Mei Tak Ingin Pergi ke Surga
Oleh: Fika Anggi
“Kamu sudah punya pacar, Ndhuk?”
Gadis yang ditanya diam tak bersuara, tangannya sibuk mengusap punggung Mei yang telanjang. Susah payah perempuan ringkih itu memiringkan tubuh. Di atas meja kecil di sebelah ranjang, tergolek selembar handuk dan peralatan mandi dan sebuah baskom berisi air hangat. Hampir dua bulan Mei menjelma bunga ranjang, tak sanggup menegakkan tubuh dan menjadi lumpuh. Bilur-bilur merah di punggung telah semakin parah dan meninggalkan luka lecet yang pedih. Iritasi karena lama tak terkena angin dan sinar matahari.
Semalam suami Mei berkata bahwa sudah seminggu ini anak perempuan mereka tersenyum-senyum sambil mematut diri di depan cermin sebelum berangkat ke sekolah. Bocah yang dulu diboncengnya ke taman kanak-kanak itu kini menjelma remaja empat belas tahun yang mulai merasakan kasmaran. Mungkin pada teman di kelas sebelah atau anak lelaki setingkat di atasnya. Mei jadi penasaran apakah Elano sudah mendapat mimpi basah pertamanya.
Waktu seolah berlari di depan cuping hidung Mei.
Enam tahun lalu Mei menginap cukup lama di rumah sakit, hampir tiga minggu. Elena masih delapan tahun saat itu sedangkan adiknya baru menginjak enam. Suami dan dua anaknya tak pernah alpa mengunjungi Mei di bangsal rumah sakit. Setelah berjalan lebih kurang lima kilometer, ketiganya selalu tiba dengan senyum rekah di depan pintu kamar tempat Mei dirawat.
Kakak-beradik itu akan memamerkan beri-berian yang mereka petik di sepanjang perjalanan juga bergantian menceritakan kegiatan mereka di sekolah. Sedang suami Mei akan membuka kotak makanan yang ia bawa dari rumah kemudian mereka berempat akan menemani Mei menghabiskan jatah ransumnya. Menjelang pukul lima, ketiganya pamit. Jadwal mengaji Elena dan Elano dimulai sehabis magrib. Sambil mencium kening kedua buah hatinya, Mei berpesan, “Mengajilah dengan baik serta doakan kesembuhan Ibu.”
Ketika keluar dari rumah sakit, Mei meninggalkan payudara kanan di meja operasi.
Sejak itu perempuan paruh baya itu seolah tergesa, seluruh waktu dan tenaga yang ia habiskan untuk menyiapkan kedua anaknya. Elena mesti mencuci sendiri pakaiannya walau belum genap sepuluh tahun, Elano harus mau mengambil tugas menyapu dan mengepel rumah saat sore hari. Mereka harus belajar mengatur uang saku dan mengerti keadaan keuangan keluarga. Mei juga menuturkan resep-resep masakan yang harus dicatat Elena.
Perselisihan-perselisihan kecil kerap terjadi antara Mei dengan anak-anaknya. Elena kerap protes saat harus mengerjakan ini-itu selain PR sekolah. Elano beberapa kali mengeluh karena hanya boleh membaca komik di hari Minggu. Meski telah banyak yang Mei ajarkan pada kedua buah hatinya, ia tetap saja merasa kurang. Mei gelisah memikirkan kontrak hidupnya bisa putus kapan saja di tengah gerogotan penyakit.
Tak hanya suaminya yang berangkat bekerja pagi-pagi sekali, Mei turut mengerjakan banyak hal untuk menambah jumlah rupiah. Selain menerima tetangga yang bermaksud menggunting, mengeriting, dan menutup uban, Mei juga membuka warung es campur dan jajanan. Jika uang yang mereka kumpulkan habis di kasir apotek, mereka akan segera mencari penghasilan sampingan. Mei ingin kedua anaknya sadar bahwa tak pernah ada alasan untuk menyerah.
Suatu pagi di awal Desember, Mei kembali mengunjungi dokter, sakit di punggungnya sudah tak mampu ia tahan. Hasil tes yang ia terima, sel kanker telah menyerang tulang belakang. Tak ada opsi operasi pengangkatan seperti sebelumnya karena tak mungkin manusia bisa hidup tanpa tulang penyangga. Chemotherapy adalah satu-satunya jalan yang mungkin bisa memperpanjang masa hidupnya. Bukan menyelamatkan nyawa.
Meski telah bersiap dengan kabar terburuk, Mei tak pernah membayangkan bahwa waktu kematiannya bisa ditentukan vonis dokter.
Kondisi Mei makin memburuk hari ke hari. Mulanya Mei masih sanggup berjalan, kemudian dirinya mesti dituntun. Ketika tahun berganti Mei sudah tak sanggup berdiri, suaminya menggendong tubuh masainya setiap kali ia ingin duduk-duduk menikmati sinar matahari atau menunggui Elena dan Elano belajar.
Lelaki yang meminang Mei lima belas tahun lalu itu tak pernah lelah bekerja, mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk menebus tablet-tablet yang ditulis dalam resep. Menderaskan banyak doa setiap kali menyuapkan tiap butir-butir pil ke bibir Mei yang kering. Menunda memenuhi pesanan juragan agar bisa mengantar dan menunggui Mei menjalani kemo. Mencuci rambut Mei yang menipis hari ke hari dan menyabun tubuhnya yang makin susut hari ke hari. Mengambil alih urusan dapur karena Mei hanya sanggup meringkuk di tempat tidur.
Pertanyaan Mei menuai bisu di udara, ia bisa memahami kecamuk di hati anak gadisnya. Mei tak yakin apakah ia berkesempatan menemani kedua anaknya melewati masa pubertas atau bahkan mengantar mereka ke gerbang pernikahan. Mei merasa kehabisan waktu.
“Jika nanti Ibu bisa datang mengambil rapor sekolahmu lagi, kamu boleh mengenalkan Ibu pada teman lelaki yang kamu suka itu, Ndhuk”
* * *
Ayat-ayat ditalkinkan, Mei mengenal lafad itu dengan baik. Pengeras suara masjid biasa memperdengarkannya di waktu-waktu tertentu. Meski tak bisa mengaji, ingatan Mei cukup lapang menyimpan ayat-ayat berima itu. Kali ini, suami Mei yang menderaskan ayat-ayat itu dari bibirnya. Beberapa kali lelaki itu tampak mengerjapkan mata, menahan bendungan agar tidak tumpah ruah di pipi cekungnya.
Dalam keyakinan Mei, kematian tidak boleh ditangisi. Sejak kecil, Mei diajarkan untuk percaya bahwa setiap yang mati sesungguhnya bertemu Bapa di surga. Namun dalam ajaran suaminya, Mei akan dihadapkan pada pengadilan sebelum menyeberang ke surga. Itu kalau ia tak lebih dulu jatuh ketika meniti jembatan setipis helaian rambut.
Mei tiba-tiba teringat ucapan Elano ketika mengulang pelajaran agama yang didapat dari ustaznya, “Rambut dibelah tujuh, Bu, dan di bawahnya api menyala-nyala.” Mei merasa kakinya mulai mati rasa, ia bergidik ngeri bagaimana jika kakinya tak dapat ia langkahkan menyeberangi titian yang dikatakan Elano.
Punggungnya terasa semakin panas hari-hari ini. Mungkin iritasinya semakin parah. Atau justru penyakitnya tak mau menyerah pada maut. Berusaha mempertahankan inang untuk digerogoti lebih lama. Jika memang begitu, Mei bersedia sel kanker itu menjajah seumur hidupnya, asal kematian bisa ditunda. Pelan-pelan kemudian, panas di punggung mulai menghilang, berganti kebas. Mei tak lagi bisa merasakan permukaan seprai. Rasa sakit itu menjalar ke batang leher Mei, terus merangsek menuju kepalanya yang hampir botak.
Setengah jam lalu, ibu Mei mengajak Elena dan Elano naik ke lantai dua. Mei ingin mampir sebentar ke kamar mereka. Mei ingin memastikan kalau keduanya sungguh belajar dan tidak menyembunyikan komik di balik buku pelajaran yang mereka baca. Sekali lagi mendongengkan kancil yang sibuk menghitung punggung buaya atau legenda Lutung Kasarung. Sudah begitu lama sejak Mei terakhir kali mengecup kening kedua anaknya saat mereka meringkuk dalam pelukannya.
Sebetulnya, Mei tak ingin pergi, tapi, Bapa telah menunggunya di depan gerbang surga. (*)
Fika Anggi, seorang perempuan yang sedang belajar menjadi ibu, manusia, dan penulis yang baik.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata