Memanusiakan Manusia, Katanya
Oleh : Inu Yana
Bayi merah itu menangis. Kencang, kencang sekali, seakan-akan ada sesuatu yang menggigit bokongnya. Tangisannya yang serupa jeritan melengking-lengking memekakkan telinga, membangunkanku yang tengah lelap dibuai mimpi. Andai dia darah dagingku, mungkin aku akan segera bangkit, bergegas menengoknya. Menggendongnya dalam buaian dan menidurkannya kembali. Sayangnya, dia bayi haram jadah yang dibawa istriku ke rumah ini. Membiarkannya hidup saja sudah beruntung baginya.
Sudah beberapa lama, tangisan bayi itu masih saja terdengar. Semakin lama semakin kencang, membuatku gelisah. Aku tak bisa lagi memejamkan mata karena menahan darah yang semakin naik ke ubun-ubun. Ingin rasanya kuhampiri manusia kecil itu, membantingnya, atau minimal membekapnya biar tak lagi berisik. Namun aku tak mau melakukannya, aku tak mau hidupku berakhir sia-sia di penjara hanya karena bayi sialan itu.
Bayi itu masih menangis. Kini suaranya serak, mungkin karena terlalu lama menangis. Berengsek, ke mana perginya perempuan itu. Aku bangkit, hendak menengok si bayi—Gilang namanya. Sudah hampir lima belas menit bayi itu menangis. Entah haus atau kenapa, tapi ibunya, yang juga istriku, tak juga kelihatan batang hidungnya. Tepat saat aku hendak masuk ke kamar si bayi, pintu depan terbuka. Datang Lestari tergopoh-gopoh dengan tangan menjinjing keresek merah yang berisi sayuran. “Ke mana saja kamu?” tanyaku, yang sebenarnya sudah tahu jawabannya.
Perempuan itu tak menjawab. Hanya berjalan tergesa melewatiku dan masuk ke kamar. Kantong keresek ia lempar sekenanya ke pojok ruangan. Ia kemudian menggendong Gilang dan menyusuinya. Si bayi langsung diam saat mulutnya dijejali tetek. Bayi sialan, sesuatu yang harusnya menjadi jatahku, kini diambilnya seluruhnya.
“Lain kali kalau pergi bawa dia sekalian,” ujarku dari depan pintu kamar. “Berisik tahu, nangis terus bikin sakit kepala, sakit telinga.”
“Ke THT kalau kupingmu sakit. Di Puskesmas ada, tak perlu bayar.” Dia menjawab tanpa menatapku. Benar-benar istri kurang ajar.
“Jawab terus. Masih syukur kalian kuizinkan tinggal di rumah ini.”
“Iya, aku tahu. Tapi apa salahnya, sih, menggendongnya sebentar, biar nggak nangis.”
“Nggak usah pakai disuruh kalau itu memang anakku!”
“Kalaupun Gilang bukan anakmu, dia manusia juga. Sepantasnya dimanusiakan. Kambing saja kamu pelihara, masa kamu setega itu sama bayi.” Kini suaranya serak.
“Kamu pikir, aku membiarkannya hidup, membiarkannya tinggal di rumah ini, memberimu makan biar ASI-mu bisa terus keluar buat netekin bayi ini, bukan bagian dari kemanusiaan? Mikir!”
Aku melihatnya menunduk, tangan kanannya menyeka air mata yang mulai menetes. Perempuan memang bisanya menangis, begitu pun Lestari. Dia seakan tahu kelemahanku. Aku yang tak bisa melihatnya menangis segera berjalan ke luar setelah sebelumnya mengambil sebungkus Gudang Garam di sisi kasur lantai tempatku tadi tertidur.
Aku duduk menyendiri di teras dengan rokok yang terus mengepul. Matahari sudah hampir tinggi. Kambingku yang berjumlah tiga ekor mengembik bersahut-sahutan di kandangnya yang terletak di samping rumah. Mungkin mereka kelaparan karena aku belum memberi mereka rumput. Jangankan memikirkan perut binatang-binatang itu, perutku sendiri juga belum terisi apa pun. Jangankan sarapan pagi, secangkir kopi pun belum Lestari suguhkan untukku. Dia terlalu sibuk dengan bayinya hingga melupakan aku. Kambing-kambing itu terus saja mengembik, memaksaku bangkit dan berjalan ke sisi kanan rumah.
“Makan yang banyak. Jangan berisik, aku lagi pusing.” Begitu kataku saat melemparkan genggam demi genggam rumput ke dalam kandang. Ada tiga kambing di sana. Satu jantan dua betina. Betina yang badannya lebih kecil itu sedang hamil. Aku memberinya lebih banyak rumput segar agar dia makin sehat. Aku mendesah. “Kamu, yang kambing aja hamil ketahuan bapaknya yang mana, lha dia?”
Aku menghela napas, barangkali bisa sedikit melegakan dada yang tiba-tiba terasa sesak. Teringat tujuh bulan yang lalu ketika di suatu malam tiba-tiba Lestari datang ke gubukku. Bagai mendapat durian runtuh, aku yang memang sejak dulu mendambanya mempersilakannya masuk. Menjamunya sedemikian rupa semampu aku bisa.
“Ada apa? Tumben kamu ke sini malam-malam?” tanyaku waktu itu saat kami sudah duduk berhadapan di ruang tamuku yang sederhana.
“Mas, kamu beneran suka sama aku?” tanyanya tiba-tiba, membuatku terpaku sejenak.
“Belum berubah sedikit pun,” jawabku mantap. Gadis yang masih duduk di bangku kelas 3 SMA itu tersenyum. Setelah itu kami terus mengobrol hingga tanpa kusadari hari sudah semakin malam. Gadis itu benar-benar menggairahkan. Setiap tutur katanya seolah menjadi candu untukku hingga aku tak bisa menghindarinya. Semakin malam, kami semakin larut. Tanpa aku sadari sepenuhnya, aku sudah membawanya ke kamarku. Malam itu akan menjadi malam paling indah seandainya petugas ronda bersama-sama warga tak mendobrak pintu rumahku. Kami digerebek, tepat saat aku dan Lestari sedang berpeluh di atas ranjang tuaku. Dan keesokan paginya kami dikawinkan.
Semula aku biasa saja menghadapi pernikahan dadakan itu. Aku hanya berpikir, mungkin ini memang jalan yang dipersiapkan Tuhan untuk mendapatkan Lestari. Usia kami hanya terpaut dua tahun. Aku jatuh cinta padanya sudah sejak gadis itu duduk di bangku SMP. Namun, dia selalu menolak cintaku dengan berbagai alasan. Mungkin dia malu berpacaran dengan remaja putus sekolah yang sehari-harinya hanya jadi kuli bangunan sekaligus menjadi tukang ngarit untuk kambing-kambingnya.
Aku menjalani hari-hari pertama pernikahan dengan bahagia. Hingga akhirnya aku sadari Lestari sudah berbadan dua saat suatu pagi dia mengalami mual-mual yang tak tertahankan. Beruntung aku menemaninya periksa ke Puskesmas, kalau tidak mungkin seumur-umur dia akan membohongiku terus. Dokter di Puskesmas bilang, usia kandungan Lestari sudah masuk minggu kesebelas. Bagaimana bisa, aku menikahinya dua minggu yang lalu.
Kami pulang dari Puskesmas dengan saling diam. Aku hanya berharap lekas sampai rumah agar aku bisa segera menanyakannya pada Lestari. Dan pada hari itu juga aku tahu tujuannya ke rumahku malam itu. Dia menjebakku.
Tiba-tiba sesuatu yang basah menyentuh tanganku. Oh, rupanya si kambing hamil menjilat-jilatkan lidahnya pada tanganku yang terulur ke dalam kandang. Membuyarkan semua kenangan pahit yang semula menggerogoti kepala. Aku tertawa saat kambing itu menjilat sekali lagi. Kuelus kepalanya, mengambilkannya segenggam lagi rumput segar, kemudian berbalik meninggalkan kandang.
Aku masuk ke kamar, berniat mengambil baju ganti untuk mandi. Di ranjang kayu tua milikku, kulihat Lestari terlelap dengan bayi mungil yang sesekali terlihat masih mengisap-isap putingnya. Bagian bawah tubuh Gilang hanya ditutup kain jarik peninggalan ibuku dahulu—sudah dari semalam aku melihatnya. Sepertinya, bayi tiga bulan itu kehabisan celana karena bolak-balik mengompol. Mungkin benar kata istriku itu, kambing saja aku urus kenapa bayi itu tidak. Memanusiakan manusia, katanya. Aku membuka lemari, mengambil baju ganti dengan perlahan kemudian menyelinap ke kamar mandi di belakang rumah. Hari ini aku mau ke pasar dengan sedikit tabungan yang kupunya. Berharap cukup untuk membeli paling tidak setengah lusin celana bayi untuk Gilang. [*]
Cikarang, 23 Maret 2021
Inu Yana, ibu beranak dua penyuka warna biru dongker ini kerap kali dikira galak oleh orang yang baru dikenalnya. Padahal aslinya dia ramah tamah, manis, dan humoris.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata