Memang Bukan Untukku

Memang Bukan Untukku

Memang Bukan Untukku
Oleh : Fathiyya Rahma

Mencoba menyembuhkan luka akibat kehilangan bukan perkara mudah bagiku.
Meski sulit, meski tertatih, aku tetap berusaha.

Sudah hampir enam bulan meninggalkan kota kelahiranku. Menepi sejenak dan melarikan diri dari sakit akibat perpisahan. Kini aku kembali, memberanikan diri menatap jalan-jalan penuh kenangan bersama dia, Mahesa. Selain itu, aku pun rindu dengan Bunda. Pergi merantau untuk menghilangkan bayangan Mahesa membuatku jauh dari Bunda.

Aku berterima kasih pada beliau, sebab telah merawat dengan baik, memberi obat pada sakit yang kuderita dulu. Hadirnya dengan cinta dan kasih sayang mengisi lakuna dalam palung hati. Entah apa yang akan terjadi bila dulu tiada beliau di sisi. Meskipun tetap, pergi menjauh adalah pilihan yang akhirnya kupilih.

Baru tadi pagi aku sampai di rumah. Setelah melepas rindu dengan bercengkerama dalam pangkuan Bunda, aku memutuskan untuk pergi tidur. Lelah akibat perjalanan panjang, juga jujur saja ada denyut yang mencipta nyeri tiap kali kuingat sosok itu. Di rumah ini, kenangan dan bayangan Mahesa makin sering muncul.

Menjelang sore, aku pun bergegas mandi dan bersiap untuk pergi. Rencananya ingin ke Pantai Teluk Penyu. Sebuah tempat indah yang penuh kenangan.

Bunda menggeleng pelan saat aku menghampiri dan memeluk tubuhnya erat. “Mau pergi, Nduk? Apa nggak capek?”

“Kan udah tidur seharian, udah nggak capek lagi, kok. Sekarang Zahra mau pergi jalan-jalan, sekalian olahraga. Mumpung di rumah, refreshing lihat pantai juga, Bun,” ujarku menjelaskan.

Aku berpamitan dengan Bunda lalu mencium punggung tangannya. “Zahra mau pergi dulu, Bun. Nggak lama kok, palingan sebelum magrib udah pulang.”

“Kamu yakin mau ke pantai, Nduk?” tanya Bunda. Alisnya bertaut, tanda sedikit heran.

“Yakinlah, Bun. Dari dulu Zahra kan suka ke pantai, lagi pula di sana pemandangannya indah. Siapa tahu bisa bikin hati lebih bahagia, Bun,” ucapku lembut, lalu menuju halaman mengambil sepeda. “Assalamualaikum, Zahra pergi dulu, Bun.”

‘’Waalaikumsalam. Hati-hati, Nduk, jangan ngebut.”

Aku memang suka ngebut kalau naik sepeda, terpaan keras angin yang menampar wajah memberi kesenangan tersendiri.

Lima belas menit mengendarai sepeda, aku sampai di pantai. Memarkirkan sepeda di sebelah saung. Lalu, mulai berjalan kaki menuju bibir pantai. Sandal yang dipakai sengaja kulepas. Ingin merasakan butiran halus pasir menggelitik kulit.

Sang bayu berembus dengan kencang, membawa sedikit air membuat rambutku lepek. Deburan ombak tak berhenti saling berkejaran, bergantian menyapu kedua kaki.

Aku sangat suka dengan pantai ini, meski bukan pasir putih tetapi tetap indah. Beberapa kapal pencari ikan milik nelayan sekitar bersandar tepat di hadapan. Kuraba pelan, kemudian ingatan kembali ke masa beberapa bulan lalu. Ketika kami berjalan di bibir pantai menikmati deburan ombak dan semburat jingga di cakrawala. Persis sama seperti suasana saat ini.

Ada banyak kenangan indah dengan orang terkasih yang pernah terjadi di sini. Bukan hanya dengan dia, tapi juga dengan almarhum Ayah. Kenangan ketika sewaktu kecil dulu digendong dan dibawa berlarian dengan kaki telanjang.

Tak terasa air mata meleleh, mengingat kembali kenangan bersama dengan orang-orang yang sudah pergi. Tak mungkin kembali, tak mungkin terulang lagi. Berada di sini beberapa waktu memberikan rasa nyaman.

Ketika berjalan pelan tiba-tiba tubuhku ditabrak oleh anak kecil berambut hitam yang dikucir ekor kuda. Dia terjatuh.

“Kamu nggak apa-apa, Sayang? Ada yang sakit nggak?” tanyaku pada si gadis kecil sambil membantunya berdiri.

“Nggak papa kok, Tante,” ucapnya sambil tersenyum manis. Tak lama seorang wanita muda, mungkin seumuran denganku, datang menghampiri.

“Maaf, ya, Mbak. Anak saya, Riska, nggak hati-hati,” ucap si ibu sambil menganggukkan kepala sebagai tanda permintaan maaf.

“Ah, nggak apa-apa, kok, malah saya yang harusnya minta maaf. Gadis kecil yang manis ini jadi jatuh dan bajunya kotor kena pasir.” Aku tersenyum lebar dan mengelus puncak kepala gadis bernama Riska.

Kupandangi mereka pergi menjauh. Ah, andai saja aku sudah menikah pasti senang sekali bisa memiliki putri cantik seperti gadis kecil itu. Entah harus menunggu sampai kapan hingga aku bisa memilikinya. Harapan semakin jauh setelah rencana menikah gagal. Tidak mungkin dalam waktu dekat ini. Aku semakin merindukannya kini, masih berharap dia kembali.

“Zahra …!”

Ada yang memanggil, aku pun menoleh.
Deg!
Apakah ini bukan mimpi? Benarkah yang kulihat ini? Dia … dia yang selalu hadir mengusik tidurku setiap malam. Kini ada di hadapan. Aku berdiri mematung dengan menutup mulut.

“Apa kabar, Ra?” Dia mengulurkan tangan dan tersenyum.

“Ba-baik, kok,” ucapku tak bisa menyembunyikan kegugupan. Ragu dan heran kenapa dia bisa tersenyum. Namun, aku lebih tak mengerti pada diriku sendiri yang justru senang dengan kehadirannya. Sakit yang aku rasa selama ini menguap begitu saja.

Menjabat tangannya membawa perasaan makin tak terkendali. Aku … mendambanya. Bodoh atau gila beda tipis, sama saja pikirku. Aneh sekali perasaan ini. Harusnya kesal atau marah, tetapi bukan itu yang hadir. Oh, Tuhan ….

“Boleh kita duduk bersama?”

Aku mengangguk, tak kuasa menolak.

***

Jika cinta tak mengenal logika, maka inilah yang aku rasa saat ini. Ada luka yang jelas pernah ditorehkan, ada sakit yang pernah dia ciptakan. Ada amarah yang sempat singgah juga ada benci yang dulu diucap. Namun kini lihatlah, hilang tak berbekas. Luka akibat patah hati itu seakan sembuh. Aneh, bukan?

Mataku tak mampu melepas pandang dari wajah pria yang duduk di hadapan. Bibir tak mampu menahan senyum menanggapi ucapannya. Bahkan, tawa yang sudah lama tak keluar kini malah hadir tanpa diminta saat menanggapi leluconnya.

“Makasih, Ra.”

“Untuk apa, Esa?”

Dia meraih tanganku. “Untuk tersenyum dan tertawa bersamaku. Aku pikir kamu masih marah, Ra.”

Kenapa harus diingatkan dengan sikap yang seharusnya dilakukan. Kutarik pelan, melepaskan genggamannya. Suasana hati berubah, bibirku kini melengkung ke bawah. Tak menganggapi ucapannya.

“Kok, malah cemberut?” Kulihat dia menghela napas. “Masih marah ternyata.” Cepat dia mengambil kesimpulan.

Jika dihadapkan dengan situasi seperti ini, sungguh aku tak mampu berpikir. Harus bagaimana menyikapinya. Mendahulukan ego atau menjatuhkan harga diri dengan mengatakan “aku masih mencintaimu, tak mampu untuk benci”.

“Nggak marah, kok, cuman masih ingat dulu,” jawabku pelan. Memilih menyingkirkan ego.

“Jangan ingat kenangan yang pahit. Ingatlah yang manis, Ra. Ada banyak hal indah yang pernah kita ciptakan. Jangan lupakan itu.”

Ucapannya entah bagaimana seperti menyihir. Lagi-lagi aku menurut dan kenangan masa lalu hadir bagai rekaman yang berputar di hadapan.

Kenangan saat pertama bertemu di bawah rinai hujan ketika menunggu bus untuk pulang. Berkenalan di dalam bus, asyik mengobrol hingga lupa telah kelewatan tempat pemberhentian. Tertawa terpingkal karena harus memutar arah.

Juga kenangan di pantai ini, saat aku menangis meratapi kepergian Ayah. Mahesa mengusap lembut air mata juga menyediakan bahu untuk bersandar yang kemudian menjadi basah.

Ketika aku sakit tak pernah dia lupa untuk datang, sekadar mengingatkan untuk minum obat atau memberi doa agar lekas sembuh. Senyum dan tawa kami bagi bersama.

Namun, bukan hanya kenangan indah yang hadir kini. Bayangan dia mendekap wanita lain dan tertawa dengannya menghancurkan imaji-ku. Membawa setitik api amarah muncul ke permukaan.

“Aku ingat yang pahit juga yang manis, Mahesa!” Suaraku naik sedikit.

“Sekali lagi aku minta maaf, Zahra. Mohon maafkan aku, biar aku bisa melangkah dan begitu pun dengan kamu. Kita tidak akan maju jika masih ada rasa marah dan benci,” ucapnya dengan nada seperti memohon. “Mari kita perbaiki semua ini. Hilangkan semua permusuhan kita, Zahra.”

“Sudahlah, jangan minta maaf untuk yang sudah terjadi.”

“Tetap aku harus minta maaf. Tapi, terima kasih, Ra. Kamu memang perempuan yang baik, nggak berubah masih Zahra yang aku kenal dulu,” ucapnya dengan senyum terkembang. “Semoga besok kita bisa bertemu kembali.”

***

Aku pulang hampir petang, dalam perjalanan hatiku berbunga. Bahagia. Tak disangka keputusan untuk ke pantai benar-benar membawa hal baik. Bukan hanya rindu yang purna tapi juga perasaan benci sirna.

Bunda menatap kedatanganku dengan alis bertaut. “Ada apa, Zahra? Kok senyum-senyum sendiri?”

“Tidak ada apa-apa, Bun,” ucapku berbohong. Malu untuk bercerita padanya.

Bunda tidak puas dengan jawabanku. Hingga dia mendesak agar bercerita. Akhirnya aku menceritakan semua pertemuan dan obrolan dengan Mahesa.

“Jangan temui dia lagi, Ra!” perintah Bunda cepat. “Udah jangan bahas dia lagi, kita salat Magrib dulu.”

Belum sempat aku menjawab beliau sudah berlalu meninggalkan aku dengan kebingungan akan ucapannya.

***
Sungguh aneh yang terjadi padaku sekarang. Harusnya bukan begini, bukan bahagia karena bertemu dengannya. Namun, apa yang hendak dikata, rasa benci dan marah hilang sudah. Bahkan rindu ingin bertemu kembali.

Harapan untuk kembali bersama hadir menggodaku. Merajut asmara yang dulu pernah putus. Bukankah dia yang paling mengerti? Bukankah dia yang mampu menerbitkan kembali senyum di wajahku?

Namun, harapan tinggal harapan. Hingga tiga hari setelah pertemuan kemarin, dia sama sekali tidak datang, memberi kabar pun tidak. Berkali-kali mengecek ponsel tetapi tak ada pesan apa pun darinya.

Aku juga masih penasaran dengan sikap Bunda, ingin bertanya, tetapi urung kulakukan. Sepertinya ada yang disembunyikan. Entah apa.

Jawaban dari pertanyaanku hadir pagi ini. Saat seorang lelaki suruhan keluarga Mahesa datang berkunjung ke rumah.

“Saya diminta untuk mengantarkan undangan ini. Mohon diterima dan semoga bisa hadir di acara pernikahan saudara kami,” ucap lelaki berbaju batik di hadapanku.

Aku menerima surat undangan itu. Nama Mahesa Palarasa ada di situ bersanding dengan nama perempuan lain. Tak kuasa aku membacanya. Pipiku memanas menjalar hingga ke mata, bersiap memuntahkan bulir hangat. Sebelum semakin deras menetes, segera kuusap dengan jemari.

Lelaki itu hanya memandangku dengan tatapan aneh, mungkin iba atau apa. Entah. Kemudian dia pamit pergi.

Setelah kepergiannya, kulampiaskan tangis yang sempat tertahan. Kemudian, duduk di lantai dingin yang tak lebih dingin dari hatiku.

Bunda entah datang dari mana, tiba-tiba memelukku. Menepuk punggung dan mengecup lembut puncak kepala. Merasa hangat dan lebih tenang dengan kehadirannya.

“Bunda sudah melarangmu untuk memikirkan dia lagi. Apalagi berharap lagi padanya. Jangan, Ra. Cukup kamu sakit sekali saja.”

“Zahra masih cinta, Bun. Nggak tahu kenapa sulit buat lupa sama dia. Dia orang yang sangat berarti buat Zahra, Bun,” ucapku di sela tangis.

“Mau kamu sangat cinta atau nggak bisa lupa, tetap saja dia sudah jadi mantan kamu, Nduk,” ucap Bunda sambil melepaskan pelukan. Membingkai kedua pipiku dan memintaku menatapnya. “Kali ini lepaskan, dia akan menikah. Sebelum kamu datang pun Bunda sudah tahu. Kita hidup di kota kecil, kabar pernikahan pasti cepat menyebar. Bunda sudah peringatkan kamu kemarin.”

“Iya, Bun. Maafkan Zahra karena nggak dengerin peringatan Bunda.” Kami berpelukan kembali, kini kudekap makin erat.

Dalam hati kumantapkan untuk melepaskan. Dia memang bukan untukku. Mantan tetaplah mantan, meski seindah apa pun kisahnya tetap harus dilupakan. Kini aku sadar, dia memang bukan jodoh yang Tuhan kirim untukku.

Luka yang belum sembuh benar akibat perpisahan kami dulu, harus kembali menganga. Mencipta sakit yang lebih besar, mungkin aku akan butuh waktu lebih lama kali ini. Hati yang dulu patah kini remuk berkeping, hancur berantakan.

Catatan kaki :
Nduk : Panggilan untuk anak gadis di Cilacap (Jawa pada umumnya)

T, 15 Oktober 2019

Fathiyya Rahma adalah wanita kelahiran Cilacap yang sekarang menetap di negeri Formosa. Menyukai kopi dan menulis. Bisa kenal lebih dekat di akun FB dengan nama Fathiyya Rahma.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply