!” sorak teman-teman Wawan kompak.
Wawan mengisyaratkan kepada para jin itu untuk mencuri jawaban beberapa teman yang terbilang pandai. Yes!
Sepulang sekolah, Wawan mampir ke rumah si penjual ayam yang bernama Pak Pandi. Ia menjual ayam potong yang disembelih sendiri. Wawan meminta darah ayam jantan putih padanya. Namun, hari ini, pagi-pagi sekali, seorang lelaki tua berbadan bungkuk bermata kelam, memborong semua ayamnya hidup-hidup. Alhasil, ia tidak bisa mendapatkan darah itu.
“Emang buat apa sih, Wan?”
“Oh, anu, buat … praktik tugas sekolah di rumah,” jawab Wawan membual, lalu pulang.
“Aaaarrrghhh!”
Jin itu meremas-remas jantung Wawan hingga ia kesulitan bernapas.
“Bodoh! Mana darah ayamnya?”
“Ti-tidak ada. Aku tidak mendapatkannya hari ini.”
“Kenapa kau tidak mencuri saja dari tempat lain, hah? Sudah dua kali kau melanggar perjanjian.”
Wawan menjerit kesakitan, kepalanya bagai dihantam godam. Buliran peluh sebesar biji jagung bercucuran membasahi kain yang membungkus tubuhnya. Sejak itu, setiap hari ia mencuri ayam jantan putih dari tempat yang berbeda. Aksinya tersebut dibantu oleh “para pendamping” Wawan hingga tiada seorang pun yang tahu siapa pelakunya. Untuk menghindari kecurigaan ibunya, Wawan menyembelih ayam itu di tengah hutan, lalu memasukkan darahnya dalam sebuah botol plastik dan mengubur bangkainya. Malamnya, ia kembali melakukan ritual seperti biasanya sampai pukul tiga dini hari, lalu memejamkan mata.
“Wan, bangun, sarapan! Ibu masak lauk kesukaanmu nih.”
“Iya, Bu!”
“Kemarin Bapakmu dapat rezeki lebih, hari ini kita bisa makan enak.” Rini dan kedua adik Wawan duduk di selembar tikar kasar. Ayah mereka sudah sarapan terlebih dulu, karena ia harus berangkat pagi-pagi sekali.
“Wow!” Sepiring balado ikan kembung menggoda selera.
Wawan makan dengan lahap. Ia berhenti setelah bersendawa. Astaga!
“Wan, kenapa?”
Ia berlari ke belakang, ingin memuntahkan isi perutnya, tetapi, gagal. Lalu ia masuk kamar dan menguncinya.
“Dasar bodoh!”
“Ampuuun, aku lupaaa!”
“Aaaarghhh, tolooong!” Tiba-tiba terdengar jeritan keras seorang perempuan di rumah Wawan.
“Hah, siapa itu?!”
“Hahaha ….!”
Gegas Wawan keluar kamar dan menghampiri sumber suara. Ia mendapati adiknya dalam keadaan terkapar. Seluruh tubuhnya membiru, lidah menjulur, dan mata membelalak.
“Tika, bangun, Nak!” pinta Rini sembari mengguncang tubuh anak bungsunya. Air matanya menganak sungai. Lina, anak kedua Rini, ikut menangis histeris.
“Dek, maafin Aa!” Cairan hangat membasahi kedua pipinya, lalu ia menatap ibunya yang penuh keheranan.
“Wan, ada apa sebenarnya?” Rini mengernyitkan dahi.
Wawan tidak menjawab, perhatiannya berpindah pada Ifrit.
“Dasar biadab! Kenapa kau lakukan itu?!”
“Hahaha. Itu hukuman untukmu karena sudah tiga kali melanggar perjanjian! Orang-orang terdekatmu kujadikan tumbal!”
Rini dan Lina keheranan, dengan siapa Wawan bicara? Di hadapannya tidak ada orang lain selain dia dan ketiga anaknya.
“Dasar licik! Kau tidak katakan itu sejak awal!”
“Itu salahmu, setuju begitu saja!”
“Kalau begitu, kubatalkan perjanjian denganmu! Aku tidak mau lagi berurusan dengan kau!”
“Hahaha, enak saja! Tidak semudah itu!”
Lalu jin itu berubah wujud menjadi bayangan hitam yang masuk ke dalam kepala Wawan dan mengacaukan sistem saraf yang ada di otaknya.
“Aaaaarggh! Sakiiiit!” Wawan tersungkur.
“Wan, kenapa? Wan, Banguuun!” Rini menggoyangkan tubuh anaknya.
Sejurus kemudian, suami Rini pulang. Ia bermaksud mengambil sesuatu yang tertinggal. Namun, ia terkejut saat mendapati keluarganya. Lalu Rini menceritakan peristiwa itu pada sang suami.
“Astagfirullah. Ini salah Bapak, tidak menghiraukan kecurigaan Ibu saat itu. Bapak juga kurang peka sama anak sendiri. Maafin Bapak ya.”
“Sudahlah, Pak, semua sudah terjadi. Semoga ada hikmah di balik semua ini.”
Beberapa menit kemudian, Wawan membuka mata. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar.
“Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Wan?”
“Siapa kamu?” Wawan menautkan kedua alisnya.
“Ini ibu, Wan!”
“Ibu? Apa itu ibu?”
“Astagfirullah. Ini ibu yang mengandung dan melahirkanmu.”
Wawan terbahak-bahak, kemudian diam, menangis, lalu tertawa lagi.
Hari-hari Wawan tak lepas dari menyendiri, bicara sendiri, cekikikan, dan termenung dengan tatapan kosong. (*)
Serang, 28 Desember 2020
Ina Agustin, seorang penulis pemula yang sedang belajar merangkai kata mengekspresikan cinta melalui rangkaian aksara.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata