Membaca untuk Menulis

Membaca untuk Menulis

Membaca untuk Menulis
Oleh: Fitri Fatimah

Saya lebih dulu menyukai membaca daripada menulis. Dimulai dari membaca kisah Nabi dan Rasul, legenda tanah air, juga komik Gebora di perpustakaan MI (madrasah ibtidaiyah, setara SD). Hingga kemudian berkenalan dengan novel. Saya lupa novel apa yang pertama kali saya baca, tapi pasti teenlit, pasti tentang cinta-cintaan—yang masih jadi genre favorit saya hingga sekarang.

Membaca bisa membawa saya yang seorang anak rumahan, berjalan-jalan ke banyak pelosok tempat, meski tidak secara fisik. Misalnya ke Belitung (ke bangunan SD Muhammadiyah yang reyot), ke Bandung (ke sebuah warnet dengan nama Elektra Pop), atau bahkan ke tempat yang sama sekali fiksi semacam Hogwarts (yang tentu sebelumnya harus melewati Stasiun King’s Cross, peron sembilan tiga perempat terlebih dahulu). Membaca seperti udara, kebutuhan vital. Membaca seperti telur, kacang almond, dada ayam, susu, daging sapi, intinya … makanan dengan protein yang tinggi, sehingga membaca merupakan asupan gizi yang baik untuk otak.

Lalu pada suatu hari di 16 April 2016, Saya pernah ikut seminar yang diadakan BEM Instika yang penyajinya adalah Ahmad Tohari. Dan selain tentunya banyak ilmu yang diperoleh dari ketika itu, ada satu pertanyaan yang diajukan oleh peserta, yang bunyinya seperti ini, “Bagaimana dengan orang yang hanya terus membaca tanpa pernah menulis?” dan jawaban beliau sangat bikin saya terngiang-ngiang bahkan hingga sekarang.

Beliau menjawab, “Kolam yang terus diisi tanpa dikuras akan berlumut, membusuk. Begitu pula dengan pengetahuan yang sudah kita baca, supaya tidak busuk maka tuliskanlah.”

Saya tertohok.

Saya bukannya tidak pernah menulis sejak punya hobi membaca, saya mengisi diary dan kadang menulis cerpen. Hanya saja kalau dipersentasekan, membaca 70%, sementara menulis 30%. Bayangkan. Karena membaca lebih mudah, jelas. Karena membaca lebih menyenangkan, menulis juga menyenangkan. Tapi ya … kadang saya terlalu mikir ruwet ketika menulis sehingga saya jadi tidak menikmati proses menulisnya. Saya selalu menatap dengan tidak puas kepada hasil tulisan saya, kurang anu, kurang anu, jelek, lalu akhirnya kesal sendiri. Lalu akhirnya menyerah. Tetap lebih menyenangkan membaca, pikir saya dengan rutukan.

Tetapi ketika kemudian saya mengobrol tentang ini kepada Kakak, Kakak menjawab dengan memberi analogi yang lain, bahwa katanya membaca itu seperti mengisi perut, makan. Makan, makan, dicerna, lalu sampai di perut. Adapun membaca itu seperti buang air besar. Keduanya jelas sangat berkaitan, dan sama penting. Membaca terus tanpa menulis maka sembelit, bahkan lebih parah usus besar bisa bermasalah. Menulis terus tanpa membaca, maka tulisan tak akan berbobot. Jadi mari, membacalah sebanyak-banyaknya, tapi jangan lupa untuk menuangkannya pada tulisan, supaya juga tidak hanya disimpan sendiri.

Sementara tentang tidak menikmati proses menulis, saya berpikir, mungkin sebaiknya kita (mungkin saja ada yang sehati) jangan terlalu keras terhadap diri sendiri. menulislah sejelek-jeleknya, seberantakan-berantakannya, seasyik dan sesuka hati kita, toh, setelah itu kita masih bisa mengeditnya lagi. Toh masih bisa kita perbaiki sana-sini. Toh kita memang masih sedang belajar.

 

Sumenep, 21 November 2018

Fitri Fatimah, suka membaca. Menulis adalah kegiatan yang baginya wajib dibarengi kopi.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply