Mbok Darsih
Oleh: Respati
Setiap pagi setelah azan subuh, suara tetangga sebelah menyapu selalu kudengar. Adalah Mbok Darsih, seorang nenek yang tinggal sendirian di rumahnya yang berjarak lima meter saja dari rumahku.
Mbok Darsih adalah perempuan renta telah ditinggal mati suami dan anak bungsunya saat Gunung Merapi meletus pada tahun 2010. Mbok Darsih sedang berada di rumah anaknya yang lain di Magelang, sehingga ia selamat dari bencana. Namun, anak juga suaminya tak tertolong lagi digulung wedus gembel. Seluruh rumah dan hartanya ludes tak bersisa.
Kini Mbok Darsih menempati rumah peninggalan anaknya di daerah Bojong, Magelang. Anak tertuanya meninggal sebulan lalu, sedangkan istrinya pergi membawa serta anak semata wayang mereka. Hingga rohnya meninggalkan raga, anak dan istrinya tak kembali. Kesepian dan kesakitan membuatnya mengakhiri hidupnya sendiri. Sungguh tragis kisahnya.
Selama sakit Parman hanya berdiam diri di dalam biliknya. Rumah dinding gedheg itu menjadi tempatnya mengurung diri menyimpan rindu sekaligus penyesalan. Parman anak sulung Mbok Darsih memiliki istri dan seorang anak perempuan. Istrinya cantik, berkulit kuning langsat khas wanita jawa. Matanya bulat hitam, indah sekali. Laras—nama istri Parman—adalah kembang desa. Banyak pemuda yang tergila-gila pada kecantikannya. Dan Parman menjadi pemenang perebutan hati Laras.
Mengarungi bahtera bersama Laras bukan tanpa kerikil tajam. Cintanya bersama Laras harus berakhir saat usia pernikahan mereka baru dua tahun, dan semua karena kepercayaan.
Sore itu Parman pulang ke rumah dengan wajah merah padam. Pintu rumah dibukanya dengan paksa. Mendengar pintu dibanting keras, Laras keluar kamar. Dia sangat terkejut mendapati suaminya datang dengan wajah penuh kemarahan. Matanya melotot memandangnya. Napasnya memburu. Dadanya naik turun mengambil napas. Laras ketakutan juga bingung dengan sikap suaminya. Parman yang seperti kerasukan berjalan menghampiri Laras.
“Meteng ro sopo[1]?!” tanyanya keras. Matanya menatap Laras dengan tajam.
Pertanyaannya menusuk Laras tepat di jantungnya. Laras kebingungan dengan sikap Parman apalagi pertanyaannya. Parman meraih pundak Laras, diguncang-guncangnya meminta pengakuan wanita cantik itu. Bagai kerasukan jin,
Parman mencengkeram lengan Laras dan terus memaksa istrinya mengaku sambil berteriak kencang. Suaranya yang sangat keras membuat tetangga berdatangan. Laras yang ketakutan berusaha melepaskan cengkeraman suaminya.
Usaha Laras sia-sia, tenaga Parman seperti berlipat tak seimbang dengan tenaga Laras. Makian dan bentakan terus mengalir dari mulut Parman yang sedang terbakar amarah. Tetangga yang berdatangan berusaha melerai, tapi dihalangi Parman dengan melancarkan ancaman.
“Rasah do melu-melu. Tak pateni rika kabeh[2]!!” bentaknya keras. Para tetangga mundur teratur mengurungkan niatnya menolong Laras.
Cengkeraman Parman melunak saat mendengar suara si Mbok.
“Le, ora ko ngono, Le. Mesakke bojomu. Culke.[3]“
Parman melepas cengkeraman tangannya di pundak Laras. Spontan Laras berlari masuk ke kamar. Menangis sesenggukan. Dalam tangisannya ia masih mendengar suaminya menuduhnya selingkuh. Laras menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Laras tak habis pikir dengan tuduhan yang dilontarkan suaminya. Entah setan apa yang menguasainya hingga ia bertindak di luar kendali. Beringas tanpa hati serta mengesampingkan sisi baiknya. Sirna rasa sayangnya pada Laras. Parman benar-benar menjadi pria aneh.
Laras memutuskan pergi walaupun Si Mbok berusaha melarangnya. Hati Laras tersayat dengan semua tuduhaan Parman. Ia tak bisa memaafkan suaminya. Laras pun pergi dengan membawa serta Galih, anaknya.
***
Setiap pagi sehabis azan subuh, aku selalu mendengar suara sapu lidi Mbok Darsih. Setiap pagi Mbok Darsih menyapu halaman rumah peninggalan Parman. Halaman rumahnya tak terlalu luas, hanya sekitar 6×5 meter persegi.
Daun yang gugur menyentuh tanah, menutupi permukaan tanah mengharuskan tangan renta itu menggerakkan sapu lidi menyusuri halaman rumah Parman. Sampah yang terkumpul disatukan dalam blumbang belakang rumahnya.
Sudah dua hari aku tak mendengar sapu menyentuh tanah dan bergeser dengan menghasilkan bunyi khasnya. Aku tak mendengar langkahnya membawa ikrak[5] penuh sampah ke halaman belakang rumahnya. Aku tak mendengar suara deritan tali timba dalam sumur di samping blumbang[4].
Aku tak terlalu menggubris rasa kehilangan suara sapu Mbok Darsih. Karena kupikir Mbok Darsih sedang mengunjungi rumah sanaknya di Wonosari seperti bulan lalu. Dan aku pun pergi ke sawah seperti biasa. Membawa serta cangkul dan ceret minum milikku. Melintasi sungai kecil yang membelah desa Bojong Wetan. Dekat belokan jalan, aku berpapasan dengan Mbok Darsih.
Membawa ikrak dan sapu lidinya. Aku terkejut dan menyapanya.
“Saking pundi, Mbok?” tanyaku.
Mbok Darsih hanya memandangku sambil tangannya menunjuk ke arah selatan. Kemudian Mbok Darsih membalikkan badannya dan berlalu. Aku hanya mengangguk tanpa bertanya lagi. Dengan badan yang setengah membungkuk Mbok Darsih terus melangkah menjauhiku, dan aku kembali meniti jalan setapak menuju sawah milikku. Sampai di saung dekat sawah, aku melepas kaus luar yang kupakai sejak dari rumah. Aku hanya menggunakan kaus oblongku setiap aku bekerja. Pandanganku melintasi nun jauh di depan sana, Bukit kecil ditumbuhi pohon kamboja menaungi nisan-nisan warga desa yang telah berpulang lebih dulu.
Aku terkesiap. Masih dengan kebingunganku saat seseorang memanggilku.
“Kang … Kang … ndang muleh[6]!” serunya sambil berteriak.
“Ngopooo?”
“Mbok Darsih!”
Daftar kata:
[1] Meteng ro sopo : hamil dengan siapa
[2] Rasah do melu-melu. Tak pateni rika kabeh : tidak usah ikut-ikut. Aku bunuh kalian semua
[3] Le, ora ko ngono le. Mesakke bojomu. Culke : nak, jangan seperti itu. Kasihan istrimu. Lepaskan dia
[4] Blumbang : lubang tempat sampah
[5] Ikrak : serok tempat membawa sampah
[6] Ndang muleh : cepat pulang
@rumahsakitbersalinSafira, 2018
Respati, Dapat dihubungi pada Email: respatiifa@gmail.com, FB: Susi Respati Setyorini, IG: @susi_respati atau WA: 089628784923.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita