Melarung Benci
Oleh: Dyah Diputri
Hujan mengingatkan April pada beberapa hari yang telah lalu. Masa di mana ia melepas sepasang sepatu hitam dengan lubang di bagian jempol, lalu membungkus tas berisi buku tulis dan buku-buku tebal pinjaman dari perpustakaan dengan tas plastik merah besar. Kala itu, hanya anak-anak orang berpunya yang memiliki jas hujan. Maka, April selalu sedia tas plastik—yang terlipat menjadi bentuk segitiga—itu dalam kisi-kisi buku.
Jam pelajaran usai pada pukul dua siang. Murid-murid berdesakan keluar kelas. Meski sedang hujan, mereka terbirit-birit menuju gerbang sekolah. Sebagian yang sudah dijemput oleh orang tua bergegas naik ke motor dan bersembunyi di balik jas hujan penjemputnya. Beberapa lagi menanti dengan penuh harap. Beberapa memilih berteduh sebelum menaiki angkot di ujung jalan.
Hujan turun dengan derasnya, sementara April tidak punya payung maupun jas hujan. Pun, tidak ada yang akan menjemput siswi kelas dua sekolah menengah pertama tersebut. Namun, ia tetap bergegas bersiap melawan hujan. Tas dan sepatu sudah masuk kantong plastik, kemudian April mengikatnya erat. Sambil menenteng bawaannya, April yang tak beralas kaki menerobos air langit. Jalanan satu setengah kilometer telah menanti dan akan menemani langkahnya hingga sampai di rumah.
Hawa dingin menyelimuti. Perlahan, titik-titik yang berjatuhan menembus seragam putih-biru yang dikenakan gadis berambut sebahu itu. Tidak butuh waktu lama, seluruh badan April basah. Ia tidak ambil pusing. Toh, besok hari Jumat, mengenakan seragam pramuka, pikirnya.
Sepanjang jalan banyak angkutan umum berhenti dan menawarkan tumpangan. Sang sopir berteriak agar April naik, tetapi gadis itu hanya menggeleng. Uang seperti apa untuk membayar angkot? Lagi, ia bergumam dalam hati. Angkot pun berlalu satu demi satu dengan balasan gelengan kepala—melihat ada anak sekolah yang lebih suka berhujan-hujan ria.
Ya, April memang menikmatinya. April menikmati tetes-tetes menyejukkan tubuh, bahkan dahaganya. Tetes-tetes hujan menyejukkan tubuh dan dahaga setelah setengah hari ia menahan lapar dan dahaga. Sesekali dipandangnya langit, agar air yang masuk mata mengaburkan tetes hangat dari dalam kelopaknya. Jika bisa, sebenarnya ia ingin terus berjalan dan tidak menemukan rumahnya. Betapa jalanan seolah-olah jauh lebih baik dari tempatnya pulang merebahkan lelah.
“Semua karena Ayah. Kenapa aku harus semenderita ini karenanya?” April bicara sendiri. Sambil berjalan, ia menunduk memandang susunan paving di trotoar gersang.
April masih ingat kejadian pagi tadi. Ayahnya yang masih dipengaruhi alkohol mendengkur keras, membuat ia tidak berani membangunkannya. Padahal, sudah tiga hari ini tidak ada jatah uang saku untuknya. Selama di sekolah, hasrat untuk jajan di kantin sekadar mengganjal perut pun harus ditahan. Sialnya lagi, ayah yang pengangguran itu hanya memberinya sebungkus nasi uduk untuk makan malam setiap harinya.
April terus menangis di balik rintik-rintik yang semakin dingin. Rindu kepada sang ibu yang belum lama berpulang karena penyakit stroke yang dideritanya, juga benci kepada ayah. Semua rasa berpadu, bergelut, lalu menyeruak dalam batin. Sungguh, jika air hujan bisa membeku menjadi sebuah bentuk rumah, ia akan menjadi penghuni yang pertama. April tidak mau pulang, tetapi langkahnya malah semakin dekat menuju gang rumah.
Pasrah. Akhirnya, sepasang kaki—yang memutih keriput setelah menjejaki genangan demi genangan di jalanan—itu berdiri di depan pintu. Diketuknya pintu berkali-kali sambil memanggil-manggil ayahnya. Namun, tidak ada jawaban.
“Pril, ayahmu masuk rumah sakit! Tadi pagi, digebuki orang-orang berbadan besar, katanya ayahmu punya banyak utang sama mereka!” Seseorang berjas hujan datang dengan motor dan menghampiri April. Sambil berkata, orang itu memegangi bahu April yang kuyup.
“Pak RT? Ayah … A—”
“Iya. Ayo, kuantar ke sana!”
Detak jantung April bertalu-talu. Meski benci, tidak dipungkiri ia begitu khawatir. Bagaimanapun ayah April adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki saat ini. Setelah berganti baju, cepat ia meminta Pak RT melajukan motor.
Hujan masih belum reda. Di balik kerudung jas hujan April kembali menitikkan air mata. Sejak ibunya meninggal, ayah April memang berubah. Uang hasil kerja banyak yang terbuang di meja judi, pulang larut malam dengan keadaan limbung sebab mabuk, bahkan sering tidak acuh terhadap kebutuhannya. Namun, ketika pria empat puluh tahun itu terluka, hati anak semata wayang tergerus pula.
Tiba-tiba April teringat petuah yang pernah dikumandangkan sang ayah dulu. Saat itu, seorang tetangga yang bermulut pedas mengatai April anak orang miskin dan tidak beruntung. April berlari pulang ke rumah sambil menangis dan mengadu, tetapi ayah dan ibu itu hanya tersenyum dan memeluknya.
“Sejahat apa pun manusia kepadamu, jangan pernah kamu membencinya. Yang jahat itu sifat, bukan orangnya, Pril. Benci saja sifat jahatnya, agar kamu tidak sampai bersifat seperti itu,” ujar ayah April.
April menangis sepanjang jalan menuju rumah sakit. Pak RT yang melihat dari kaca spion hanya bisa menasihati agar tetap bersabar.
Namun, penyesalan sudah terlanjut menggerogoti jiwa. Tatkala ia tiba di depan sang ayah, orang yang dipanggil-panggil namanya sudah tidak merespons. Dokter mengatakan ada kerusakan parah di organ dalam akibat pemukulan.
“Seandainya aku bisa mengulang waktu, seharusnya kugenggam tangan Ayah sewaktu Ibu meninggal. Agar Ayah tidak merasa sepi dan kehilangan, hingga akhirnya melampiaskan kesendirian pada hal yang negatif. Seharusnya aku bisa menjaga Ayah sebelum ini terjadi.“
“Tidak, Pril. Ayah yang salah. Seharusnya ayah bisa melihat keterpurukan kamu saat itu. Seharusnya ayah tidak menjadikanmu korban karena rasa sedih ayah. Kamu yang lebih kehilangan ibumu.”
April memandang hujan yang kembali turun, berdua bersama ayahnya di teras rumah sakit. Ia bersyukur Tuhan masih memberi kesempatan kedua untuk pria yang kini duduk di kursi roda itu. Selama beberapa hari pria itu mengalami koma, April berada di ambang asa. Separuh hati takut kehilangan, tetapi separuh lagi takut jika ayahnya sembuh dan kembali mengulangi perbuatan buruknya.
Namun, kenyataan berbanding terbalik dengan pemikiran April. Hanya ada genggaman tangan antara ayah dan anak itu. Genggaman yang pernah dicuri oleh takdir sementara, genggaman yang kembali setelah sebuah hati ikhlas memaafkan dan menerima. Bersama hujan yang tidak lagi mengguyur tubuh kecilnya, April melarung benci dan pikiran buruk terhadap ayahnya. (*)
Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna. Akun FB: Dyah Maya Diputri.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata
2 thoughts on “Melarung Benci”