Melukis Guguran Daun di Kanvas Putih

Melukis Guguran Daun di Kanvas Putih

Melukis Guguran Daun di Kanvas Putih
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

Jay tidak suka warna putih. Namun, ia mau tidak mau mengamini bahwa warna itulah yang mendominasi syaraf penglihatannya selama beberapa bulan terakhir. Kendati telah didesain cukup apik, memadukan lapisan berserat kayu sebagai dekorasi dinding kamar dan lorong, ditambah taman outdoor yang memberikan variasi warna hijau, arsitektur Cedars-Sinai Smidt Heart Institute sepertinya belum cukup untuk membuat Jay duduk tenang sambil membaca LA Times terbitan terbaru. Itu hal wajar, sebenarnya, sebab tidak ada seorang pun yang sudi berlama-lama di rumah sakit. Persetan dengan konsep healing garden atau hospital within hospital yang kerap diperbincangkan dunia medis modern—sekali rumah sakit, tetaplah rumah sakit. Itu yang Jay tanamkan dalam kepala, juga yang membuatnya sulit diam ketika menunggui Kat.

“Jay, kau lagi-lagi gelisah.” Wanita berambut pirang itu berkomentar.

“Warna putih ini menggangguku. Aku bahkan tidak bisa fokus mempersiapkan materi untuk meeting besok.”

“Jangan memaksakan diri. Kau bisa pulang bila merasa tidak nyaman … aku sudah bilang, ‘kan?”

Laki-laki bermata biru itu tersentak. “Tidak, tidak. Aku nyaman dan akan tetap di sini. Aku cuma terganggu dengan dominasi putih di gedung ini. Sudah.”

“Dasar keras kepala.” Kat menghela napas sambil beralih ke langit mendung di luar ruangannya. “Tadi, kulihat banyak stasiun televisi yang menyiarkan bahwa musim gugur sudah dekat. Padahal, rasanya baru kemarin kau memberiku syal musim panas dan tahu-tahu beberapa minggu lagi sudah musim gugur. Waktu benar-benar tidak adil, ya—atau kita saja yang terlalu larut oleh waktu?”

“Ini akan berlalu lebih cepat. Kau akan sembuh. Begitu keluar, aku akan mengajakmu ke banyak tempat. Kau sudah melewatkan musim semi dan musim panas … kau harus bersenang-senang setelah dikurung sangat lama di tempat seperti ini.”

Pelukis aliran naturalis-romantis itu tertawa kecil, memperhatikan Jay yang masih saja gelisah.

“Aku ingin sekali melukis dedaunan yang gugur,” kata Kat sambil memainkan selimut. “Musim gugur tahun lalu, ketika aku ke Gereja St. Peters, ada seorang pria tua yang menggaruk guguran daun di bawah pohon pinus. Dia tidak membersihkannya, cuma menghancurkan hingga nyaris lebur dengan tanah. Untuk kompos, tentu. Katanya, sudah jadi hukum tersendiri bahwa dedaunan gugur, binatang yang mati, bakal membusuk, kembali ke tanah, dan berkontribusi membentuk kehidupan baru. Dia cuma mempercepat proses tersebut.”

“Aku aneh sekali karena menceritakan hal bodoh itu, ‘kan?” Kat tertawa kecil. Diam cukup lama. Memperhatikan tetes cairan infus. “Tapi, Jay … aku ingin sekali hidup seperti mereka.”

Jay menghentikan aktivitasnya. Pria berjanggut jarang itu seketika menoleh ke sang istri, lalu berkata, “Kau akan sembuh. Kita ada di salah satu rumah sakit jantung terbaik di Amerika. Karena itu, kau akan sembuh.”

“Iya, aku tahu. Aku tidak pesimis, kok. Ini hanya persiapan bila aku pergi suatu hari nanti.” Kat menatap langit-langit kamar, lalu melanjutkan, “Hidup ini singkat. Aku hanya mau berbuat sesuatu yang bermakna selama aku hidup, sama sepertimu yang berusaha keras untuk sampai di posisi store manager. Ini hanya perbedaan perspektif saja, Jay.”

Jay bangkit, berusaha menyembunyikan kegelisahannya dengan membelakangi Kat, memasukkan kertas-kertas—yang sialnya berwarna putih—itu ke koper, ketika Kat berkata pelan, “Aku … ingin mendaftarkan diri ke Donate Life America[1].”

Jay terdiam. Tangannya mengepal. “Kau berkata seolah kau siap pergi kapan saja.” Hening sejenak dan seketika Jay tersadar akan perkataannya. Ia mengacak rambut pirangnya, meracau, “Sial! Kenapa warna putih ini sangat menggangguku?”

Jay tidak suka warna putih. Ia menyadarinya sejak lama—sejak orang tuanya meninggal dalam kecelakaan sehingga ia, yang saat itu masih remaja, mesti banting tulang untuk bertahan hidup, meninggalkan hobi melukis dan memangkas waktu tidurnya untuk mempelajari bisnis. Putih kerap diasosiasikan sebagai kesakralan, hal suci, simbol gencatan senjata … dan Jay bukan tipe orang yang mudah menyerah. Kita hidup di masa kini, jadi harus berbuat sebanyak mungkin, semaksimal mungkin—bukan hanya bergantung pada nasib serta peruntungan utopis.

Jadi, bukan hal aneh lagi jika kadang ia tersulut melihat sikap pasrah Kat.

Jay menghela napas, lantas mendekat, duduk di samping ranjang Kat. Ia memandang pasien pengidap pulmonary stenosis[2] itu sambil berucap, “Kalau aku memberimu baby’s breath, rangkaian bunga kesukaanmu, apakah kau akan membaginya ke orang lain? Meskipun tahu bunga itu akan layu, kau pasti berusaha agar ia hidup selama mungkin, atau jika memang ia benar-benar mati, kau pasti hanya ingin menyimpannya sendirian.” Jeda sejenak sebelum pria 78 inci itu menambahkan, “Tapi, kalau aku, tidak akan membiarkan bunga itu mati.”

Kat diam, menyimak perkataan Jay.

“Aku sudah pergi ke banyak gereja, menuruti saranmu, dan berdoa agar kau sembuh. Tuhan selalu mendengar doa para jemaat-Nya, kau berkata begitu, ‘kan?”

“Aku menyarankanmu ke sana bukan untukku, kok. Itu untuk dirimu sendiri. Agar kau bisa mencurahkan isi kepalamu, kegelisahanmu, ketidaksukaanmu terhadap warna putih … persis seperti dulu, saat kau sesekali melukis.” Kat menautkan jemarinya dan Jay lembut. “Jay, bayangkan saja ini sebagai lukisan. Kau sudah memakai semua inspirasimu dan hanya butuh satu detail saja agar ia bisa dinobatkan sebagai mahakarya, sesuatu yang dikenang masyarakat, dan itulah yang kuinginkan.”

“Kau masih senaif beberapa tahun lalu.”

“Jay.”

“Kau tahu sendiri, aku benci warna putih, makanya jarang ke gereja.”

“Jay.”

“Sial.”

Jay mengacak rambut.

Ia ingat, telah beberapa kali berpikir, apa yang membuatnya memilih hidup bersama Kat? Kat begitu agamis sekaligus melankolis, tipikal orang yang ia hindari selama ini. Saat pertama kali bertemu di salah satu pameran seni—ketika Jay punya cukup waktu untuk bersantai—pun, Jay tidak punya ekspektasi tinggi pada Kat, yang saat itu adu mulut dengan seorang ayah yang berteriak pada putranya, berkata ia harus piawai melukis seperti dirinya. Jadi, apa yang membuat Jay tertarik pada Kat? Apa karena manusia selalu mencari hal yang unik—sebab, kata beberapa orang, kita memang diciptakan untuk saling melengkapi?

Jay tidak tahu. Toh, tahu pun, sudah terlambat untuk membenahi dari awal.

“Aku akan menuruti permintaanmu, tetapi sebagai gantinya kau harus menuruti permintaanku,” kata Jay akhirnya, mengabaikan ekspresi Kat yang tiba-tiba berubah cerah. Matanya menjelajah, mencari apa saja yang dapat menyelamatkannya dari dominasi putih. “Jangan berkata aneh-aneh dan berusaha saja untuk sembuh.”

Kat tersenyum lebar. “Tentu.”

“Dan, sepertinya aku harus pergi sebentar.”

“Ke mana?

“Beli buku sketsa,” balas Jay sambil bangkit, “daripada ke gereja, melakukan apa yang kau katakan, aku lebih suka langsung menggambarnya, seperti yang dilakukan Munch[3].” Ia meraih jaket, lantas menambahkan, “Dan, hal pertama yang akan kugambar adalah dedaunan sialan itu.” (*)

 

Catatan:
[1] Salah satu organisasi donasi organ di Amerika.
[2] Penyempitan katup atau arteri paru-paru yang mengakibatkan terhambatnya aliran darah dari jantung ke paru-paru.
[3] Merujuk pada Edvard Much, salah satu tokoh aliran seni rupa ekspresionisme, yaitu aliran seni yang memperlihatkan curahan hati pembuatnya secara general dan bebas. Biasanya menekankan pada ekspresi kesedihan dan ketakutan.

 

Devin Elysia Dhywinanda adalah hasil hibridisasi dunia Koriya dan wibu yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata