Menata Puing
Oleh: Respati
Di suatu Maret.
Bertemu kembali dengan kamu bisa jadi merupakan anugerah terindah yang pernah kumiliki. Tunggu. Ini bukan judul lagu jadul yang pernah kamu nyanyikan saat perpisahan sekolah. Kamu benar-benar tercipta buatku—andai benar kamu mencintaiku. Tapi senyatanya, aku tak berani lagi mencintaimu sampai kapan pun.
Kamu masih tetap dengan senyum menawan milikmu, berdiri tegak di depanku. Kali ini tidak dengan tangan terkembang—seperti waktu perpisahan kita dulu—tapi dengan kedua tanganmu tersimpan di saku celanamu. Memandang aku masih dengan senyummu yang menawan. Tapi beda makna. Tatapanmu hambar, tidak ada guratan bekas rindu lagi.
Dari kejauhan aku hanya tertegun. Aku bahkan tak ingin lari mendapatimu dan jatuh dalam pelukanmu seperti dulu.
Sekarang, aku hanya sanggup menatapmu dari tempatku berdiri. Hanya berdiri mematung.
“Kal … itu, kan … Bang Maro?” tanya Maria.
Aku masih bergeming, mengalihkan pandanganku ke payung-payung yang terbawa angin. Mendadak cuaca mendung, angin menyapu apa saja di jalanan di depan gedung. Dan aku masih tetap berdiri di tempatku pertama datang. Sementara kamu juga masih berdiri dengan senyum tipis kamu.
“Kal … kamu—”
Aku memilih memutar balik badanku dan batal menghadiri pernikahan Anggia. Maria menyusulku dengan sedikit berlari. Setelah kudapatkan kunci mobil, aku bergerak masuk sebelum sebuah tangan mencegahku.
Aku tergagap menyadari tangannya kini sudah menyentuhku. Darahku berdesir. Gugup dan terlambat menguasai diri hingga beberapa saat.
“Kita harus bicara,” katamu tenang.
“Tapi—”
“Kakak tak ikut. Aku sendiri,” terangmu seolah tahu kekhawatiranku.
Aku mengikuti langkah kamu menuju bangku taman di pinggiran gedung tempat Anggia melangsungkan pesta pernikahannya. Dan takdir juga yang mengantarkan aku dan kamu bertemu di sini. Seharusnya aku pergi lebih cepat.
Bukannya berdiri mematung berpikir antara mendekat atau berlari menjauh.
“Dek ….”
Aku hanya menunduk tak mampu mengeluarkan jawaban walaupun sekadar mengangguk. Dada kiri kembali berdesir. Kamu masih memanggilku dengan panggilan itu. Ternyata kamu masih ingat.
Dengan ekor mataku, aku lihat kamu memainkan kedua ibu jarimu. Sesekali kamu menunduk, tak berapa lama tegak lagi. Kamu dilanda kebingungan merangkai kata setelah cukup lama kita tak pernah bertemu, sejak ….
“Abang minta maaf, Dek.”
Giliran aku mengangkat kepalaku dan menatap parkiran gedung di depan bangku kita. Sesaat kita terbelenggu pikiran kita masing-masing. Memaknai sebuah pertemuan tak terencana.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan.”
“Tapi—”
“Adek sudah bisa melupakan—”
Kamu menoleh cepat, berhasrat meraih tanganku. Aku menghindar cepat. Kamu tidak bisa menjamah tanganku lagi. Bukan karena status kamu yang suami Kak Rumi, tapi karena ….
“Abang merasa bersalah, Dek.”
“Abang sudah benar, mempertahankan akidah Abang. Juga Adek.”
“Seandainya saja Abang—”
“Akan banyak orang tersakiti, Bang.”
“Dan kita memilih menyakiti diri kita sendiri.”
“Itu yang terbaik. Abang menemukan kebahagiaan dengan Kak Rumi.”
“Sementara Adek? Kebahagiaan apa yang sudah Adek dapatkan?”
“Kebahagiaan melihatmu bahagia, Bang.”
“Ini tidak adil. Kamu pantas bahagia, Dek.”
Aku hanya tersenyum menyaksikan langit yang makin gelap. Kupejam mata menanti titikan hujan sore ini.
Airmolek, pengujung malam, 18 Oktober 2018
Dengan nama pena Respati, mencoba menyusun kata mengikat cerita. Aktif di IG: susi_respati dan Wattpad: respatisetyorini
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata