Mencari Hamza (Terbaik Ke-5 TL-19)

Mencari Hamza (Terbaik Ke-5 TL-19)

Mencari Hamza 

Oleh: Rosna

Terbaik Ke-5 TL-19

 

Sejak aku mengenal Hamza, aku yakin dia tak akan pernah meninggalkan kota ini. Sedetik pun keyakinan itu tak akan berubah. Saat melihat matanya aku merasakan kekuatan besar dalam dirinya. Seperti bara dalam sekam yang terus ada meskipun apinya sudah padam. Walau kini aku tak bisa menemukannya kembali, di sini.

Aku melangkah di antara reruntuhan bangunan, menyadari bahwa betapa kerusakan benda tak sebanding dengan ruang kosong yang tercipta akibat perang ini. Ingatanku melompat-lompat lalu terhenti kembali kepada Hamza.

Keluarga Hamza terkubur di reruntuhan rumahnya sendiri akibat serangan udara yang dilakukan oleh tentara Israel. Hanya Hamza yang selamat. Dia ditemukan warga dalam keadaan tak sadarkan diri. Tubuh kecilnya penuh luka, tetapi saat terjaga, kobaran di matanya tak pernah padam. Sejak saat itu Hamza tinggal bersamaku di kamp pengungsi Al-Syathi.

Aku seperti anak-anak lainnya, juga tak punya keluarga utuh. Bagi kami, semua orang di kamp pengungsian adalah keluarga. Aku bahkan tak mengenal siapa ayahku. Kata Ibu, Ayah terkena ranjau saat ikut bertempur melawan tentara tersebut. Ibu kini hanya terbaring lemah di pengungsian akibat tulang belakangnya yang sakit.

“Lihat tank-tank itu datang lagi!” teriak Suhayb seraya melambaikan tangan ke arah kami yang tengah bermain bola. Dia mengintip dari balik tembok yang memisahkan jalan dan tempat pengungsian.

“Sur’a! Cepat!” Teriakan Suhayb lebih kencang, menyuruh kami mengikuti langkahnya.

Aku sebenarnya tak terlalu tertarik. Tank-tank itu akan selalu seperti itu. Sesering apa pun kami melemparnya, ia bagai akar yang tertancap menghujam tanah, tak akan pergi sebelum pohonnya ditebang. Bagiku akan lebih baik jika kami tetap bermain dan menganggap kendaraan itu tak pernah ada. Namun, itu tidak bagi Hamza dan Suhayb.

Tanpa perlu diulang Hamza adalah orang pertama yang berada di barisan terdepan dengan tangan penuh mengenggam batu kerikil. Hamza melempar tank-tank itu tanpa henti, meskipun para tentara itu telah mengacungkan moncong senjata ke arahnya. Namun, dia tak peduli. Dia terus melempar hingga tentara itu turun dari kendaraannya.

“Sudah, Hamza! Cukup.” Aku menarik lengannya dan memaksanya untuk kembali ke tempat kami semula.

Hamza menuruti ucapanku walau pandangan matanya tak pernah lepas dari tank-tank yang setiap hari berkonvoi melewati jalan-jalan kami.

Aku masih mendengar sumpah serapah para tentara itu hingga kami sampai ke pengungsian.

“Kau tak tahu, Aziz. Aku melihat orang-orang itulah yang sengaja menghancurkan rumah-rumah kita. Membunuh ayah, ibu, dan kakakku. Tak ada jalan lain, mereka juga harus merasakan apa yang kita rasakan.” Hamza berseru dengan napas yang masih memburu. Aku bisa merasakan kemarahannya, tetapi tak tahu bagaimana caranya agar ini segera berakhir.

Pikiranku terus mengembara saat kembali menginjakkan kaki di sini. Terlebih saat melihat kilauan semangat di mata para anak-anak. Wajah mereka kusam dengan rambut yang mengeras karena sinar mentari, tetapi senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Aku seolah tengah menyaksikan diriku sendiri.

Sudah hampir sepuluh tahun aku meninggalkan kota ini, tetapi tetap tak ada perubahan. Pertempuran tak pernah mengenal kata tamat, yang tersisa hanya air mata dan kehilangan.

Aku merapatkan jaket kemudian menuju ke tenda paling besar tempat semua pengungsi berkumpul.

Di musim dingin ini kebutuhan akan perlengkapan sehari-hari sangat mendesak ; penghangat ruangan, selimut, dan baju hangat. Dan tentu saja makanan hangat. Di Palestina, musim dingin adalah cobaan lain. Suhu akan turun hingga sepuluh derajat Celcius. Bahkan, jika malam tiba suhu bisa mencapai titik beku hingga nol derajat.

Aku mengedarkan pandangan, lalu menarik napas panjang. Ingatanku kembali pada malam saat kami telah bergelung di balik selimut. Tiba-tiba deru pesawat tempur memecah langit. Suara ledakan terdengar begitu kuat. Aku, Hamza, dan Suhayb keluar lalu menatap langit yang telah memerah. Asap membumbung ke angkasa menyebarkan debu dan membuat udara menjadi pengap.

Aku segera mencari tempat berlindung dan menyaksikan tidak hanya satu tetapi banyak pesawat dan helikopter tempur tengah memborbardir bangunan. Suara teriakan dan tangisan bercampur dengan suara roket-roket yang dimuntahkan. Namun, tiba-tiba aku terjatuh karena tidak melihat ada lubang besar di jalan. Kemudian, aku merasa ada benda yang menghantam tepat ke arah punggungku. Aku terseok, berusaha berjalan menjauh dari kekacauan. Aku merasakan tulangku remuk.

Aku memeluk lutut sambil menutup telinga. Darah yang semakin deras tak kuhiraukan lagi. Aku mengedarkan pandangan mencari keberadaan Hamza atau siapa saja yang kukenal. Namun, suara dentuman dan teriakan, debu yang berterbangan, serta malam tanpa rembulan menghalangi pandanganku. Dalam remang-remang aku melihat dengan cepat dinding-dinding rumah hancur dan darah yang mengenang di mana-mana.  Aku tak sadar hingga sebuah pukulan membangunkanku

“Kum, Ziz!  Bangun, Ziz. Alhamdulillah, kamu selamat. Ibumu terus bertanya tentang keberadaanmu.” Hamza tampak senang bertemu denganku. Kemudian, dengan semangat dia menceritakan bagaimana malam itu dia ikut bersama para pemuda untuk menolong warga bersembunyi di tempat yang aman.

Cerita Hamza terhenti saat aku meringis kesakitan. Aku pikir lukaku itu hanya luka biasa, akan sembuh dengan sendirinya. Namun, ternyata aku salah. Aku  bersama ibuku harus dibawa ke rumah sakit besar di Mesir dan dirawat di sana.

Sejak saat itu jalan hidupku berubah. Aku bisa bersekolah dengan tenang dan mendapat kehidupan yang lebih baik.  Walau akhirnya ibuku harus menutup mata di sana

***

Puluhan anak dan para ibu telah berkumpul di pengungsian. Semuanya tampak senang saat melihat kami datang. Aku bersama lembaga swadaya masyarakat datang untuk menyalurkan bantuan yang terkumpul.

Saat tengah memberikan baju hangat kepada seorang gadis kecil, aku terdiam. Sinar dari matanya kembali mengingatkan aku kepada Hamza. Dia menyentuh tanganku lalu bertanya, “Bisakah aku mendapat dua baju, Paman?”

Aku masih memandang wajahnya, mencoba mencari Hamza dalam kilau mata kecilnya.

“Paman, apa kau mendengar aku?”

“Oh … tentu, ada apa?” Aku tergagap lalu membelai rambut hitamnya.

Dia mendekap baju hangat yang kuberikan dan kembali bertanya, “Bolehkah aku mendapat dua baju, Paman? Ayahku sedang sakit, dia sangat kedinginan.”

Pikiranku seolah terbuka. Berbagai kemungkinan terlintas di kepala. Aku segera mengambil satu baju hangat ukuran dewasa dan mengendong gadis kecil itu.

“Sedikit lagi, Paman. Rumah kami ada di ujung jalan.” Gadis kecil itu tampak bersemangat dalam menunjukkan arah.

Aku sengaja mengajaknya setelah meminta izin kepada atasan. Dadaku berdegup kencang dengan pikiran yang terus bertanya-tanya.

Aku mengusap wajah berulangkali saat melihat satu rumah dari papan yang ditutupi terpal. Angin musim dingin berembus lalu menggoyangkan penutup rumah itu.

Tampak seorang lelaki tengah berupaya menghidupkan kayu yang telah disusun untuk dapat menghangatkan rumahnya. Dia tak sadar ketika gadis kecil itu memanggilnya lalu melambaikan tangan ke arahku agar aku mendekat.

***

“La. Bukan. Aku bukan Hamza,” jawabnya setelah mengajakku untuk duduk di rumahnya yang sederhana. Dua buah cangkir sahlab—minuman khas Palestina—tersaji.

“Kau pasti sangat menyayangi saudaramu itu,” lanjutnya lalu menyuruhku untuk mencicipi minuman.

Aku menarik napas panjang, menahan rasa kecewa. Walaupun di Lawal perjalanan aku sudah menduga tak akan mudah untuk menemukan Hamza. Namun, saat melihat sinar mata gadis kecil itu, keyakinanku tumbuh kembali.

“Mohon maaf minumannya lebih banyak tepung daripada susu,” ucapnya dengan pelan. “Tapi … aku mengenal seseorang yang bernama Hamza di sekitar sini. Kudengar dia mau ke perbatasan untuk melihat istrinya yang dirawat di Mesir.”

Aku hanya diam, mencoba mengubur keinginan awal. Nama Hamza adalah nama yang populer, tidak mungkin semua nama Hamza akan kutemui. Aku dibatasi oleh waktu.

***

Sudah hampir dua minggu aku berada di sini. Seluruh bantuan sudah disalurkan kepada yang berhak. Besok pagi kami akan kembali ke Mesir untuk melanjutkan pekerjaan yang lain.

Setelah disepakati kami akan melalui perbatasan Rafah, karena lebih dekat ke Mesir. Selain itu, karena kami tak membawa barang bantuan lagi.

Aku tengah duduk di dalam mobil saat seorang petugas perbatasan memeriksa seluruh dokumen kelengkapan kami. Lelaki berbadan tegap itu bertanya beberapa hal pada atasanku. Aku merasa petugas itu terlalu banyak bertanya, sehingga membuatku sedikit gerah. Berulangkali aku mengitari pandangan untuk mencari objek lain, karena terlalu lama menunggu. Selain itu aku merasa suara petugas itu terlalu pelan, hingga membuat atasanku kerap meminta dia mengulang pertanyaan.

Seketika pandanganku terhenti saat mendengar pertengkaran tak jauh dari mobil kami berada. Seorang petugas tengah menunjuk-nunjuk muka lawan bicaranya dengan keras. Lelaki Palestina itu tak kalah sengit dia memperpendek langkah seolah menantang .

Tiba-tiba suara tembakan terdengar, petugas yang tengah bertanya kepada kami berbalik badan. Aku seketika membuka pintu mobil dan memandang ke arah lelaki Palestina itu.  Dia beringsut dengan tangan mengepal. Beruntung tembakan itu hanya bentuk peringatan.

Lelaki itu menatap tajam lalu hendak melempar sesuatu ke arah petugas. Aku menyipitkan mata, mencoba memfokuskan pandangan. Namun, urusan kami sudah selesai. Sekarang petugas bersuara pelan itu menyuruhku untuk kembali masuk. Aku bergeming terlebih ketika melihat lelaki Palestina itu melempar batu ke arah petugas.

Suara klakson dari supir membuyarkan pikiranku, aku segera masuk. Entah mengapa aku merasa lelaki itu adalah Hamza.(*)

Dumai, 20 Maret 2022

Komentar juri, Maurien:

Rosna punya ide yang lebih realistis, seorang pemuda yang mencari teman lamanya di daerah konflik. Dan ia yakin teman itu masih ada di sana. Meski alasan ia mencari itu tidak spesifik, lebih ke sebagai sahabat lama, penceritaannya lebih wajar dan dengan ending yang tidak memaksa. Emosinya terasa di akhir cerita. Cerita Rosna bisa dibilang membumi dan elegan. Good job.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply