Mencintai Diam-Diam
Oleh : Inyong
Aku melangkah tergesa. Di depan sebuah toko buku, pandanganku menelisik ke dalam melalui kaca jendela. Ada buku yang ingin kubeli, tetapi aku belum punya cukup dana.
Tubuhku tiba-tiba terhuyung ke samping. Seseorang menabrakku. Ah, aku yang salah karena tak memperhatikan jalan.
“Heh, kalau jalan pakai mata!” bentaknya.
Pemuda itu menatapku, tajam. Aku terkesima. Ia begitu … tampan.
“Kamu tuli, ya? Diajak ngomong diem aja, huh!” rutuknya.
Aku tahu, pemuda itu pasti kesal. Namun aku tetap diam. Menatapnya lebih lekat. Entah mengapa, meski marah-marah, ia tetap tampak memesona. Mungkinkah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?
Seulas senyum kuberikan untuknya, berharap amarahnya mereda. Namun, ia justru bertambah murka.
“Dasar cewek sinting!” makinya. Ia lalu pergi meninggalkanku yang masih terpaku.
***
Sore itu, aku datang ke taman kota. Duduk di bangku kayu panjang bercat cokelat tua, menunggu kedatangan sahabat yang janji akan datang untuk menemuiku.
Pikiranku melayang, teringat kejadian saat itu. Insiden tabrakan dengan pemuda tampan yang wajahnya tak dapat kulupa.
Meski sepekan telah berlalu, bayang wajahnya terus menari-nari di pelupuk mata.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Mataku terpaku pada seseorang yang duduk di bangku, yang berjarak tiga meter di sebelah kiriku.
Bukankah itu … dia? Pemuda yang menabrakku tempo hari. Batinku melonjak, girang.
Aku menatapnya lekat. Ah, ia tampak lebih tampan dari sebelumnya. Kaus biru langit tanpa kerah dipadu dengan celana jins senada, membuat kulitnya yang putih tampak semakin cerah. Ia memiliki sepasang mata elang. Begitu tajam saat memandang.
“Hayo! Liatin siapa tuh?” Tiba-tiba saja sahabat yang kutunggu-tunggu muncul. Ia tersenyum, menggodaku.
Aku hanya menunduk. Malu. Tak menyangka aku akan tertangkap basah tengah memperhatikan seorang pemuda.
“Kamu suka sama dia?” tanya sahabatku.
Kujawab dengan gerakan tangan, bahwa aku sekadar mengaguminya. Hanya sahabatku yang paham bahasa isyarat yang aku gunakan.
Aku mencintainya diam-diam, namun begitu dalam. Biarlah rasa ini kupendam, sampai batas waktu yang tak dapat diperkirakan.
Aku hanya bergumam, tentu saja hanya di dalam hati.
“Ditanya diem aja. Dia ganteng, ya?” Silvia menowel hidungku.
Aku tertunduk. Mungkin saat ini pipiku memerah karena malu. Silvia memang senang menggodaku. Ah … hanya dia satu-satunya sahabatku. Hanya ia yang menerima kehadiranku apa adanya. Berbeda dengan mereka yang memandangku dengan sebelah mata begitu tahu aku tak dapat bicara.
Kutolehkan kepala ke arah pemuda itu. Hanya sesaat. Lalu kepalaku kembali tertunduk.
“Ayo kita ke toko buku!” ajak Silvia. Tangannya menyentuh bahuku.
Aku mengangguk, lantas bangkit dan berjalan beriringan dengannya, meninggalkan taman, meninggalkan si pemuda tampan.
Kualihkan pandangan sebelum menjauh. Ia masih di sana. Duduk dengan menopangkan kaki kanan di atas kaki kirinya. Tatapannya fokus pada buku di tangannya.
Ternyata ia juga suka membaca. Kekagumanku kepadanya makin bertambah. Tetapi aku sadar, mengharapkannya, ibarat pungguk yang merindukan bulan.
Silvia mengapit lenganku, mengajakku berjalan lebih cepat. Ia tahu aku memperhatikan pemuda itu. Ish! Dasar Silvia, tak boleh lihat aku senang.
“Bangun, Laela! Tak baik bermimpi saat terjaga,” selorohnya.
Aku memutar bola mata. Silvia tertawa menanggapinya. Lagi, ia menepuk bahuku. Aku suka saat dia melakukan itu. Seolah-olah ia sedang menyalurkan semangat untukku.
Aku penasaran, siapakah nama pemuda itu? Ingin sekali aku berkenalan. Tetapi tiba-tiba tebersit perasaan takut. Aku takut ia seperti pemuda lain yang pergi menjauh begitu tahu kekuranganku.
Mungkin aku harus tetap diam. Diam-diam mengagumi, diam-diam memendam rasa, dan hanya bisa memanjatkan doa terbaik untuknya.
Biarlah aku tetap mencintainya dalam diam.(*)
Inyong, ibu rumah tangga biasa. Menulis menjadi kegemarannya sejak satu tahun yang lalu. Tidak ingin jadi penulis, tapi suka jika tulisannya bisa menghibur dan bermanfaat bagi yang membacanya.
Editor : Lily