Melintasi Batas
Oleh: Ning Kurniati
Sesungguhnya tidak ada cerita yang benar-benar usai.
Rea dan aku sedang mengendap-endap. Berjalan sepelan mungkin dengan mata yang awas memperhatikan sekitar. Jangan sampai ada yang melihat kami. Bisa gawat. Ratu tidak pernah mengizinkan siapa pun untuk keluar dari hutan ini, terlebih mendekati sesosok makhluk yang disebut manusia.
Kami berhenti sejenak, mengambil jeda di balik batang pohon eukaliptus yang berwarna-warni. Rea menatapku dan mengangguk, siap untuk menyelinap. Jika kami bisa melewati semak belukar di depan sana yang salah satu sisinya terdapat lorong untuk menyusup, dipastikan setelahnya tidak ada lagi prajurit penjaga. Kami bebas bepergian ke mana saja, ke seantero hutan.
“Aku akan menghitung. Pada hitungan ketiga, itu saatnya lari, oke! Kamu paham?” ucapku pada Rea.
Dia mengangguk lagi. Aku yang paling depan, mengawasi prajurit dan saat dia menoleh ke arah lain, itu saatnya berlari sekencang-kencangnya melewati semak belukar.
“Rea bersiap! Satu … dua … tiga, lariii.”
Kami mengayuh langkah sekuat-kuatnya. Embusan napas kian tak beraturan, saling berkejaran dengan desau angin, hingga akhirnya kaki kami bisa juga menapak pada bagian luar dari semak belukar. Lega. Aku dan Rea saling bertatapan dengan napas yang masih menderu.
“Ner, kamu yakin tidak ada yang tahu kita sedang keluar dari area Lepidoptera?”
“Yakin, terpenting kamu tidak mengatakan hal ini kepada siapa pun, sedikit pun.”
“Ayo!”
“Ke mana kita akan pergi?”
“Ke mana saja, Re.”
“Haaah, kita bepergian tanpa arah yang jelas. Apa kamu sudah gila?”
“Kalau kamu menganggapku gila, berarti kamu juga gila, karena kamu sedang menemaniku,” ucapku diiringi tawa.
Dengan bibir mengatup, Rea berjalan juga di belakangku.
Aku sudah menunggu sangat lama untuk melintasi dinding pembatas kami—semak belukar. Saat di mana semuanya sedang sibuk menyiapkan segala persiapan yang dibutuhkan, untuk pesta perayaan merekahnya bunga-bungaan yang kami rawat. Penjagaan akan sedikit dikurangi karena sebagian prajurit dipekerjakan membuat makanan dan segala kebutuhan pesta yang lainnya.
Lepidoptera adalah nama kaum kami. Salah satu kaum serangga yang tidak banyak diperhatikan keberadaanya oleh makhluk lain, termasuk manusia. Manusia memang satu-satunya makhluk yang dihindari. Jauh, jauh dari sekarang, mereka pernah menggusur tempat tinggal kami. Mereka membawa mesin-mesin raksasa lebih besar dari diri-dirinya dan meluluhlantakkan pohon-pohon dan bunga-bungaan yang sedang merekah. Mayat-mayat berserakan bagai daun-daun kering yang lapuk, siap untuk dilahap oleh para mikrob. Pada akhirnya, hanya segelintir yang selamat dan bisa melanjutkan kehidupan. Sebagiannya lagi meninggal di tengah perjalanan karena kurangnya bahan makanan dan obat-obatan.
Aku dan Rea masih terus berjalan sampai jarak aman untuk mengepakkan sayap dan terbang. Kami tidak mau prajurit penjaga mendengar kepakan sayap dari luar area Lepidoptera. Hal itu bisa mengakibatkan ada tim prajurit yang mengejar kami.
Terbang adalah hal yang menyenangkan, bahkan yang paling dirindukan. Jika dibandingkan mana yang paling menyenangkan, antara terbang atau melihat bunga merekah, kami tidak bisa memilih. Kami sama-sama menyukai keduanya.
Akibat adanya pembantaian di masa yang lampau, sekarang kami dilarang untuk mengepakkan sayap di sembarang area Lepidoptera. Kami hanya memfungsikan sayap saat merawat bunga apa pun, selebihnya berjalan. Hal yang menyenangkan ketika kami mendapat tugas merawat bunga dari pohon yang tinggi menjulang, itu artinya kami bisa terbang tinggi dan bisa melihat bentang alam dari ketinggian. Sangat indah.
“Ner, kamu yakin kita bepergian seperti ini?” ucap Rea saat kami terbang menelusup di antara rimbunan kanopi pohon.
“Kenapa tidak? Para pendahulu kita juga pernah melakukan ini. Dahulu mereka bahkan terbang mendekati manusia.”
“Ahh, yang benar saja. Mana mungkin?”
“Apa kamu meragukanku, Rea? Kamu tahu aku diajari banyak hal oleh Ratu, salah satunya adalah tentang pendahulu kita. Tidak usah banyak tanya, aku akan menceritakan beberapa yang memang penting untuk kamu ketahui. Ayo terbang lebih jauh!”
*
Kami istirahat di daun tumbuhan setelah beberapa kali hinggap pada bunga-bunga yang sedang merekah untuk menghisap nektarnya.
“Sekarang ceritakan, kenapa pendahulu kita bisa dekat dengan manusia. Bukankah manusia adalah predator paling kejam. Mereka tidak hanya membunuh, tetapi hampir memusnahkan kaum kita.”
“Baiklah, ada satu hal dari manusia yang tidak banyak diketahui, yaitu mereka terbagi menjadi dua jenis. Ada yang baik dan ada yang jahat.”
“Aku baru tahu itu.”
“Maka dengarlah baik-baik!”
“Dahulu kita saling membantu dengan manusia. Jadi, kita punya semacam hubungan yang disebut ‘mutualisme’, saling menguntungkan. Kita akan memudahkan tumbuhan yang mereka miliki—apa pun jenisnya—agar berbunga denga baik sampai akhirnya menjadi buah, tentunya dengan bantuan serangga lainnya juga. Mereka senang dengan buah yang dihasilkan dari tumbuhan, kita senang dari nektar yang dihasilkan oleh bunga tumbuhan. Dari sekian serangga yang ada, Lepidopteralah yang paling dekat dengan manusia. Bahkan beberapa dari kaum kita mampu berkomunikasi dengan mereka. Sungguh sulit dipercaya, tetapi begitulah adanya. Hingga suatu saat, beberapa manusia muncul dan mulai melakukan hal jahat itu, menghancurkan ladang para manusia lainnya dan meratakan semua yang ada dengan tanah.”
“Rumah para manusia?”
“Itu juga termasuk. Mereka—para manusia yang digusur itu memiliki pekerjaan sebagai petani. Para petani mampu membuat tumbuhan tumbuh subur dibanding manusia lainnya.”
“Menarik!”
“Sangat menarik! Sekarang, kita akan mengunjungi mereka.”
“Apa? Untuk apa mengunjungi mereka?”
“Tentu saja untuk menjalin hubungan yang sudah lama terputus, melanjutkan cerita yang pernah ada.”
“Memangnya kamu tahu di mana mereka.”
“Tidak. Makanya kita mencari dan membangun hubungan itu.”
“Hmm, bagaimana menemukannya?”
“Dari yang aku tahu, rumah petani yang bisa berkomunikasi dengan kita adalah satu-satunya rumah yang selamat—tidak digusur. Pada dindingnya ada gambar-gambar diri kita—sangat indah—sama persis. Bahkan ketika kita hinggap pada dinding itu, sangat susah membedakan mana diri kita atau mana yang gambar. Permainan warna yang digunakannya sangatlah indah menyerupai.”
“Aku membayangkan betapa menyenangkan saat-saat kita bisa berkomunikasi dengan mereka.”
“Sangat menyenangkan, pasti. Sekarang tidurlah! Setelah bangun dan merasa lebih baik, kita akan melanjutkan perjalanan menuju rumah petani itu.” Rea pun mengambil posisi terbaik untuk tidur.
“Pikirkanlah hal-hal yang menyenangkan, maka kau akan bermimpi hal-hal yang menyenangkan pula,” ucapku sebelum menutup mata untuk tidur.
“Akan kulakukan.”
*
Kami kembali terbang di bawah langit yang tiba-tiba berawan cerah setelah mengguyur bumi dengan air. Semerbak bau seketika menjadi begitu kuat, harum. Menjadi pemicu semangat kami untuk terbang secepat mungkin.
Tidak lama lagi, kami akan menemui pemilik rumah itu. Sang petani yang dengan sentuhan tangannya pada tumbuhan, bisa menyulap mereka menjadi subur. Bila tumbuh subur akan banyak bunga yang dihasilkan, maka bangsa kami juga akan berkembang biak lebih banyak. Hubungan yang menguntungkan—mutualisme.
Kami spontan berhenti dan hanya diam mengepakkan sayap di tempat tatkala di hadapan kami bukan lagi kumpulan pepohonan rimbun, melainkan bangunan yang terbuat dari batu-batu yang sangat mulus, menjulang tinggi dengan warna-warni yang mencolok seperti tubuh kami. Ini tempatnya. Sekarang, kami hanya perlu mencari rumah petani itu.
“Ner.”
“Yah.”
“Jadi, sekarang bagaimana?”
“Kita sudah telanjur melewati batas, apa buat kita harus melanjutkan apa yang sudah dimulai.”
Perlahan, aku dan Rea mengitari batu-batu yang menjulang itu. Semoga warna tubuh kami yang sama mencoloknya dengan batu itu tidak membuat para manusia jahat menyadari keberadaan kami. Setelah berlama-lama dan hampir putus asa, tampaklah rumah seperti yang pernah diceritakan kepadaku. Rumah dengan dinding yang berwarna abu-abu dan di sanalah gambar diri-diri kami berada.
Matahari mendekat ke ufuk barat saat kami datang mendekat ke rumah tersebut. Dia memiliki banyak tumbuhan dengan bunga-bungaan yang sedang merekah. Tertarik, aku dan Rea mengisap nektar dari bunga-bunga yang ada. Entah sudah bunga ke berapa kami masih saja terus mengisap, berpindah dari bunga satu ke bunga yang lain. Lalu, tiba-tiba bayangan sosok makhluk muncul. Aku berbalik perlahan, melihat sosok itu, sangat besar. Dia tinggi, memiliki sepasang kaki yang menapak tanah, sepasang menempel di tubuhnya di bawah telinga. Pada wajahnya ada sepasang mata yang lebar, dua buah lubang dan tidak memiliki antena. Dia manusia itu. Kepalanya yang dipenuhi bulu-bulu bergerak ke kanan-kiri. Dia memperhatikan kami. Tidak berselang lama, dua garis merah pada wajahnya tertarik ke samping, dan membuka. Itu pasti mulut.
“Kalian melintasi batas.”
Kaget, aku dan Rea hanya mematung di atas salah satu helaian bunga. (*)
Ning Kurniati, Seorang perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah setiap harinya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata