Mencintai Krisan

Mencintai Krisan

Mencintai Krisan
Oleh: Dyah Diputri

Dewasa ini krisan menjadi hal penting dalam dunia literasi. Menanti atau memberi kritik dan saran kepada sesama penulis menjadi salah satu cara untuk mengembangkan potensi diri dalam berkarya. Namun, tidak semua penulis siap untuk menerima krisan tersebut dengan besar hati. Alih-alih mengambil langkah positif untuk memperbaiki naskah, tak jarang penulis malah down sebab karya hasil menguras otak dan tenaga ternyata jauh dari acungan jempol. Ujung-ujungnya mereka baper, semangat menulis turun drastis, dan bahkan yang lebih parah adalah memutuskan berhenti menulis. Wah, sayang sekali, bukan? Padahal bisa jadi kita sedang dalam proses untuk menjadi penulis hebat.

Ada beberapa tips untuk menghindari acara baper-baperan saat menerima serangan krisan, Teman. Simak, yuk!

1. Menulislah karena kamu ingin menulis. Bukan karena kamu ingin terkenal, mendapat nilai, atau mendapatkan apresiasi orang lain. Lalu, saat kamu ingin mem-publish tulisan kamu, ingatkan diri sendiri. Sudah siapkah kamu menerima sebuah kritikan? Kalau belum, maka perlu kamu cantumkan catatan kaki dalam tulisanmu. Just say “No krisan” atau “Cukup dibaca” atau bisa juga “Gak suka tulisan ini, lewati!”. Terkesan arogan dan tidak ber-attitude, mungkin, tetapi terkadang kejujuran itu lebih penting. Jangan memaksakan diri membuka lapak komentar jika memang kamu tak siap untuk membacanya. Namun, bukan berarti kamu stuck di tempat, ya. Kamu masih bisa jadi silent reader pada karya-karya beken untuk mengumpulkan ilmu. Pelajari dan terapkan!

2. Well, ada saatnya kamu akan mulai berhasrat untuk membuka diri. Ada rasa ingin tahu, bagaimana pendapat orang lain terhadap tulisanmu. Pada momen ini tentu kamu mulai belajar dari teman-teman penulismu bagaimana mereka enjoy menerima krisan tanpa menjadikannya beban. Awalnya pasti sulit manakala karyamu yang ditilik dari berbagi aspek masih banyak kekurangannya. Nyesek, tak terima, mempertahankan ideologi yang terkadang tidak jelas sumbernya, dll. Oke, don’t worry. Itu manusiawi, kok. Kamu cuma butuh senyum, baca semua komentar, lalu tinggalkan.

3. Setelah kamu endapkan beberapa saat tulisan beserta krisan itu, sekarang saatnya menghela napas, Guys. Eits, emang dari tadi nggak napas? Ha-ha. Just kidding!

Oke, balik lagi ke krisan itu. Ada dua tipe kritikan: kritikan yang menjatuhkan dan kritikan yang membangun. Bagaimana membedakannya? Hanya hati yang bersih yang tahu caranya.

Saat hati dan pikiran kamu mulai tenang, kamu pasti bisa memilah mana kritikan yang positif untukmu. Tidak semua hal yang disampaikan dengan ketus, sok menggurui, atau terang-terangan itu berniat menjatuhkan. Mungkin mereka hanya bersikap jujur dengan opini mereka. Dan sudah saatnya pula kamu mulai menemukan kekuranganmu dari kritikan itu. Oh, mereka bilang yang benar begini, tekniknya begitu, caranya begini. Pelajari semuanya. Serap ilmu sebanyak-banyaknya dan mulailah revisi. Percayalah, ketika tulisanmu semakin berkembang, maka secara tidak sadar kamu akan berterima kasih atas usaha mereka menguliti tulisanmu.

“Ambil kritik yang membangun, lalu terapkan itu di kemudian hari. Sampai mereka tak punya sela untuk menyakiti hatimu.”

—Patrick Kellan, Love Code – 113

Pada dasarnya tulisan dan kritikan itu satu simbiosis mutualisme. Tanpa adanya kritikan, tulisan tidak akan pernah berkembang. Tanpa tulisan pun kritikan yang membangun tidak dapat terucap. So, jangan pernah patah semangat. Teruslah menulis walau seribu hujat menantimu. Kelak, saat kau lahap satu per satu kritikan itu, kau akan dikenyangkan oleh karya yang benar-benar bermutu. Keep fight!

 

Malang, 22 Januari 2019.

Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna. FB: Dyah Maya Diputri.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata