Mencari Sebuah Kebenaran
Oleh : Elmero_id
“Akhirnya selesai juga.”
Peluhku terbayar impas. Pada akhirnya, aku telah menciptakan sebuah jaringan bertekanan tinggi. Jaringan ini membuka portal berlorong menuju ke masa lalu. Aku akan datang tepat sebelum Ibu membunuh Ayah.
Dua puluh satu tahun silam, katanya Ibu sudah menghabisi ayahku dengan sebuah guci yang dipukulkan. Dia tidak pernah memberitahuku alasan atas pembunuhannya. Orang-orang di sekitarku juga berlaku sama sepertinya. Akan tetapi, aku terbebani dengan status anak pembunuh. Bahkan, orang-orang yang baru mengenalku dan latar belakang keluargaku akan bilang, “Kamu anak pembunuh?”
Fyuh …. Sebuah kalimat mengerikan yang selalu berdengung di telingaku.
“Dirja … makan malam sudah siap, Nak.” Itu ibuku. Melihat perhatiannya terkadang membuatku ragu untuk memercayai kalau dia seorang pembunuh.
“Iya, Bu.” Aku merapikan kembali ruangan pribadi yang dipakai untuk berbagai penelitian. Aku mempelajari semua hal dari buku-buku yang kubeli atau sekadar dari internet dan perpustakaan.
***
“Bu, hari ini aku sudah membuat mesin lorong waktu. Aku akan datang tepat sebelum kamu membunuh Ayah. Adakah pesan yang ingin kamu sampaikan juga kepada masa lalumu?” Ucapanku sepertinya membuat Ibu kehilangan selera makannya. Dia terdiam sesaat sambil menaruh sendok yang digenggamnya.
“Sampaikan saja, kalau aku tak pernah menjadi ibu yang baik untukmu dengan merahasiakan tentang kematian ayahmu.” Dia kemudian bangkit dari tempat duduk dan meninggalkanku sendiri di meja makan, aku tak peduli.
Ibu masuk penjara di usiaku yang ketiga tahun. Selama dia menjalani masa hukuman, aku tinggal bersama Paman dan Bibi. Mereka juga orang jahat karena selalu bilang kalau Ibu tak pernah bersalah. Tapi, kejahatan macam apa yang bisa dibenarkan? Sedangkan atas dosa yang diperbuat oleh Ibu, aku menanggung derita cukup lama. Sampai-sampai keluarga dari pihak Ayah tak mau mengakuiku. Lebih parahnya, mereka memutuskan tali silaturahmi.
Dia kembali usai masa hukuman berakhir, usiaku sudah tiga belas tahun. Masa remaja kelamku dimulai, tidak ada gadis yang mau dekat denganku. Sampai hari ini, aku masih menyandang status jomlo, mengerikan. Terkadang, aku takut dengan sifatnya yang begitu tenang menghadapiku. Apakah dia tengah bersabar atau justru memang dia tipikal orang yang diam-diam menghanyutkan? Jujur, aku takut jika dalam lelapnya tidurku, dia mengendap-endap masuk ke kamar, lalu menancapkan pisau ke perutku.
Hah! Prasangka-prasangka di luar nalar itu kembali menyeruak dalam batinku.
Aku juga kehilangan nafsu makan, rasanya ingin cepat-cepat melewati batas waktu. Agar masa depanku tak semuram ini. Ya sudah, untuk apa harus menunggu besok kalau memang portal itu sudah sempurna? Ibu juga tidak akan mencariku hanya karena hilang pada malam ini.
Aku meninggalkan meja makan tanpa membereskannya, kembali ke ruang penelitian. Semua jaringan sudah dinyalakan lagi dan pengaturan waktu kuatur satu jam sebelum kejadian pembunuhan itu. Aku mulai masuk ke kapsul waktu, terlihat cahaya-cahaya yang seakan menarik tubuhku, terasa sakit sampai mataku tak dapat terbuka hanya untuk menahannya. Jika dalam perjalanan waktu ini aku mengalami kegagalan, setidaknya memang aku pernah mencoba.
***
“Mas … Mas ….” Suara seorang perempuan memanggilku, tubuhku masih terasa berat, tapi kedinginan mulai menusuk tulang. Entah aku baru sampai atau sudah sejak lama terbujur kaku kehujanan seperti ini.
“Mmm ….” Aku mulai mengangkat wajah. Kedua tanganku menjadi penopang tubuh yang mulai bangkit. Saat pandanganku menangkap sosok perempuan di hadapanku, kami terkejut. Dia terjengkang sampai payungnya terlepas dari genggaman.
“Si-siapa kamu? Kenapa wajahmu mirip dengan Mas Jauzan?” tanyanya gelagapan.
Aku bangkit dan mengulurkan tangan. Saat dia sudah meraihnya, aku berkata, “Dirja.” Sontak membuatnya lebih terkejut sampai mengerutkan dahi keheranan.
“Dirja?” katanya segera bangkit. Kami kemudian saling berhadapan.
“Aku datang dari masa depan.”
Jdar! Suara petir dari langit menggelegar. Drama macam apa ini? Sampai semesta ikut andil menghiasi suasana.
“Dirja … Di-Dirja, anakku sedang tidur sejak sore.”
Dia tampak kebingungan. Jadi, kutegaskan sekali lagi kepadanya.
“Aku Dirja. Datang dari masa depan untuk menyampaikan sesuatu.”
“Kalau begitu, mari masuk. Biar kita berbicara di dalam.”
Ya. Sejujurnya, aku mulai merasa kedinginan. Saat sampai di depan teras rumah, dia memintaku untuk menunggu sejenak. Rupa-rupanya dia membawa handuk dan baju milik ayahku. Dia bilang, “Kamu keringkan dulu baju basahmu lalu ganti di kamar mandi, sementara aku membuatkan teh hangat.” Dia kembali masuk ke dalam.
Aku membuntutinya dari belakang dan bertanya, “Di mana kamar mandinya?” Jelas aku memang tidak tahu, karena di masa depan aku tidak tinggal di sini. Dia masih kebingungan sepertinya, sampai-sampai tak menjawab pertanyaanku. Setelah hampir menuju dapur, dia menunjukkan pintu kamar mandinya.
“Itu kamar mandi di sana. Kamu bisa ganti bajumu.” Dia kembali berjalan menuju dapur, tapi aku tak beranjak menuju kamar mandi, malah membuntutinya lagi.
Dia semakin gugup, sepertinya makin ketakutan. Saat menyalakan kompor gas, dia memutarnya berkali-kali hingga api menyala. Kubilang kepadanya, “Hari ini kamu akan membunuh ayahku, Dera.”
“Apa?”
“Kamu membunuhnya dengan sebuah guci. Jadi, aku datang ke sini untuk memperingatkanmu. Aku di masa depan menderita karena ulahmu!” Mataku terasa perih, sepertinya aku akan segera menangis.
“Tidak. Itu tidak mungkin. Bagaimanapun perlakuan Jauzan kepadaku, aku tidak mungkin membunuhnya.” Dia berbalil badan menghadapku. Wajahnya tulus, tak ada kebohongan.
“Tapi, kenyataannya seperti itu. Makanya aku datang ke sini untuk memperingatkanmu. Apa pun yang terjadi, jangan bunuh ayahku.” Aku berbalik badan. Entan mengapa air mataku mulai terjatuh. Aku akan segera ke kamar mandi sekarang. Tubuhku sudah sangat kedinginan. Namun, sebelum kakiku kembali melangkah, aku ingat pesan yang dititipkan Ibu untuk disampaikan kepadanya.
“Sebelum berangkat ke sini, kamu memintaku untuk menyampaikan kalau kamu tidak pernah jadi ibu yang baik karena sudah menghabisi Ayah. Jadi, aku mohon untuk tidak membunuhnya.” Aku tidak tahu bagaimana ekspresinya. Karena usai mengatakan hal tersebut, aku langsung menuju kamar mandi.
Suara teko berbunyi, lalu dari salah satu ruangan terdengar gagang pintu bergerak. Seorang anak kecil berteriak, “Bu, Ayah udah pulang?” tanyanya dengan suara khas seperti kebanyakan anak kecil lainnya, tak jelas, tapi bisa dimengerti. Itu aku ketika kecil sepertinya. Aku pun mengintipnya dari kamar mandi.
“Ayah belum pulang, Sayang. Dirja, kenapa bangun?”
“Dirja kangen Ayah, Bu. Sudah dua hari Dirja engga main sama Ayah.”
Apa? Ayahku tak pulang selama dua hari? Ke mana dia?
“Kalau malam ini Ayah pulang, Ibu kasih tahu kamu. Sekarang, Dirja tidur lagi, ya?”
Kenapa aku begitu terharu melihat perlakuan Ibu kepadaku?
Suara bel berbunyi. Dirja kecil merasa sangat bahagia sambil berteriak, “Itu pasti Ayah.” Dia berlari menuju ke depan diikuti oleh Ibu. Tapi, Ibu berhenti tepat di depan kamar mandi dan melihatku yang sedang mengintip. Dia bilang, “Tolong. Apa pun yang terjadi, jangan keluar dari sini.” Dia pun kembali menyusul Dirja kecil.
“Ye … ye, Ayah pulang.” Aku melihat Dirja kecil memeluk seorang lelaki yang biasanya kulihat di foto. Tapi, tak lama lelaki itu mendorong Dirja kecil sampai terbanting ke tembok dan menangis.
“Mas! Apa-apaan sih kamu?” Ibu tampak memeluk Dirja kecil.
Tatapan Ayah begitu tajam dan kejam. Dia menjawab dengan nada tinggi, “Katakan sama anakmu ini, kalau aku bukan ayahnya!”
Tidak. Dari segi mana pun, garis wajahku sangat mirip dengannya. Kenapa dia bilang seperti itu?
“Cukup, Mas. Dia ini anakmu. Kenapa kamu masih tidak memercayainya?”
“DIAM!” Ayah terlihat emosi. Dia menampar Ibu sampai terbentur meja yang di atasnya ada sebuah guci.
Tidak! Tidak, Bu. Jangan bunuh Ayah. Aku terus mengatakan hal tersebut dalam hati ini. Tapi, kenapa air mataku malah makin deras membasahi pipi?
“Ayah jahat!” Dirja kecil mendorong Ayah. Tapi, sekali lagi Ayah balik mendorong anak kecil tersebut.
Saat Ayah hendak melangkahkan kakinya kembali, dia tiba-tiba berhenti. “Laki-laki mana lagi yang kau sembunyikan?” katanya berbalik badan menghadap Ibu. “Heh! Baru dua hari aku tak pulang, kau sudah menyimpan laki-laki lain? Aroma parfum siapa ini?”
Ibu tak berdaya, dia tak dapat berbicara karena dicekik oleh Ayah. Dirja kecil kembali bangkit untuk menolongnya. “Ayah, lepasin Ibu.” Kedua tangan mungilnya mencoba menarik tangan Ayah yang semakin kencang mencekik, sampai-sampai wajah Ibu mulai memerah.
Tolong. Apa pun yang terjadi, jangan keluar dari sini. Kalimat tersebut terngiang, membuatku kebingungan bagaimana cara melerai mereka.
“AKU BUKAN AYAHMU!” teriaknya kembali mendorong Dirja kecil sampai terbanting. Tangan Ibu terulur seolah ingin menghampiri Dirja kecil yang menangis kesakitan.
“Lebih baik kamu mati saja!” ucap Ayah mencekik semakin kencang.
Kaki dan tanganku bergerak dengan sendirinya. Aku mengambil sebuah guci dan memukulkannya pada Ayah sambil berteriak, “KAMU YANG SEHARUSNYA MATI!”
Kepala Ayah bocor karena pukulanku. Seraya cekikan tangan terlepas, suara Ibu kembali dan berteriak, “Maaas ….”
Tanganku gemetar, guci itu terjatuh. Jadi, aku yang sebenarnya sudah membunuh Ayah?
Cahaya putih mulai luruh di atas kepalaku. Aku melihat waktu pada jam dinding, sama seperti kejadian Ibu membunuh Ayah. Lalu, tiba-tiba tubuhku tertarik kembali pada sebuah perjalanan waktu. Aku tersadar di dalam kapsul buatanku.
“Ibu!” kataku panik, segera keluar dari ruang penelitianku. Namun, sebelum kakiku benar-benar sampai ke pintu, terdengar percikan-percikan dari aliran listrik. Jaringan yang kubuat tiba-tiba meledak.
Aku tak peduli, karena tak ada sedikit pun niatan dalam hati untuk kembali melintasi waktu. Aku hanya ingin tahu alasan atas pembunuhan tersebut. Tapi rupanya pelaku itu adalah aku sendiri.
Aku harus meminta maaf kepada Ibu.(*)
Tashikumaraya, 04 April 2021
Seorang pemimpi kecil yang suka mendongeng bernama elmero_id. Lahir di Tashikumaraya, 18 Mei 1994. Penggemar lagu-lagu Taylor Swift garis keras.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata