Memori

Memori

Memori
Oleh: Lily Rosella

Aku mengenakan kemeja biru muda, mantel dengan kerah berbulu, juga sarung tangan garis-garis yang ikut kubenamkan bersama tanganku ke dalam saku. Berjalan menyusuri tempat-tempat terakhir yang kita kunjungi bersama. Taman hiburan, pasar tempatmu membeli jepitan bermotif ceri putih, juga pohon sakura di taman kota yang letaknya dekat jalan besar. Terkadang, suaramu sayup-sayup terdengar di telingaku, membisikkan sesuatu yang entah apa. Hanya saja itu mampu membuat hatiku ngilu.

Aku menghentikan langkahku. Di sana, di bawah pohon sakura yang bunganya tidak ada, aku melihatmu duduk dengan rambut panjang yang tergerai. Matamu yang sipit sibuk mengamati setiap kata dari balik kacamata berbingkai putih yang kau benarkan sesekali. Lantas cuaca berubah cerah. Bunga-bunga sakura jatuh satu per satu. Ada yang mendarat di atas kepalamu, pundakmu, bahkan berputar sejenak di hadapanmu kala angin berembus lembut sebelum akhirnya jatuh di atas buku tebalmu.

Kau tersenyum padaku, melambaikan tangan tinggi-tinggi dan kemudian kembali sibuk membaca. Saat aku berusaha menyebarang jalan untuk menghampirimu, tak ada kudapati pohon sakura menggugurkan bunga-bunganya. Tak pula ada kau yang duduk di bawahnya sambil sibuk membaca buku. Di sana, hanya ada bongkahan putih bekas salju semalam.

Aku melanjutkan langkahku, menghampiri pohon sakura tempatmu dulu biasa bersantai saat libur kerja. Salju-salju kecil yang telah membeku menghasilkan bunyi gemericik yang berdecak-decak saat terinjak oleh sepatuku. Kau dengan bukumu, itu adalah paduan yang membuatku kesal, namun tidak sekarang. Jika saja bisa, aku ingin memutar waktu, atau mungkin memajukannya dengan harapan kita akan kembali bertemu dan bersama. Menghabiskan waktu-waktu seperti kemarin.

“Apa yang kau lihat?” tanyamu. Ah, bukan. Maksudku hanya bayang-bayangmu yang terasa nyata saja. Berdiri tegap di sampingku dengan tangan yang kau sembunyikan di belakang, jari-jari telunjukmu saling memaut.

“Tidak ada,” jawabku singkat.

Kau bergeming sesaat. Aku melirikmu yang sibuk tersenyum, menatap ke jalan yang lengang. Dari barat angin berembus memainkan mini dress-mu yang berwarna kuning dan terdapat pita di bagian pinggangnya. Rambut panjangmu yang ikal dan tergerai juga terlihat seperti menari-nari, sementara kacamata yang biasa kau kenakan kala membaca buku tak terpasang menutupi mata sipitmu yang cantik, menurutku.

“Itu sudah lama. Kau harus melanjutkan hidupmu,” ucapmu pelan.

Aku mendelik. “Apa?”

“Kita tidak bisa bersama lagi, jadi kau tidak perlu menunggu.”

“Aku tidak mau,” jawabku datar.

“Ini sudah 3 tahun.”

“Aku bisa menunggu kau sampai 100 tahun lagi, atau 500 tahun sekalipun. Itu bukan masalah. Kita akan kembali bersama di kehidupan selanjutnya.”

Kau menggeleng sambil mengerucutkan bibirmu. Sementara di jalan besar, tepat di depan kita, mobil pick-up berderu memecah hening. Aku mengalihkan pandanganku darimu, menatap jalan besar yang mana 3 tahun lalu kau terbujur dengan darah merembas dari kepala. Sebuah kecelakaan yang tak bisa aku lupa meski dalam tidurku. Saat di mana kau hendak menghampiriku yang melambaikan tangan dari seberang sana. Di tangan kananku terdapat sebuah cincin yang sebentar lagi hendak melingkar di jari manismu.

Aku tidak tahu bagaimana pastinya, semua terjadi begitu saja ketika aku membuang pandangan pada kerikil-kerikil kecil dekat sepatuku. Mereka memang tak meminta untuk diperhatikan, aku saja yang ingin begitu. Karena bisa merah pipiku jika terus menatapmu dengan mini dress kuning favoritmu. Hingga hanya dalam hitungan detik suara benturan keras terdengar. Aku mengangkat kepalaku, membelalakkan mata dan menatap jalan besar tempatmu terbujur, sedangkan mobil sedan merah terus melaju.

Dengan hati yang serasa dipenuhi gemuruh, aku berlari menghampirmu, melupakan cincin yang terlepas dari genggamanku, jatuh dan bergelinding entah ke mana. Mungkin ke dalam selokan, atau bergelinding lebih jauh karena tak sanggup melihatmu yang terbatuk disusul darah segar keluar dari sudut bibirmu.

Aku belum sempat mengatakan apa-apa, hanya meletakkan kepalamu di pangkuanku. Kau juga belum mengucapkan sampai jumpa padaku. Tetapi matamu telah terpejam. Kau seolah tidur dengan nyenyak di jalan yang dingin itu.

“Ah, kau bilang aku tak perlu mengingatnya, bukan?” gumamku sambil kembali menatap ke samping.

Kosong. Kau tak lagi ada seperti sebuah bayang-bayang yang memudar dan hilang, atau mungkin seperti manusia salju yang mencair. Apa pun itu, kau sudah tidak ada lagi di sisiku. (*)

 

Lily Rosella, penulis asal Jakarta.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata