Melerai Harapan

Melerai Harapan

Melerai Harapan
Oleh: Lutfi Rose

Senja sudah semakin menjingga dan mentari mulai memudar warnanya. Aku melangkah dengan hati-hati menyusuri jalan setapak menuju surau. Ya, hari ini, hari keduaku menginjakkan kaki di desa, setelah puluhan purnama pergi merantau menimba ilmu. Berdebar hati ketika sekelebat wajah mengisi kedua mataku. Dia yang pernah begitu sangat berarti.

Sedikit terhenyak. Kupastikan kakiku masih memijak tanah. Sungguh, seketika tubuhku oleng. Kutarik napas dalam, berharap sesegera mungkin menguasai degup yang makin membuncah.

Aku berucap salam padanya. Serta merta dia menoleh, mengukir garis senyum yang selalu membuatku terpesona. Tak banyak berubah, wajahnya masih sama. Hanya saja tubuhnya sedikit lebih kurus, garis keras tulang pipi juga semakin tegas. Kuakui dia tampak lebih matang dan memesona.

“Rin, kapan datang?”

Aku menggangguk hormat, baru kemudian menjawab, “Kemaren, Bang. Abang apa kabar?” Hampir tak sanggup aku berkata-kata.

“Ayo masuk, anak-anak sedang mengaji kitab di dalam.”

Dia berdiri, mengisyaratkan agar aku mengikutinya. Kusamai langkahnya. Di dalam tampak beberapa gadis duduk di depan dampar, memegang beberapa lembaran kertas berwarna kuning, bertulis huruf arab tanpa harakat. Kami biasa menyebutnya ngasah kitab.

Aku mengambil duduk di antara mereka. Para gadis belia, yang berusia belasan tahun. Persis seperti aku tiga tahun lalu. Kala di sini belajar seperti mereka. Sementara itu Bang Haikal mengambil duduk di depan. Sepertinya pelajaran akan dimulai. Momen yang sangat sulit kulupakan.

Aku selalu menyukai caranya bicara. Menjelaskan apa yang kami tulis dengan huruf “pego” berbahasa Jawa halus. Memang zaman sekarang makin jarang anak yang paham bahasa Jawa, meski mereka terlahir di pulau Jawa.

Tiba-tiba lelaki kalem itu tidak melanjutkan kajian, dia menutupnya. Para gadis dan beberapa pemuda yang berada di balik tirai yang dipasang di tengah surau, berkemas. Satu per satu menyalamiku, pamit.

Surau menjadi sunyi. Aku bangkit berjalan menuju teras. Ada rumah kecil di samping, seperti baru dibangun, belum dicat dan lantainya masih tanah. Aku duduk di atas ubin teras. Memandang bunga krisan yang berjajar rapi di halaman surau, asri. Kudengar langkahnya mendekat. Meletakkan kedua pantatnya tak jauh dariku. Sebuah tiang besar menjadi sekat di antara kami.

“Sudah selesai kuliahmu, Dek?”

Aku mengangguk. Rasanya sulit mengucap beberapa patah kata dari mulutku. Tapi aku ingin bicara banyak. Aku ingin sekarang, tak mau lagi kehilangan waktu yang berharga ini.

“Bang …,” aku memanggilnya.

Dia menoleh, menatapku sesaat. Lalu kembali tertunduk.

“Maafkan aku sudah pergi tanpa pamit. Aku ke seberang, menyelesaikan studiku, dan sekarang aku sudah sarjana, Bang. Hanya tiga tahun aku meraihnya. Aku ingin cepat-cepat pulang, menemuimu.” Terasa ada yang berdebar. Makin lama iramanya makin cepat. Aku harus menyelesaikan apa yang tertangguh sekarang.

“Kukira kamu takkan pernah pulang, Dek. Maafkan aku. Aku putus asa mencarimu, dan lelah menunggumu.”

Dadaku berdesir, nyeri. Udara terasa begitu sesak seketika mendengar kalimatnya. Aku diam, begitu pula dia. Kami bersenandika dengan kesunyian.

“Ayaaah!”

Seorang anak lelaki berusia sekitar dua tahun berlari mendekati kami. Dia langsung menggelayut di pangkuan Bang Haikal. Hatiku mencelus. Apakah ini berarti semua harapan telah berakhir. Aku ….

“Hakim, salim sama Tante!” ucapnya lembut.

Aku mengulurkan tangan, bocah lelaki kecil itu menyambutnya dengan sopan.

“Dia anakmu?”

Tampak dia menarik napas dalam. Membiarkanku berkelahi dengan rasa sakit yang makin menyergap.

“Aku terpuruk, Dek, hampir gila mencarimu. Aku bahkan lupa makan dan tidur. Berhari-hari hanya mengendarai motor tuaku, mengelilingi desa, lalu melebar ke kota. Aku hampir mati mengenaskan.”

Cairan bening tak kuasa kubendung. Merembes di antara sela mata yang tertutup. Aku memang egois kala itu.

“Lalu?”

“Ibu dan Bapak berinisiatif menikahkanku. Awalnya aku tak mau dan kekeh menunggu. Tapi alasan usia yang sudah kepala tiga, dan Bapak yang sakit keras, membuatku menyerah pada keadaan. Aku menerima kehendak mereka.”

Dia menunduk, mengusap sudut matanya dengan punggung tangan. Aku tak berani berspekulasi dengan apa yang dia rasakan. Apakah sama denganku atau sebaliknya.

“Siapa?”

“Halimah.”

Tercekat aku mendengarnya. Nama itu tak asing di telingaku, sahabatku. Aku menatapnya lurus.

“Maafkan aku, Dek. Situasi tak terkendali saat itu. Maafkan aku.” Suaranya melirih, hampir tak terdengar.

“Sudahlah! Ini salahku. Aku pamit.” Aku beranjak dari tempatku. Melangkah dengan tenaga yang seolah tak tersisa. Hatiku koyak, harapku musnah. Aku tak ingin menoleh, usaikan sudah. Aku akan pergi lagi, jauh. Meninggalkan mimpi yang takkan pernah tergapai lagi. (*)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply