Memories to the West

Memories to the West

 

Memories to The West

Oleh: Putri Khalid


Matanya menatap monumen itu sejak 15 menit yang lalu. Sejak mereka datang dalam rinai tipis mengguyur Berlin. Hal itu membuat rambut kelabu, jas, hingga boot cokelatnya basah oleh hujan musim semi. Sisa tembok setinggi empat meter itu memaku hatinya pada kenangan menyakitkan, pada selembar foto pengantin baru, dan pada wajah yang dirinduinya hingga kini. Meskipun ia juga sangat ingin melupakan suara-suara teriakan dan tembakan, tapi benaknya tak bisa lupa, terutama pada tubuh-tubuh kaku yang ia tinggalkan.

 

***


“Naiklah! Biar aku yang memegangnya!” teriak wanita itu, di belakangnya.

“Tidak! Tentara akan datang sebentar lagi. Menyeberanglah lebih dulu!”

“Tidak tanpamu! Suara Aldene tegas, menolak menyeberangi tembok tanpa kekasihnya.

Dengan cepat wanita berambut cokelat itu mengikat kain gendongan ke punggungnya. Memeriksa sekitar agar tak ada tentara yang datang memergoki mereka.

“Naiklah. Aku akan menyusul di belakangmu, selamatkan ia dahulu.” Nicola mengangkat tubuh istrinya melewati tembok pertama, wanita itu dengan mudah menyelipkan tubuhnya di antara kawat berduri dengan hati-hati agar bayi yang pulas tertidur di dalam dekapannya tak terganggu. Lalu dengan cepat Nicola menyusul istrinya yang menungu.

Susah payah pria bertubuh tinggi besar itu merayapi tembok kedua. Mata birunya mengawasi lampu-lampu di antara pagar berduri yang membentang di sepanjang perbatasan. Tembok itu tampak mengular, membelah dua negara yang kalah perang. Di sekitar mereka, lelaki-perempuan, tua-muda, menyeberang dalam diam, sibuk sendiri-sendiri menyelamatkan diri.

“Cepat raih tanganku,” bisik Nicola meraih tangan Aldene. Hingga mereka bisa melewati tembok kedua yang lebih tinggi.

Saat itu, cahaya dari menara pengawas nyaris menangkapnya, namun Nicola dengan cepat meraih tubuh istrinya dan bersembunyi dalam bayangan tembok.

Jantungnya berdebar dengan cepat, takut ditembak dan akhirnya mati tanpa nama. Persetan dengan fasis, persetan dengan komunis. Mereka hanya ingin kehidupan yang lebih layak.

Dari ia kecil, keluarga Nicola tinggal di sebuah flat kumuh dengan satu kamar hanya dengan upah ayahnya sebagai buruh konstruksi. Tidur berdempetan dengan orang tua dan empat adiknya. Setelah perang dunia berakhir, keluarganya pindah ke pinggiran kota, berharap mendapatkan bagian tanah yang dijatah oleh sekutu Soviet. Kehidupannya masih layak hingga kemudian perang dingin membuat semuanya semakin terpuruk. Kini, ia dan Aldene bahkan tak sanggup membayar sewa flat untuk seminggu. Makan dua kali dengan kentang dan roti adalah kemewahan. Tak ada pekerjaan, tak ada listrik, perang mengikis habis kesempatan hidup yang ada.

Seminggu yang lalu ia masih bersikukuh untuk tinggal di Berlin Timur, menunggu keadaan lebih kondusif, atau melintasi Görlitz ke Polandia. Di sana sedang banyak dibutuhkan tenaga membangun rel kereta api. Namun istrinya menolak untuk bertahan lebih lama. Tidak ada yang tersisa di Jerman timur, sepanjang jalan yang terlihat hanya wajah-wajah murung tanpa harapan, anak-anak kecil ditinggalkan di luar tangga, menunggu siapa saja yang mau memungutnya. Bocah yang lebih besar menyeret-nyeret gerobak kayu di jalanan, menawarkan jasa apa saja yang dapat dilakukan.

Beginilah wajah negara yang kalah perang, menjadi pecundang di tanah sendiri, ditambah situasi perang dingin yang meruncing.


Hampir setiap hari, diam-diam, orang-orang mulai membicarakan pelarian, apalagi setelah kabar akan dibukanya perbatasan Hungaria. Mulai dari kelompok kecil hingga besar, warga yang sudah muak dengan perang seperti Nicola merencanakan eksodus, namun jalur itu terlalu berbahaya. Resiko tertangkap dan terbunuh lebih besar jika diketahui tentara. Bahkan kemarin, salah satu dari pengungsi terpaksa menembak tiga petugas yang menghalangi. Sungguh kacau. Sekarang mereka harus lebih berhati-hati menyeberangi perbatasan.
Satu-satunya cara paling aman saat ini adalah dengan menyeberangi tembok sepanjang 155 km itu. Meski lebih berbahaya karena diawasi lebih banyak tentara, namun lebih dekat dengan Jerman Barat. Mereka hanya perlu memanjat di saat pergantian penjaga, tapi waktunya sangat sempit. Menurut kabar, banyak yang mati, tapi lebih banyak yang berhasil melewatinya. Sebagian rekan mereka tidak ingin bernasib sama, lebih memilih untuk bertahan di Jerman Timur.

Pria tua itu ingat. Malam sebelum mereka memutuskan melintas tembok dan kawat berduri. Nicola dan Aldene masih sempat berdansa, saling memeluk di antara samar suara musik dari radio tetangga. Rasa takut dan tegang menyelimuti mereka malam itu, kekhawatiran akan gagal membayangi wajah pria dua puluh lima tahun itu. Takut mereka tertangkap, dijebloskan dalam penjara atau yang terburuk, ditembak mati saat mencoba melarikan diri.

“Wovor hast du Angst, Scahtz?“ Mata kelabu Aldene seolah melihat bayang ketakutan di wajah suaminya. Namun Nicola tak menjawab apa yang lebih ia khawatirkan esok hari.


“Kau siap berlari ke ujung sana?” bisiknya di telinga Aldene. Bibirnya terasa kering di tengah napas yang tersengal-sengal. Wajah istrinya yang sepucat kapas masih jelas di ingatannya saat itu.

“Kau berlari lebih dulu, ikuti bayangan lampu, tetap sembunyi dalam gelap. Jangan melihat ke belakang!” instruksi laki-laki itu cepat.

Aldene hampir menangis, tapi disusutnya air mata yang bersiap tumpah. Bersiap menunggu perintah.

“Ke ujung sana! Sekarang!”

Dengan jantung berdebar, matanya memindai sosok wanita yang berlari sekuat tenaga, di antara orang-orang yang juga berlari dalam senyap. Di punggungnya, gendongan bayi mereka terikat kuat. Di depan sana, jarak 50 meter bentangan salju itu seolah tak berujung. Bentangan pembatas kawat setinggi 3 meter itu seolah lebih jauh dari yang terlihat.

Nicola hampir tak bisa bernapas.
Belum sampai setengah pelarian, tiba-tiba sebuah suara tembakan datang entah dari mana.

Nicola panik, semua orang yang melintas di malam itu panik. Sebagian dari mereka berlari kembali ke titik awal, bersembunyi di balik bayangan tembok-tembok tinggi, sisanya terus berlari di tengah berondongan peluru. Tentara melihat para pengungsi yang berlari tak tentu arah dan menembaki mereka secara membabi buta, teriakan dan lolongan memenuhi udara.

“Scahtz!” teriak Nicola di tengah suara desingan peluru.

Erangan dan teriakan itu memenuhi telinga, mengaburkan pandangannya.

“Aldene!” teriaknya khawatir.

Ia melihat satu persatu tubuh tumbang, membuatnya tak bisa menunggu lebih lama menahan diri. Dua orang yang dicintainya di depan sana tengah bertaruh nyawa.

Air matanya tumpah, kakinya tak bisa membantah, begitu saja melangkah lebih cepat, tak peduli desingan peluru. Ia begitu saja berlari ke arah tubuh-tubuh yang tergeletak di tengah hamparan salju.

“Aldene!” teriaknya putus asa. Bayangan wanita dengan rambut cokelat itu menari di pelupuk matanya.

Ia melihat sosok itu, sosok yang rubuh di kaki sebuah tiang penyangga, dekat dengan pagar kawat. Sedikit lagi ia akan sampai di tanah merdeka, tapi mata itu perlahan redup, memaksanya untuk berjanji melanjutkan hidup tanpa dirinya lagi.


***

“Aldene … Mein Geliebter ….” bisik bibir keriput itu, air matanya menetes-netes hingga ke dagu. Diletakkannya setangkai mawar kuning di sudut monumen. Tangan tuanya gemetar, menyurut sisa air mata di sudut pipi.

Sepasang tangan mengelus punggungnya, lembut. Membuatnya sadar, ia tidak sendiri. Kekasihnya juga berada di sana, cahaya matanya, semangat hidupnya.

“Kita pulang, Pa?”

Mata itu, mata kelabu yang sama seperti Aldene, sama indahnya. Seolah sosoknya masih hidup hingga kini. Hidup bersama mereka.

“Ya, Sayang.”

Selene meraih lengan ayahnya. Menuntun laki-laki tua itu ke dalam taksi yang telah lama menunggu. Hujan musim gugur mengirimkan simfoni paling indah sekaligus menyedihkan dalam hidup Nicola. Seolah kebersamaanya dengan Aldene hanya berlangsung setahun saja, tapi dalam ingatannya kenangan dansa malam terakhir itu tak akan pernah selesai, seumur hidupnya. []


Putri Khalid. Nama pena dari Sari Saputri Ibrahim. Emak anak (soon) tiga. Domisili di Tangerang Selatan.


Editor: Imas Hanifah N

 

 

*gambar:

tahmitamiba17.wordpress.com

Leave a Reply