Mbok Wir, Tukang Rongsok Seberang Kali

Mbok Wir, Tukang Rongsok Seberang Kali

Mbok Wir, Tukang Rongsok Seberang Kali
Oleh : Ade Trias

Matahari mulai merangkak naik saat aku mengangkat ember besar berisi baju yang telah dikeringkan dan siap dijemur. Mataku awas, memindai setiap ada gerakan yang mencurigakan. Dua hari yang lalu, ada seekor ular keluar dari gudang tempatku meletakkan barang-barang dan kardus bekas yang sudah tidak digunakan. Aku jadi waswas jika menjemur baju di halaman belakang, takut ada ular lagi.

Hari ini, aku bertekad akan membereskan gudang. Setelah menjemur baju, aku akan langsung beraksi. Anak-anak sudah diungsikan ke rumah ibuku. Ini demi menghindari debu yang beterbangan.

Siang itu, langit cerah. Matahari bersinar dengan gagah. Aku belum selesai membongkar tumpukan barang ketika kulihat seorang wanita yang sudah tua, lewat, memanggul karung besar berwarna putih. Karung itu terlihat besar dan padat, menunjukkan betapa banyak isi di dalamnya. Kurasa, karung itu berisi kardus dan barang rongsok, karena ada plastik potongan kursi yang mencuat di atasnya.

Di sekitar sini, memang beberapa kali kulihat tukang rongsok. Ada yang naik motor seraya membunyikan klakson dan berteriak, “Rongsok, rongsok!” Ada pula yang berjalan kaki sambil memanggul karung dan membawa kait. Namun, ibu ini hanya membawa karung, tanpa ada alat lain yang menemaninya. Mengingat banyak barang bekas yang ada di gudang, aku segera membuka gerbang samping lalu memanggilnya.

“Ada rongsok, Neng?” tanyanya setelah aku menanyakan apakah ia sedang mencari barang bekas.

Aku mengangguk. “Ada, Bu. Saya punya kardus banyak, ini lagi saya beresin,” jawabku seraya membuka gerbang lebih lebar, mempersilakan wanita itu masuk.

“Wah, banyak banget!” serunya saat melihat kardus yang menumpuk. Ada tumpukan kardus bekas barang elektronik, kiriman paket, ada juga tumpukan buku bekas milik anak-anak.

“Ini saya beli semua, boleh?” tanyanya penuh harap.

“Enggak usah beli, Bu, bawa aja. Ini saya beresin emang udah nggak kepake lagi,” jawabku.

“Ya Allah, beneran?” Ia bertanya dengan mata berbinar.

Aku hanya mengangguk, lalu mempersilakan beliau menyortir mana yang akan dibawa.

Saat wanita itu tengah sibuk memilah, aku masuk untuk mengambil sebotol air dingin dari dalam kulkas. Ia pasti lelah dan haus. Sebotol air mungkin bisa membuat dahaganya hilang. “Silakan diminum, Bu,” ucapku seraya meletakkan nampan berisi botol minum dan gelas.

“Terima kasih, Neng, jadi ngerepotin,” ujarnya.

“Enggak, kok.” Kusodorkan gelas berisi air dingin yang dicampur dengan sirup melon, yang langsung diteguk habis olehnya. “Kalau kardus-kardus kayak gini, dijual laku berapa, Bu?” tanyaku saat ia meletakkan gelas kembali ke nampan.

“Kardus sekilo laku seribu tiga ratus, Neng. Kalau plastik sama gelas akua bisa seribu lima ratus. Besi yang lumayan, bisa sampe empat ribu harga sekilonya. Tapi saya jarang dapet besi,” jelas wanita itu. Ia bangkit, menyusun kardus yang jumlahnya lumayan banyak.

Aku terkejut mendengar harga yang disebutkannya. “Hah? Seribu tiga ratus, Bu?” tanyaku.

Ibu itu mengangguk. “Iya, kardus sama kertas cuma laku seribu tiga ratus. Kalau akua, seribu lima ratus.” Ia mengulang penjelasannya.

“Kalau sekarung ini, isinya kardus berapa kilo, Bu?” tanyaku penasaran.

“Kalau sekarung ini, paling delapan sampai sepuluh kilo, Neng,” jawabnya sambil tersenyum.

“Sepuluh kilo?” Aku melongo. “Cuma dapet tiga belas ribuan, Bu?”

“Iya, sekitar segitu uangnya.”

Aku mengerjap. Sungguh kaget mengetahui kardus sebanyak ini hanya dihargai tiga belas ribu. Itu pun kalau bobotnya sampai sepuluh kilo. “Kalau gelas sama botol plastik bekas, sekarung gini isinya berapa kilo?” Aku bertanya lagi.

“Kalau gelas akua, sekarung gini paling lima kilo, Neng. Kalau yang karung jumbo, bisa sampai sepuluh kilo,” terangnya.

Mataku membelalak. “Hah? Sekarung jumbo itu Ibu dapetnya lima belas ribu aja, dong?” tanyaku tidak percaya.

Wanita itu mengangguk, membenarkan.

Aku terduduk lemas di sampingnya, membayangkan berapa lama ia harus mengumpulkan kardus dan gelas bekas demi mendapat uang belasan ribu. Tiba-tiba, sosok Emak di kampung melintas dalam benak. Mungkin Emak seumuran dengan beliau.

Membayangkan Emak membuat hatiku terenyuh. Apa jadinya jika di usianya sekarang, Emak harus berjuang sekeras ibu ini? Entah sejak kapan air mata mulai menggenang di kelopak mataku.

Bayangan wanita yang sedang memasukkan kardus itu mengabur karena air mata menggenangi mataku. “Ibu kenapa nggak cari besi aja? Kan, lebih mahal harganya,” Aku bertanya sambil mengusap bulir air yang mulai menetes.

“Saya udah tua, Neng, nggak kuat angkat-angkat besi. Lagian, saya nggak punya itu alat magnetnya,” jawabnya dengan malu-malu.

Aku tidak bisa lagi menahan isak tangis. Bulir bening kembali meleleh di pipi kiri. “Ibu, mau nggak kalau saya kasih perabot yang udah nggak kepakai? Ada panci, ada teflon juga. Laku nggak, Bu?” tanyaku sambil menyeka air mata. Setelah ia mengangguk, aku segera masuk untuk mengambil beberapa peralatan dapur yang sudah lama mangkrak di dapur dan teras belakang.

Dengan bersemangat, kukeluarkan beberapa barang tak terpakai itu. Ada panci yang sedikit bolong, ceret stainless steel usang yang sudah bocor, ada juga teflon lawas yang sudah berkerak, yang memang sudah dipisahkan tanpa tahu akan dibuang ke mana.

“Neng, banyak amat. Ini nggak kepakai semua?” tanya si Ibu saat aku membawa keluar semuanya. Tangannya terulur mengelus salah satu panci. “Ini mah masih bagus,” ujarnya.

“Iya, ini udah lama nggak kepake, Bu, tapi saya bingung mau dikemanain,” jawabku. “Tunggu sebentar ya, Bu, masih ada beberapa lagi kayaknya.”

Aku kembali berlari masuk. Di dalam, aku mencari-cari teflon besar yang dulu dibelikan oleh Emak, tapi sudah mengelupas lapisan anti lengketnya. Aku juga meraih ketel tebal yang dulu sering pakai Emak untuk membuat nasi liwet. Benda itu sudah lama tidak terpakai. Akan lebih baik jika kuberikan saja kepada wanita yang mencari rongsok itu.

Saat hendak membawa kedua barang itu keluar, mataku menangkap sebuah kipas angin duduk yang kubeli saat pertama pindah ke sini. Benda itu tidak terpakai lagi karena sudah ada AC. Kusambar kipas angin yang masih bisa menyala dengan normal lalu membawanya ke depan.

“Bu, ini kipas anginnya masih nyala, masih bagus. Sayang di sini nggak terpakai,” ujarku seraya meletakkan kipas itu di teras gudang. Kupasang kabel penghubung ke colokan listrik, lalu kunyalakan tombol power-nya.

Kulihat si ibu senang sekali mendapat kipas angin yang masih berfungsi. Matanya berbinar sambil mengusap barang itu. “Ya Allah, makasih ya, Neng … baik banget mau ngasihin ini ke saya. Mudah-mudahan rezeki Neng dan keluarga semakin berkah dan berlimpah,” ucapnya seraya mengelus lenganku.

Aku mengangguk. “Amin, makasih ya, Bu. Semoga kipas anginnya bermanfaat,” ujarku. Aku kembali duduk saat ia membereskan panci dan beberapa teflon yang barusan kuambil dari dalam. Dari tempatku duduk, aku memerhatikan wajahnya yang penuh peluh dan keriput. Lagi, bayangan Emak melintas di benak. Membayangkan jika sosok itu adalah Emak, membuat air mataku tidak sanggup lagi bertahan di pelupuk mata. Aku menahan isak, menutupi wajah dengan jilbab yang kukenakan.

Sungguh, dadaku sesak. Aku ingin menangis, tapi malu. Akhirnya, aku memilih untuk meninggalkan ibu itu dan mengambil camilan di dapur.

“Silakan dicicip kuenya, Bu.” Aku menyodorkan sepiring bolu kojo yang tadi pagi kubuat.

“Ya Allah, udah, Neng, saya jadi ngerepotin,” ucapnya tanpa melepas karung berisi kardus yang sedang diikat menggunakan tali rafia.
“Enggak apa-apa, Bu. Sini, duduk dulu.” Aku bersikeras memanggilnya agar mendekat.

Si ibu menurut. Ia mengambil piring kecil yang sudah kuisi dengan potongan kue, lalu mulai menyuapkan potongan ke dalam mulutnya. Kami menikmati bolu bersama sambil bercerita banyak hal. Aku terperanjat saat mengetahui bahwa ia bukan asli dari sini.

“Saya asalnya dari Ciamis. Dulu suami saya lebih dulu merantau ke sini. Karena dirasa di sini mudah nyari uang, lalu saya diajak suami biar ikut merantau. Eh, ternyata kehidupan di sini tak sesuai harapan, padahal semua harta benda di kampung sudah dijual. Untung aja udah bisa beli sepetak tanah di sini,” ucapnya seraya mengunyah.

“Suami Ibu kerja apa?” tanyaku sambil menatapnya.

“Dulunya kerja di rumah orang, tapi enggak tau kenapa diganti orang lain. Akhirnya terpaksa nyari rongsok karena enggak punya keterampilan lain.”

Aku mengangguk-angguk mendengar penuturannya. “Anak-anaknya di sini atau di kampung, Bu?”

“Anak-anak ikut ke sini semua. Udah berkeluarga. Hidup mereka juga enggak lebih baik dari kami, Neng. Yang satu mulung, yang satu jadi tukang cuci,” ujarnya seraya tersenyum getir. Ia lalu meletakkan piring kecil yang sudah tandas isinya dan kembali melanjutkan pekerjaannya membereskan kardus.

Tak lama, ibu itu selesai mengikat semua barang. Ada dua karung jumbo dan satu karung berukuran sedang yang sama-sama penuh. Namun, ia terlihat bingung membawanya.

“Neng, saya titip dulu, boleh, nggak? nanti saya ambil lagi,” tanyanya sebelum mengangkat salah satu karung besar.

“Oh, iya, Bu. Enggak apa-apa, biar di sini dulu aja. Memang, ini mau dibawa ke mana?” tanyaku sambil menunjuk karung besar yang sedang diangkat.

“Mau langsung saya jual aja, Neng, biar nggak repot saya bawa-bawa karung nyeberang kali,” jawabnya.

Aku mengernyit. “Nyeberang kali?”

“Iya, rumah saya di seberang kali, harus naik rakit kalau ke sana. Saya takut kardusnya basah, jadi mau langsung saya jual aja,” jelas si ibu.

Aku bengong mendengar penjelasan ibu itu. “Emang, nggak ada jembatan, Bu? Kok, pakai rakit?”

“Tadinya ada jembatan gantung, tapi udah putus waktu banjir bandang, terus enggak dibenerin sampai sekarang,” terangnya.

“Ibu bisa naik rakit?” Aku bertanya lagi.

“Tadinya ya enggak bisa, tapi karena terpaksa, belajar, lama-lama bisa.” Ibu itu menjawab dengan malu-malu.

Lagi, aku hanya bisa mengangguk-angguk. “Ibu, namanya siapa?” tanyaku sambil mengulurkan tangan.

“Saya Wiryani, orang-orang deket kali biasa manggil saya Mbok Wir,” jawabnya seraya menjabat uluran tanganku.

“Nama Saya Asti, Bu. Kalau Ibu lewat sini, mampir, ya, saya di rumah terus, kok. Ini, karung yang ini biar di sini dulu.“ Tanganku menunjuk karung besar yang masih tergeletak di bawah.

“Makasih ya, Neng, maaf ngerepotin. Saya enggak berani taruh di luar, takut ilang. Soalnya pernah saya taruh rongsok satu karung di pinggir jalan, isinya besi-besi semua. Saya tinggal ke seberang sebentar, eh, pas mau saya ambil, udah enggak ada. Aduh, saya nangis, Neng. Itu saya kumpulinnya dari pagi.” Mbok Wir bercerita dengan mata berkaca-kaca.

Aku terenyuh mendengarnya. Padahal, sekarung itu mungkin hanya bernilai belasan ribu, tapi Mbok Wir sampai menangis kehilangan karung rongsoknya.

Pikiranku tiba-tiba melayang ke dalam lemari. Ya Allah, apa kabar gamis mahal? Apa kabar tas branded? Apa kabar sepatu yang keluar dari dus bermerek? Apa kabar skincare seharga ratusan ribu?

Astagfirullah … Astagfirullah … Astagfirullah ….

Aku merasa malu sekali, seolah Mbok Wir sedang melucuti semua yang kubanggakan selama ini. Astagfirullah ….

“Mbok, di mana biasa jual rongsoknya? Biar diantar sama tukang ojek, ya?” Aku menyambar gawai yang tergeletak di atas meja, membuka aplikasi pemesan layanan ojek online.

“Eh, enggak usah, Neng, biar saya gendong aja,” tolak Mbok Wir.

“Udah, Mbok, nggak apa-apa. Saya pesenin ojek sekarang,” ujarku sambil mengetik alamat dalam aplikasi.

Tak sampai lima menit, ojek pesanan tiba. Setelah membantu menaikkan karung-karung itu, Mbok Wir ikut naik, memegangi semua barang rongsok yang sudah dimasukkan.

Kusempatkan menjabat tangannya sembari menyelipkan beberapa lembar pecahan seratus ribu.

“Ini buat Mbok Wir. Kalau lewat sini, jangan sungkan mampir, ya, Mbok,” ucapku. “Jalan, Bang,” kataku kepada tukang ojek.

Mbok Wir kaget melihat apa yang ada di tangannya. Ia hendak menolak, tapi tidak bisa meraihku karena kedua tangannya memeluk karung besar berisi kardus.

“Terima kasih ya, Neng! Semoga Allah limpahkan keberkahan buat Neng sekeluarga!” seru Mbok Wir dari atas motor yang mulai melaju.

Aku melambaikan tangan, melepas kepergian wanita tangguh yang baru saja menamparku dengan segala ketegarannya. Amin, Mbok. Semoga doa Mbok Wir diijabah, biar aku bisa berbagi sama orang banyak.

Setelah menutup pintu gerbang, aku melenggang masuk. “Ya Allah, semoga Mbok Wir sehat terus. Insya Allah, besok kalau ada waktu, aku mau tengok Mbok Wir di seberang kali,” lirihku pada diri sendiri.

 

2020

Ade Trias, wanita kelahiran Pringsewu, 11 November 1991 adalah ibu rumah tangga yang menjadikan aksara sebagai ajang bersenang-senang.

Editor : Imas Hanifah N.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply