Melarat

Melarat

Melarat

Oleh: Diah Estu Asih

 

Aminah mencabut singkong ketika malam hampir tiba, ketika matahari hampir tenggelam, dan cahaya kuning keemasan membias cemerlang. Ia berjongkok untuk mengambil sisa singkong yang patah dan tertinggal di dalam tanah. Air menetes mengenai tangannya. Ia biarkan saja. Lalu airnya menetes lagi, dan lagi, dan lagi, sampai terdengar suara isak tangisnya sendiri. Barulah Aminah mengusap matanya dan menarik napasnya, menghalau kesedihan yang tampil sebagai tangisan pilu dan air mata. Penyebabnya tak lain tak bukan adalah keadaan keluarganya yang melarat.

Bu Hendri, tetangga sebelahnya, mematik kesedihan mendalam Aminah hari ini. Utangnya pada wanita yang berprofesi sebagai guru itu memang terbilang banyak. Satu juta dua ratus ribu, yang Aminah pinjam sejak empat bulan lalu. Ketika itu suaminya akan pergi merantau ke ibu kota bersama seorang kawan, tetapi sepeser pun tak punya sangu. Akhirnya Aminah memberanikan diri datang ke rumah Bu Hendri, meminjam uang sejumlah lima ratus ribu rupiah untuk bekal suaminya. Ia berjanji akan mengembalikan uang itu satu bulan kemudian setelah suaminya mendapatkan gaji pertama. Sementara itu, sehari-hari Aminah akan bertahan dengan beras bantuan pemerintah dan sayuran di kebun.

Hari yang ditunggu Aminah tiba. Sebelumnya ia tidak tahu bahwa suaminya akan pulang begitu dapat gaji, tetapi melihat lelaki itu berdiri di depan rumah membawa ransel berisi pakaian, membuatnya senang bukan main. Namun, kesenangannya terenggut beberapa menit kemudian, ketika suaminya menunjukkan luka-luka di seluruh badan. “Disiksa bos,” kata suaminya parau. Panas tubuhnya begitu tinggi dan ketika malam tiba, lelaki itu menggigil. Aminah berusaha menangani keadaan itu dengan obat tradisional yang diwariskan orang tuanya. Ia memarut pangkal pohon pisang kepok dan airnya diminum suaminya. Biasanya obat itu tidak pernah gagal. Aminah percaya. Dia menunggu dua jam dan suaminya masih panas tinggi. Aminah berusaha dengan obat lain, tetapi masih tidak berhasil sampai pagi tiba.

Pukul enam pagi itu, Aminah kembali mendatangi rumah Bu Hendri. Wajahnya berkeringat, ketakutan dan sungkan. “Mau minta tolong, Bu, minta tolong sekali bantu saya bawa suami ke puskesmas. Sedari pulang sudah sakit, sekarang tambah nggak bisa apa-apa.”

Bu Hendri menyambutnya dengan baik. Mobil segera disiapkan dan suami Aminah dibawa ke puskesmas pagi-pagi sekali. Bidan menanganinya, memberinya beberapa jenis obat. Berangsur-angsur suhu tubuh suaminya turun. Aminah mengucapkan terima kasih sampai menangis pada Bu Bidan dan Bu Hendri. Suaminya dirawat di puskesmas dua hari lamanya. Bu Bidan memanggil Aminah pagi itu ke ruangan. Di sana sudah ada Bu Hendri yang memang bersahabat baik dengan Bu Bidan.

Bu Bidan mengucapkan maaf beberapa kali sebelum mengajak Aminah berbicara soal harga obat-obatan dan rawat inap di sana. Aminah tahu, kini saatnya ia membayar tagihan. Wajahnya kembali mendung dan air matanya menyusut. Dia meminta maaf pada Bu Bidan karena suaminya tidak dibayar saat pulang. Tidak ada uang selain tiga lembar di dompetnya yang bernilai 20.000, 5.000 dan 2.000 rupiah.

“Saya bayar dulu nggih, Bu Am, tagihannya,” tawar Bu Hendri sembari mengeluarkan uang. “Nanti dicicil pelan-pelan saja. Sama utang yang pas suami Bu Am mau berangkat itu.”

Aminah sangat senang dengan bantuan Bu Hendri. Ia berjanji akan membayar dicicil jika punya uang nanti. Total utangnya menjadi 1.200.000 tanpa bunga sepeser pun. Setelah suaminya sembuh dan dapat bekerja lagi, Aminah menabung pelan-pelan untuk membayar utang. Dua bulan membuat Aminah hanya mampu mengumpulkan uang 150.000, dan sesuai janjinya pada Bu Hendri, ia datang ke rumah itu sore hari. Niatnya agar Bu Hendri percaya bahwa bagaimanapun, Aminah berusaha mengembalikan utangnya.

Rumah Bu Hendri merupakan rumah gedung bercat kuning, kontras dengan rumah Aminah yang setengah semen dari bantuan pemerintah dan setengah ke atasnya masih papan yang bolong termakan usia di beberapa bagian. Ia mengetuk pintu Bu Hendri yang sore itu tertutup. Beberapa ketukan dan salamnya tidak terjawab. Saat Aminah hampir pulang, Bu Hendri muncul dari pintu samping.

“Aduh, Bu Am, aku udah nunggu lama utangnya ini dikembalikan. Mana Bu Am? Aku lagi butuh buat bayar sekolah Cici.”

Aminah tersenyum sopan, lalu menyerahkan lembaran-lembaran di tangannya pada Bu Hendri. Wanita itu menghitung cepat dan wajahnya memerah setelah menghitung lembaran terakhir.

“Dua bulan cuma seratus lima puluh, Bu Am?”

“Besok saya cicil lagi Bu, kalau sudah ada.”

“Bukannya Bu Aminah ini sering beli beras, ya, di warung. Raskinnya dijual murah, terus beli beras enak gitu, kan?” Bu Hendri mengantongi uang itu dengan wajah judes. “Aku sudah baik mau bantuin Bu Aminah dan suami. Aku tahu, lo, kalau kalian itu nggak punya uang pas suami sakit. Dapat musibah juga. Tapi, kok kalian malah senang-senang makan enak sementara aku bingung nyari uang bayaran sekolah anakku.”

“Maaf, Bu, beras bantuannya memang dijual. Ada yang beli mahal. Terus beli di warung itu beras jelek, beras kebanjiran. Lebih murah.”

“Ya sudahlah, gimana maunya Bu Aminah aja. Lain kali jangan datang lagi pinjam uang, ya. Orang itu kalau punya utang yang didahulukan utangnya, bukan urusan perutnya.”

Aminah tersadar dari lamunan lalu mengusap air matanya. Ia mengangkat semua singkong dan membawanya pulang. Singkong itu ia tanam di pekarangan, jaga-jaga jikalau ia tak lagi punya beras untuk dimakan. Suaminya baru saja pulang dari kebun mencari daun singkong untuk sayur ketika melihat Aminah berjongkok. Isak tangisnya terdengar pelan dan wajahnya diusap-usap dengan tangan.

“Makan singkong saja, ya,” kata Aminah. “Berasnya aku jual, buat bayar utang Bu Hendri.”

Malam itu, Aminah dan suaminya menelan singkong dengan payah. Biasanya mereka makan singkong dan masih bersyukur bisa mengisi perut. Namun, malam itu singkong terasa susah ditelan. Hanya air minum yang terus masuk ke perutnya.

Pukul sebelas malam gerimis mulai datang. Aminah sudah berbaring di kamar, entah tidur entah pura-pura tidur. Suaminya masih duduk di kursi ruang tamu dengan sebuah golok dan sebilah pisau di sampingnya. Ketika gerimis agak deras, suami Aminah beranjak dari kursi diam-diam. Golok ia ikatkan di pinggang dan pisau ia selipkan di pinggang yang lain. Ia membuka pintu pelan-pelan, lalu melangkah keluar rumah menerobos gerimis.

Aminah mendengar suara itu. Biasanya ia menahan, tak ingin makan uang haram dan memilih kelaparan. Namun, malam ini, ia biarkan suaminya pergi mencari nafkah. Dalam hati ia memohon ampun pada Tuhan dan memohon agar suaminya diberi keselamatan.(*)

Lampung, 15 Agustus 2021

 

Bionarasi:

Diah Estu Asih senangnya dipanggil Diah, lahir pada 29 Agustus tahun-tahun lalu. Ia menekuni bidang sastra sejak bergabung dengan LokerKata, pertengahan tahun 2020 sampai sekarang.

 

Editor: Erlyna

Sumber gambar: https://pin.it/5ffpAC8

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply