Megumi dan Kenangan Itu

Megumi dan Kenangan Itu

Megumi dan Kenangan Itu
Oleh: Fukuda Maruyama

Megumi sesekali menoleh, menatap pohon-pohon sakura. Kelopaknya bermekaran di sepanjang jalanan kota Tokyo, Jepang, yang dilaluinya dari atas sepeda. Sudah lama sekali ia tak bertemu dengan Azka, pemuda yang berhasil menyita perhatiannya di sela-sela kegiatan mengurus anak-anak panti asuhan beberapa tahun silam sewaktu ia di Surabaya. Namun, entah kenapa pernyataan cinta dari Azka saat itu benar-benar membuat hatinya sakit.

***

“Azka, bagaimana kalau panti ini diberi nama ‘Kami Bersama’?” Megumi yang baru saja menginjak umur lima belas tahun bertanya kepada seorang remaja laki-laki di sampingnya dengan mata berbinar. Melihat reaksi positif Megumi atas hadiah ulang tahun darinya, Azka ikut senang. Dan Azka, sahabat kecil Megumi memberi kado sebuah rumah sederhana untuk dijadikan panti yang nantinya akan diurus oleh Megumi.

Azka pun menatap balik Megumi sambil tersenyum penuh arti. Ya, anak lelaki itu bermaksud menyatakan perasaannya kepada seorang gadis di sampingnya, yang mempunyai sifat ceria, terbuka dan tekun. Namun, rencananya hanya tinggal angan. Kedua orangtuanya tak menyutujui hubungan mereka, karena Megumi menderita penyakit kanker hati yang bisa membuat nyawa gadis tersebut melayang kapan saja. Kedua orangtua Azka tidak mau mengambil risiko kalau nantinya Megumi meninggal dan membuat perasaan putra satu-satunya tersebut tersakiti.

Megumi terpaksa kembali ke Jepang untuk berobat, peralatan medis di sana terbilang cukup lengkap dan terlebih keluarga Megumi telah menemukan donor hati untuknya. Kemungkinan dia akan sembuh menjadi cukup besar. Sementara Azka hanya bisa menatap sedih kepergian Megumi di bandara. Membawa semua mimpinya ke sana, termasuk meneruskan mengelola panti asuhan, meninggalkan segala kegiatan panti asuhannya yang baru tiga bulan lalu diurusnya bersama Azka.

***

Waktu terus berlalu, Megumi tidak pernah kembali lagi ke Indonesia untuk sekadar menemui Azka apalagi menghubunginya. Mereka benar-benar terpisah sejak Megumi melangkahkan kakinya dan terbang meninggalkan Surabaya. Kini, di negara Matahari Terbit, sesuatu juga ikut terbit di bawah kelopak sakura yang berjatuhan.

Megumi menghentikan kayuhan sepedanya di sebuah taman, memarkirkannya dan berjalan ke salah satu pohon sakura. Dari sana ia memandang suasana di sekitarnya yang perlahan mulai ramai oleh pengunjung yang terus saja berdatangan dan seakan berlalu lalang tanpa henti.

“Azka, apakah kita akan bertemu kembali?” gumam Megumi gusar.

“Sekarang masih pagi. Tapi cuaca saat ini terlihat cerah.” Megumi terdiam begitu sebuah suara dari arah sampingnya terdengar. Ia menoleh, melihat seorang lelaki merenggangkan kedua tangannya ke atas. Megumi pun ikut mendongak dengan mata terpejam, tepat ketika kelopak bunga sakura terjatuh, mengenai kening gadis itu.

Kali ini ia membuka matanya, memandang lekat ke arah sosok yang lagi-lagi mendesah. Tiba-tiba, lelaki tersebut menoleh ke arah Megumi sambil tersenyum. Selama beberapa menit, keduanya beradu pandang hingga hening.

“Ah, maaf, kalau membuatmu terganggu. Entah kenapa aku jadi teringat seseorang di masa lalu,” seru Azka, lelaki yang berdiri di sampingnya. “Aku tak tahu, apakah ia masih menyukai sakura ini? Aku tidak tahu di mana ia berada.”

Megumi seakan tersihir setelah mendengar beberapa patah kata yang dilontarkan lelaki itu. Mulutnya terkunci rapat, seolah sedang menyimak dengan saksama penjelasannya.

“Terhitung sudah lima belas tahun dia meninggalkanku seorang diri, padahal kami punya mimpi untuk mendirikan dan mengurus panti asuhan di kota Surabaya. Sungguh mustahil, jika diriku tak menyukainya hanya karena berasal dari keluarga sederhana. Tetapi ….”

Megumi seolah mendengar rintihan lemah dari sosok itu, tepat ketika lelaki itu seperti sedang menggantung kata-katanya. Ia abai dan tak mau ambil pusing, hanya mendengarkan seorang asing yang baru ditemuinya.

“Tetapi, seminggu kemudian, ia memutuskan pergi dari kota itu. Sebelum sempat memberikan jawaban yang pasti atas pernyataan cintaku.”

Raut wajah Azka terlihat sedih, lalu ia kembali melanjutkan ceritanya, “Entah kenapa, kamu mirip dengannya. Oh ya, pekenalkan, namaku Azka Pramana.” Azka mengulurkan tangannya sembari tersenyum.

Megumi mendadak canggung, dirinya hanya memandang ke arah tangan Azka yang terulur dan sesekali menatap lelaki itu. Di saat yang sama, jantung Megumi seperti berdetak tak berirama, tepat ketika desir angin menerpa mereka, membuat deretan anak rambut keduanya berkerilap bersama iringan udara di pagi itu.

Megumi ikut terlarut dalam cerita yang dipaparkan lelaki yang bernama Azka Pramana tersebut. Meskipun dia masih belum mengerti mengapa cerita itu tak asing baginya. Namun, ia tak ingin terlalu memikirkan hal itu. Masa lalunya sudah terkubur di dalam ingatannya yang tak ingin dibukanya lagi. Baginya, masa lalu hanya salah satu hal yang harus dilupakan. Kini, ia hanya akan menatap masa depan dan mimpi-mimpinya, juga suami dan kedua anaknya.

 

Yogyakarta, 15 Agustus 2018

Maruyama, penyuka dunia literasi. Bersedia dikritik dan membagi ilmunya kepada orang yang membutuhkannya. FB: Fukuda Maruyama

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata