Memory

Memory

Memory

Semburat senja membentang luas sejauh mata memandang. Jingganya membias di atas permukaan laut seolah air asin itu berubah warna. Matahari pun hanya menyisakan sedikit sinarnya yang hampir tenggelam tertelan lautan di hadapanku. Deburan ombak menghantam bebatuan di pinggir pantai menciptakan gerimis yang menyusup ke dalam hati.

Di sini aku berdiri, di sisi tebing paling sepi. Menatap kosong ke arah sunset yang hampir pergi. Tak henti mulutku mengembuskan kepulan asap kental dan pekat dari benda kecil yang terapit di sela-sela jari. Kandungan nikotinnya menenangkan. Sama sepertimu, layaknya candu dalam hidupku. Gadis manis bermata bulat dengan lesung pipi yang selalu membuatku terpesona kala melihatnya. Ada debaran halus yang masih terasa di hatiku kala mengenangnya, tapi rasa perih juga turut mengiringi bahkan mendominasi.

Dua tahun lalu, saat matahari seakan berada di atas kepala, aku bertemu seorang gadis berjilbab biru. Ia berdiri di hadapanku sambil menyeka keringat yang menetes di dahinya. Satu tangannya terangkat berpegangan pada tiang dekat pintu masuk kereta. Gerbong yang semula penuh sesak, kini mulai lengang. Aku dan gadis itu akhirnya mendapatkan tempat duduk. Beruntungnya lagi, dia duduk tepat di sampingku.

Canggung? Tentu saja. Sejak awal tatapanku memang tak lepas dari wajahnya. Jarak sedekat ini merupakan peluang besar bagiku untuk berkenalan. Sayangnya, sifat pengecutku kembali kumat. Jangankan berkenalan, menoleh pun rasanya berat.

Kami bersiap turun di stasiun terakhir, Stasiun Bogor. Sebenarnya, aku masih ingin berlama-lama. Namun, apalah daya. Mungkin belum jodoh! Aku turun lebih dulu ketika pintu terbuka. Tiba-tiba, seseorang mencengkeram tanganku dari arah belakang. Wajahnya memerah saat aku berbalik dan menatap penuh tanya.

“Maaf, Mas. Kakiku kesandung tadi jadi nggak sengaja pegangan. Maaf!” kata gadis itu panik melihatku tak jua mengalihkan pandangan darinya. Jemari lentik itu masih berpegangan erat pada tanganku, secepat kilat ia melepasnya. Dalam hati berteriak girang mendapat kesempatan sebesar ini.

Kejadian itu menjadi berkah tersendiri bagiku. Kami berkenalan dan sering bertemu sekadar untuk menghabiskan sore, menatap matahari yang hendak kembali ke peraduan. Pantai dengan pasir putih serta pemandangan eksotis menjadi saksi bisu bersatunya dua hati yang mencinta. Mia Amelia resmi menjadi belahan jiwaku.

“Kita putus!” ucapnya di suatu sore, masih di pantai yang sama.

“Apa maksud kamu?” aku yang tak siap dengan keputusannya itu mencoba mencari penjelasan. Mata bulat itu terlihat memerah dengan cairan yang tergenang di kelopaknya, siap untuk mengalir di pipi tirusnya.

“Kita sudah tidak bisa bersama. Ada pria lain yang sudah dipilihkan orangtuaku. Maaf!”

Tak ada lagi suara yang terdengar selain isakan tangis darinya. Aku menyesap minuman dalam kaleng, meremasnya, kemudian melemparnya ke sembarang arah. Mia terkejut meski tak ia tunjukkan. Hanya mata yang sedikit membesar pertanda ketakutannya.

“Aku akan datang ke pernikahanmu. Pergilah! Aku tidak akan menahanmu …,” lirihku tanpa memandang wajahnya.

Isakan tadi terdengar samar menjadi tangisan yang menyayat. Ia berlalu dengan meninggalkan jejak di pasir putih tempatku terduduk.

Jejak yang akan terus tersimpan di hati, meski akan terganti gadis lain kelak. Hari itu merupakan hari terakhirku melihatnya. Tak lagi terdengar kabar darinya, bahkan undangan yang kutunggu tak kunjung ia kirimkan hingga detik ini.

Ah! Lagi-lagi aku terbuai kenangan bersamanya. Aku mengisap lagi rokok yang sudah hampir habis.

Harusnya aku tak pernah bertemu dengan Mia jika tahu melupakannya akan sesulit ini. Mungkin tak akan sesakit ini, seandainya ia benar-benar dijodohkan.

Mengapa ia pergi dengan kebohongan itu. Seorang diri berjuang melawan penyakit yang berakhir merenggut nyawanya. Harusnya aku di sampingnya hingga ajal menjemput. Dengan begitu, penyesalanku tak mungkin sedalam ini.

Malam merangkak perlahan menggantikan senja yang sedari tadi menemaniku. Aku beranjak meninggalkan gelapnya malam yang menyelimuti lautan kenangan kami.

“Tenang saja, Mia. Seperti malam yang lalu, aku pasti kembali lagi!”(*)

TNG, 07/02/2018

Raini Azzahra, pecinta cerita romance dan drama Korea. Jika ada saran dan kritik, cari aja langsung di:
Fb : Raini Azzahra
E-mail: veronica160@gmail.com

 

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita