Melepas Bapak (Terbaik 3 Event LokerKata September)

Melepas Bapak (Terbaik 3 Event LokerKata September)

Melepas Bapak

Oleh: Erien

Terbaik 3 Event Loker Kata Bulan September

Lima tahun lalu bapak mertuaku meninggal. Aku dan Suli baru tiga bulan menikah. Saat itu, aku ikut meletakkan jenazahnya ke liang lahad. Kupikir itu adalah saat terakhir aku melihat beliau. Ternyata salah. Hanya raga saja yang terkubur. Bayang-bayang bapak mertuaku dibawa Suli ke mana pun kami pergi.

Enam bulan pertama tanpa bapaknya, Suli sering menangis. Aku memaklumi. Dia anak perempuan satu-satunya. Mungkin sebelum ada aku, Bapak adalah satu-satunya lelaki dalam hidup Suli. Aku menanggapi tangisannya dengan pelukan. Kapan saja dan di mana saja. Tangisan Suli acapkali keluar begitu saja. Aku hanya perlu memaklumi. Seiring waktu, Suli akan terbiasa. Begitu pikirku.

Bulan-bulan berikutnya ternyata Suli masih sering menangis. Banyak hal mengingatkan dia tentang Bapak: makanan kesukaan, warna favorit, hewan kesayangan, dan banyak lagi lainnya. Aku mengurangi respons pelukanku. Sebagai gantinya, senyum dan semua kata-kata penyemangat keluar dari bibirku. Suli menanggapi dengan diam.

Berganti tahun, air mata Suli masih sama derasnya. Kali ini, bukan hanya hal-hal yang berhubungan personal dengan Bapak yang membuatnya menangis. Namun, semua yang terlihat dan berbau seperti seorang bapak. Ini seperti Bapak. Itu seperti Bapak.

Suli diam-diam meneteskan air mata ketika melihat seorang laki-laki tua berdiri di depan pagar. Dia pun berkaca-kaca memperhatikan tukang sayur yang membaca dengan kepala mengangguk-angguk, sama seperti Bapak. Dia menarik napas panjang saat mengunjungi teman yang dirawat di rumah sakit. Katanya, bau disinfektan mengingatkannya pada saat-saat terakhir Bapak ada. Pada tiap akad nikah yang kami hadiri, Suli pun menangis.

Beberapa bulan terakhir aku menyadari sesuatu, Suli menghindari tatapanku saat dia mengingat Bapak. Beberapa kali tak sengaja mata kami bertemu, dia malah makin sesenggukan. Katanya, aku mengingatkan dia pada Bapak. Ah, aneh-aneh saja Suli ini.

Sebenarnya, rasa kehilangan Suli tidak mengangguku. Namun, setelah lima tahun berlalu, wajarkah jika dia masih sering menangis? Aku tidak terganggu tangisannya. Perempuan memang diberi air mata yang siap keluar kapan saja hati merasakan sesuatu. Suka, duka, marah, kesal, bingung. Aku memakluminya. Aku terganggu dengan rasa bingungku sendiri. Pada tiap tangisan yang Suli keluarkan, bagaimana aku harus menanggapinya?

Pernah aku menyuruhnya berdoa daripada menangisi ketiadaan bapaknya. Suli memang terdiam, tak lagi terisak-isak. Seperti melamun, dia memandangi ujung kakinya. Namun, air tetap mengalir di pipi Suli. Akhirnya aku memutuskan memeluknya sesaat. Dan keputusan itu sedikit kusesali. Isak Suli kembali, bahkan lebih keras dari sebelumnya. Tubuhnya berguncang dalam pelukanku. Kutemani tangisnya hingga usai.

“Aku berdoa, kok.”

“Bapak udah lama meninggal. Udah hampir lima tahun. Tapi tangisanmu masih sama walaupun tidak sesering dulu.”

Suli menunduk.

“Apa yang bikin susah mengikhlaskan Bapak?”

Suli menghela napas. Matanya kembali berkaca-kaca. Hal ini yang membuatku mengurungkan pertanyaan yang barusan kulontarkan. Ujung dari percakapan kami pasti hanya tangisan. Namun, kuputuskan kali ini tidak ada salahnya bertanya.

“Bapak ….”

Aku diam sambil mengusap-usap bahunya. Kulihat Suli berusaha mengatur napasnya.

“Aku … tidak sempat minta maaf.”

Aku masih diam. Sepertinya Suli ingin menceritakan sesuatu.

“Bapak … sebenarnya nggak merestui kita.”

Pasal itu aku sudah tahu. Alasannya pun aku tahu: tentang pekerjaan yang belum tentu. Namun, pada akhirnya Bapak tetap mau menikahkan kami. Bukankah itu tanda restu sudah kami genggam?

“Aku berbohong pada Bapak. Aku bilang kalau ada bayi di perutku. Dan kita harus segera menikah.”

Astaga. Aku menggeleng-geleng. Kenapa Suli baru cerita sekarang?

“Aku menyesal udah bohong sama Bapak. Bapak pergi karena aku.”

Kali ini kubiarkan Suli tenggelam dalam tangisnya. Aku tidak menyangka kalau sampai sejauh itu Suli nekat bertindak. Aku sempat melihat Suli menangis sambil meminta maaf di depan jenazah Bapak. Saat itu kupikir itu wajar saja.

Keesokan harinya, kuputuskan mengajak Suli pulang ke rumah ibunya. Aku ingin dia mengakui kebohongannya di depan Ibu sebagai pengganti Bapak. Mungkin aku akan mengajaknya ke makam Bapak juga.

Di hadapan Ibu, Suli malah banyak diam dengan air mata yang terus mengalir di pipi. Ibu yang memeluknya dan semula senang karena kedatangan kami, kini menatap bingung ke arahku.

“Suli mau bilang sesuatu, Bu.” Aku mengatakan demikian agar Ibu tidak beranggapan bahwa akulah penyebab tangis Suli.

Dengan terbata-bata, Suli menceritakan kebohongannya. Ibu mengangguk-angguk sambil terus merangkul Suli.

“Suli menyesal, Bu. Suli minta maaf.”

Ibu tersenyum dan mengangguk-angguk.

“Kamu pasti tahu kenapa Bapak melarangmu menikah dengan Ari, ‘kan?”

Suli mengangguk. Dia dan Ibu menoleh padaku. Tentu saja aku hanya tersenyum. Pantas saja Bapak pernah menyuruhku segera mencari pekerjaan. Mana ada orang tua yang mau menyerahkan anaknya pada pengangguran seperti aku. Untungnya, sebulan setelah menikah aku mendapatkan pekerjaan.

“Tapi rasa bersalah Suli sama Bapak belum hilang sampai sekarang, Bu.”

Ibu mengusap bahu Suli lalu menyuruh kami menunggu. Ibu masuk kamar. Satu kotak hitam dibawanya keluar.

“Jujur saja, Ibu sebenarnya tahu kalau kamu berbohong. Makanya Ibu tidak pernah tanya tentang perutmu. Tapi kamu tahu, Bapak percaya semua kata-katamu. Sebulan setelah pernikahanmu, Bapak membelikan ini dan menyuruh Ibu menyimpannya. Jika sudah waktunya, Ibu akan memberikannya padamu. Tapi, mungkin sekarang saja kau bawa.” Ibu meletakkan kotak itu di pangkuan Suli lalu duduk di sebelah Suli.

Wajah Suli tampak terkejut. Dia menerima dan langsung membukanya. Suli menutup mulut sambil mengeluarkan isinya. Satu stel baju bayi lengkap dengan sepatu mungil berwarna cokelat. Dia menatapku yang mematung.

Ibu menyuruh kami mengunjungi makam Bapak dan minta maaf.

“Apa karena aku bohong jadi sampai sekarang aku belum punya anak, Bu?”

Ibu menggeleng. Perihal anak bukanlah urusan kita. Suli tidak bisa menyimpulkan dengan sederhana seperti itu. Bukan kami yang menentukan kapan akan punya anak.

Suli menghapus air matanya dan mengajakku ke makam Bapak saat itu juga. Sepertinya dia siap melepas Bapak. Nanti sesudah dari makam, Ibu, Suli, dan aku akan makan tumis kangkung dan telur balado kesukaan Bapak. Tentu saja tanpa air mata.

Kotabaru, 25 September 2023.

Erien. Tetap semangat.

Event cerpen Loker Kata diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.

Grup FB KCLK

Leave a Reply