Mbok Nah
Oleh : Mila Athar
Jilbab hitam yang semakin memudar tersebut tertiup angin pagi yang menusuk tulang. Langkahnya tertatih, tapi ia tak surut dalam menapakkan kaki yang semakin renta. Lalu lalang kendaraan bermotor, mendahului langkahnya. Mentari baru saja hadir, tetapi bumi sudah disibukkan dengan aktivitas manusia yang tiada henti. Mengejar rezeki yang tiada batas, mungkin.
Pagi ini, seperti biasa tubuh ringkihnya juga dipaksa untuk mengais rezeki. Di sela jalan, dia harus berhenti karena batuknya tak kunjung reda. Mbok Nah namanya, berjuang demi mencari sesuap nasi. Setiap pagi, ada bakul yang digendong di belakang punggungnya. Bakul itu berisi tempe yang dibungkus daun. Tiap pagi, Mbok Nah tak pernah absen untuk pergi ke pasar. Sehabis Shubuh, lekas dia menata dagangannya dan bersiap menjajakan tempenya di pojokan pasar. Berjalan sejauh 6 kilometer sudah biasa baginya, tak pernah ada keluh. Meski zaman sudah semakin maju, kendaraan yang beribu-ribu jumlahnya, tak membuatnya bergeming untuk memiliki. Selain tak ada uang untuk membeli, baginya ia tak butuh sepeda. Selama ia masih punya kaki untuk berpijak, ia memilih menggunakan kekuatannya untuk pergi ke mana pun untuk berjalan.
Jika kau tanya anak-anaknya ke mana, ada. Mereka ada dua, telah merantau semua. Yang paling besar lelaki, sudah jadi guru di ibu kota sana. Hidup cukup, walau tak bisa dikatakan kaya. Mereka hanya pulang ketika hari lebaran saja. Itu pun sangat jarang. Si bungsu, perempuan. Diajak merantau suaminya ke Kalimantan menjadi buruh kelapa sawit katanya. Tak pernah pulang, karena jarak yang begitu jauh dan biaya yang tidak sedikit jika pulang. Lagi pula si bungsu, sedang punya 2 balita yang masih kecil. Bahkan yang dia dengar dari tetangga sebelah rumah, si bungsu sedang hamil lagi.
Jika kau tanya lagi, apa Mbok Nah sedih jauh dari anak-anaknya. Ia hanya menjawab dengan tersenyum. Baginya yang terpenting, anak-anaknya hidup sehat dan bahagia dengan keluarganya. Anak-anaknya bukannya tak peduli. Mereka bahkan pernah mengajak Mbok Nah untuk tinggal bersama dengan keluarganya, boleh ikut ke Jakarta atau Kalimantan. Mbok Nah tak memilih dua-duanya. Dia tetap memilih hidup di desa, di rumah bambu yang menurutnya tempat ternyamannya di dunia. Tempat berjuang suami dan dirinya sejak dahulu kala.
Jika kau tanya lagi suaminya ke mana. Ia telah meninggal sejak lima tahun yang lalu. Meninggal di musala dekat rumah ketika Shubuh tiba. Pak Sarkawi namanya, marbot masjid yang tak pernah absen adzan lima waktu. Meski ia hanya seorang buruh lepas, tapi tak pernah lepas sembahyangnya.
Mbok Nah hidup sendiri. Tapi baginya, ia punya Gusti Allah yang selalu menemani. Dalam setiap doanya, ia selipkan untuk kedua anaknya agar mereka tak lupa beribadah kepada-Nya. Bagi Mbok Nah harta bukan menjadi tolok ukur kesuksesan dunia. Bisa cukup makan dan beribadah dengan tenang sudah menjadi kebahagiaan terbesarnya.
Hiruk pikuk pasar tampak di mana-mana ketika ia tiba. Penjual sayur, buah, dan toko-toko sembako telah ramai oleh pembeli. Satu-dua orang pembeli sedang asyik menawar dengan harga yang kadang tidak masuk akal. Mbok Nah segera meletakkan bakulnya di atas alas yang ia bawa. Alas berupa kain tak begitu lebar ia gelar di tanah yang cukup lembab. Segera ditatanya tempe daun tersebut.
“Baru dateng, Nah?”
“Iya, kamu sudah dari tadi?”
“Belum, aku ya belum lama datang.”
Mbok Narti, penjual bumbu dapur menyapanya. Mereka telah lama saling mengenal. Menjadi partner di pasar tersebut.
***
Matahari sudah sepenggalan naik. Sinarnya semakin menggerahkan raga. Mbok Nah hanya bisa mengipasi dirinya dengan selembar kertas usang dari bekas kardus bekas yang ditemukannya. Hatinya sedikit nyeri, melihat masih banyak tempe yang terhampar di hadapannya. Hari ini, tampaknya para pembeli tak berniat memilih tempe sebagai menu makan. Mereka mungkin memilih ikan, telur, daging ayam atau daging segar pilihan.
Sedari tadi sejak dia datang, hanya dua orang yang membeli dagangannya. Itu pun tak seberapa, tetapi Mbok Nah mencoba tersenyum di tengah kegalaunnya. Pembeli tetap dilayani dengan ramah, walau tak jadi membeli. Pun ketika mereka menawar seenaknya.
Pada akhirnya mungkin tempe Mbok Nah akan membusuk dan dibeli oleh para pedagang bubur. Tempe busuk, yang dihargai begitu murah. Mbok Nah tak pernah mengeluh. Selalu disyukurinya berapa pun rezeki yang diberikan Tuhan kepadanya.
Azan Zuhur mulai berkumandang, pasar sudah tampak sepi. Hanya tinggal satu dua toko besar yang masih buka sampai sore. Para pedagang sudah menutup lapaknya sebelum zuhur tadi. Biasanya ketika pukul 11.00 Mbok Nah sudah beranjak, tapi kali ini dia mencoba peruntungan untuk mengais rezeki. Siapa tahu, masih ada orang yang menginginkan tempenya.
Sebagai pedagang, hal seperti ini sudah menjadi hal yang lumrah. Kadang tempe habis terjual, kadang sepi tak ada pembeli. Mbok Nah sudah makan asam garam sebagai pedagang. Hari ini dia sedang mengalami asamnya.
“Mbok, bagi duit!”
Tiba-tiba suara tersebut mengentaknya. Lelaki berkaus hitam dengan rambut kemerahan acak-acakan. Wajahnya legam, ada luka di dahinya. Bajunya sedikit kumal. Tercium samar-samar bau minuman keras murahan.
“Owalah, bikin kaget saja.”
Mbok Nah berusaha menjawab dengan tenang.
“Jangan banyak basa-basi, sini cepet kasihin duitnya,” suara bass-nya kembali mengentak.
“Mbok, dilihat daganganku, tempe masih banyak, duit bikin tempe untuk esok saja masih bingung,” Mbok Nah kembali menjelaskan dengan tenang.
“Ah, nggak peduli.”
Tiba-tiba tangannnya maju, berusaha merebut tas kresek hitam yang berada di pangkuannya. Mbok Nah sekuat tenaga mempertahankan tas kresek tersebut. Ada beberapa uang hasil dagangan dan uang simpanan yang rencananya akan ia gunakan untuk berangkat haji. Kebetulan ia belum sempat menyetorkan ke BMT dekat pasar hari ini.
Mbok Nah dengan sekuat tenaga mempertahankan tas kresek hitam miliknya, tetapi tubuh renta itu tak sebanding dengan kekuatan sang pemuda. Tanpa belas kasih, lelaki tersebut mendorong Mbok Nah hingga terjengkang dan secepat kilat merebut kresek hitam tersebut, lalu kabur begitu saja.
Mbok Nah meringis dan bangkit dengan sedikit kesusahan. Mau teriak, tapi suaranya tak keluar. Mungkin terlalu kaget dengan kejadian nahas yang menimpanya begitu cepat. Gusti, apa memang hari ini ia sedang diuji. Uangnya hari ini raib begitu saja. Ia melihat sekitar beberapa orang menghampiri. Pandangannya sedikit berkunang.
Suara hiruk pikuk bersahut-sahutan terdengar mendengung di telinga Mbok Nah. Mereka berebut menanyainya. Mbok Nah hanya mampu menjawab dengan gelengan atau anggukan.
Pria penjambret tadi tak terkejar, jejaknya cepat sekali menghilang. Mbok Nah hanya bisa pasrah.
***
Mbok Nah tersenyum bahagia sore ini. Setidaknya, ada celoteh kecil yang menemaninya kali ini. Biasanya ia hanya berteman dengan kicauan burung atau gemerisik angin. Bahagianya sore ini begitu lengkap dengan kehadiran putra pertamanya dengan cucunya yang masih berumur 4 tahun. Siang tadi, tanpa kabar apa-apa si sulung telah berada di beranda rumah ketika ia pulang dari pasar.
“Jadi Emak nanti berangkat sama saya, sebulan lagi,” terang putranya lagi.
Mbok Nah menitikkan air mata bahagia. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Inilah jawaban doanya selama ini. Jawaban dari keikhlasannya selama ini. Ia akan bisa mengunjungi Baitullah, tempat yang ia idam-idamkan sejak dulu kala.
“Ya Allah, benarkah ini?”
Akhirnya, hanya itu kalimat pertama yang ia ucapkan pertama kali.
“Iya, Emak ndak usah khawatir. Uang ini adalah tabungan saya dan si bungsu selama bertahun-tahun. Ini sudah menjadi cita-cita kami berdua sejak kecil. Membawa Emak dan Bapak ke Baitullah. Jika kami tak pulang, maka kami menyisihkan jatah uang kami ke dalam tabungan ini. Tabungan untuk Emak. Kami berdua harus menahan rindu, jarang ketemu sama Emak. Hanya karena kami ingin segera mewujudkan mimpi Emak dan mimpi kami juga. Yah, walaupun Bapak ternyata mendahului kita. Saya yang akan menggantikan Bapak.”
Si Sulung menjelaskan panjang lebar, membuatnya dada Mbok Nah kian sesak oleh buncah bahagia. Ia begitu bahagia karena kedua anaknya masih memikirkannya. Bakti kedua anaknya adalah anugerah yang tiada terkira untuknya.
Telah sebulan berselang sejak kejadian penjambretan di pasar. Mbok Nah berusaha mengikhlaskan semua. Ia berprasangka baik, Sang Gusti akan menggantinya dengan yang lebih baik. Dan inilah jawaban doa-doa Mbok Nah selama ini. Sore ini, Allah menjawab dengan tunai. Doanya untuk anak-anaknya, tentang impiannya ke Baitullah, dan tentang keikhlasan yang tiada putus. Maka nikmat Allah mana lagi yang engkau dustakan?(*)
Mila Athar. Hanya seorang gadis biasa yang mencoba belajar beraksara yang terserak di semesta.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata