Mata Air Mendingin
Di sela pohon karet yang saban hari disadap, matahari yang hendak terbit menimbulkan fajar yang cemerlang. Memikat sekalian burung yang beterbangan keluar. Siulan satu per satu burung terdengar anggun nan bersemangat menyambut tiap detik waktu yang siap berkejaran dengan segala aktivitas. Sekilas ayam berhamburan keluar mencari makan ke seantero tempat, seruan ayam jantan yang bersemangat tak lepas bersarang di telinga.
Dari samping gubuk sebelah jalanan setapak, terlihat Izul mengelus-elus ayam jantan kesayangannya. Dari jauh Izul melihat perempuan sebayanya, menaiki sepeda tua yang dilengkapi dengan keranjang yang ditaruh di muka sepeda. Mata Izul menangkap rona merah muda dari perempuan berseragam putih itu. Cantik betul rupanya, elok perangai pula. Ah, tentu tiap-tiap bujang dan bahkan seluruh laki-laki sedusun mengidamkan perempuan itu di pikirannya.
“Zul, mandikan ayam lagi?” sapa perempuan yang dipandangi Izul sedari tadi setelah memberhentikan sepedanya.
“Ah, iya. Ayam lagi, hendak aku kawinkan ayam jantan ini dengan ayam betina milik Mang Ujang. Rapih betul pakaian. Mau ke puskesmas lagi?” tanya Izul.
“Tentulah mesti rapih, jika aku terlihat kacau mana ada anak yang berani meminum obat dariku, terlebih umak dan ubaknya tak akan mau lagi membawa anaknya berobat ke puskesmas kita. Eh, sudah, Zul. Aku harus cepat-cepat.”
“Ah, baiklah. Tak apa kau tergesa dan terburu-buru tapi jangan kau lupakan pula untuk mengayuh sepedamu,” Izul menunjuk sepeda Pelita.
“Hahaha, sudah. Aku pergi dulu.”
Sebenarnya ia perawat yang belum lama bertugas di dusun ini. Perawat yang dahulu pernah bertugas kini telah banyak yang pensiun dan lebih memilih bertugas di kota.
Punggung yang sedari tadi Izul perhatikan itu semakin menjauh dan menghilang tepat di belokan depan, pas di samping kanan, tempat tegaknya papan bertulis arah dan keterangan puskesmas. Selintas teringat Izul pada papan arah puskesmas itu yang dahulunya adalah rumpunan bambu, yang tepat di sampingnya terdapat mata air yang acap kali dipercayai sebagai obat untuk berbagai macam penyakit oleh Dukun Itam. Di samping mata air itu tertegak gubuk kecil tempat Dukun Itam melakukan gombal-gambulnya. Ah, jika harus mengulang ingatan lagi, Izul kerap kesal dan sedih, dahulu ada nyawa yang harus dikorbankan karena sebuah kebatilan.
Arum Suci namanya, gadis berumur lima tahun yang kerap Izul tengok saat sedang bermain kucing-kucingan atau karet gelang. Adalah tiga tahun yang lalu ketika Arum Suci terkena demam panas dan mengalami kejang-kejang yang kerap membabi-buta. Umaknya dalam kebingungan. Benarlah, hawa di Talang Rimbo masa itu sangat buruk. Paya-paya1 di sekelilingnya mendatangkan penyakit demam yang banyak meminta korban. Air yang kian sulit didapat, dan pasang-surut sungai berubah menjadi kubangan yang berbau busuk hingga menimbulkan rupa-rupa penyakit yang susah diobati. Sumur dan belik2 yang ada di belakang rumah warga dusun kian kering tak berair, yang ada hanya lumpur sesayup-sayup mata memandang.
Meski berbagai perawat masa itu telah diturunkan ke Talang Rimbo demi mengobati tiap-tiap penyakit, tetapi kepopularitasan Dukun Itam tak pula pudar. Sama seperti warga lain, tiap kali terkena penyakit, Arum selalu dibawa ke gubuk Dukun Itam sebelah rumpun bambu. Tapi, sungguh kali ini Arum sudah berada di tempat terparah.
“Tolonglah, apa pun akan kami perbuat demi nyawa gadis semata wayang kami,” pinta umak Arum.
“Lihatlah, aku yakin anakmu sedang diganggu mahluk halus.”
Tangisan Umak dipelukan ubak Arum pecah mendapati apa yang dikatakan Dukun Itam tentang anaknya. Namun, sekonyong-konyong mereka mengiyakan semua perintah Dukun Itam yang di masanya, terpercaya mampu mengobati berbagai penyakit dengan seteguk air mendingin yang terletak di mata air sebelah rumpunan bambu dan sebongkah batu teratai.
Ingat betul Izul setiap cerita tentang Dukun Itam, karena Izul adalah salah satu muridnya. Izul melakukan apa-apa yang dipercayakan Dukun Itam padanya. Di benak Izul dan seluruh warga kampung, Dukun Itam adalah orang sakti yang mampu mengubah apa pun menjadi apa yang ia inginkan. Jimat keselamatan, penangkal jin, menguna-gunai musuh sampai mati terkapar di selokan balai desa, termasuk ilmu memikat wanita.
Tak aneh jika setiap orang percaya pada Dukun Itam. Ia terkenal dengan ilmu santetnya, dengar-dengar Dukun Itam memiliki peliharaan berupa ular raksasa yang menjaga mata air mendingin sebelah rumpun bambu. Meski umur sudah beranjak senja, Dukun Itam tak kunjung beristri, entah karena perempuan terlalu takut padanya atau karena itulah salah satu syaratnya untuk tetap berilmu tinggi. Sebagai murid, tentu Izul tak ingin menghabiskan seumur hidupnya hanya dengan ilmu dan tak kunjung beristri.
Izul menebak bahwa tak akan ada yang menandingi kesaktian Dukun Itam, menatap matanya bulat-bulat saja Izul tak berani. Namun Izul insaf, tak mungkin ia dapat begitu saja mengikat hati perempuan yang baru ia temui: Pelita. Jikalaulah ia akan bersama, tentu akan lama Tuhan mempertemukan dua insan yang bagaikan langit dan bumi ini. Izul akan meminta bantuan Dukun Itam, tapi tunggulah nanti ketika ia berani menatap mata Dukun Itam itu.
Adalah dua setengah tahun yang lalu ketika Pelita kembali ke kota demi mengurus surat tugas merawat di Talang Rimbo, hancur berkeping-kepinglah hati Izul mendapati perginya Pelita yang ia kira takkan kembali ke dusunnya lagi. Terka Izul, Pelita kembali ke kota karena kian muak melihat warga dusun yang saban sakit malah beralih ke dukun, tak ada yang mau menemui Pelita yang berprofesi sebagai perawat desa. Termasuk Arum Suci yang saat itu kerap mengalami kejang-kejang. Berkali-kali Pelita menyarankan untuk minum parasetamol namun tak diindahkan perkataan Pelita, hingga Pelita mencari bahan obat alami dan dimintalah umak juga ubak Arum untuk menempelkan daun kembang sepatu dan diletakkan ke kepala Arum. Tetapi itulah, mereka masih meragukannya dan kembali ke Dukun Itam.
Izul ingat ketika Dukun Itam berkali-kali memerintahkan umak dan ubak Arum membawakan ayam hitam yang kakinya juga hitam, tapi ketika Arum kembali kejang-kejang, Dukun Itam malah berdalih memerintahkan yang lain dan membentak umak dan ubak Arum.
Melihat Pelita yang terus berusaha mengobati Arum dan selalu ditolak mentah-mentah oleh warga dusun membuat Izul kesal. Bingung pula ia mendapati Arum yang tak kian sembuh meski telah berkali-kali diminumkan air dari Mata Air Mendingin. Dukun Itam pun tak menyerah, meski Dukun Itam telah termasyhur dan terkenal seantero desa, apa mungkin sekadar kejang-kejang tak mampu ia obati?
“Sudah kubilang dia itu diganggu oleh jin dan mahluk halus!” sentak Dukun Itam dengan mata merah membelalak.
“Tapi, perawat desa telah berkali-kali memberikan pengertian pada warga desa. Jika memang tak bisa mengobati biar serahkan saja pada Pelita,” Izul memuntahkan pikirannya kali ini. Ia iba pada Arum, dan ia tak ingin melihat Pelita pergi dari dusun.
“Jadi kau lebih percaya pada perawat muda itu? Kecam ini di benakmu Zul! Ayunya tak lantas membuat semua omongannya benar! Turun-temurun orang lampau mempercayai kesaktian yang kuturunkan di Mata Air Mendingin. Kau ragu padaku?! Tak usah kau suruh umak dan ubaknya Arum menyerah dan meminta pengobatan dari perawat seragam putih itu!” lagi, jelas Dukun Itam dengan nada tinggi.
Izul terdiam mendapati sikap Dukun Itam yang seperti anak kecil, Izul yang saban hari memperhatikan tiap-tiap pengobatan yang dilakukan Dukun Itam itu sadar, tak segala hal yang dilakukan Dukun Itam mampu menembus logika. Telah hafal Izul bagaimana cara mengambil air dari Mata Air Mendingin, telah tercatat pula di pikiran Izul tiap-tiap mantra yang dikeluarkan Dukun Itam. Lalu, kenapa tak aku saja yang menggantikan Dukun Itam, batin Izul. Bukankah ia telah hafal apa saja yang dilakukan Dukun Itam. Apalagi kiranya yang membuat Dukun Itam berbeda daripada Izul?
Pasal asal-usul Mata Air Mendingin pun telah Izul ketahui. Konon, dahulu kerap terjadi kekeringan di Dusun Talang Rimbo. Hanya Mata Air Mendinginlah yang tak pernah kering dan berlumpur, sebab itulah Dukun Itam mengambil kesempatan dan mulai menyebarkan cerita bahwa air mendingin mampu mengobati banyak penyakit. Persoalan ular raksasa yang berada di rumpun bambu kerap ditakuti oleh Izul, tak jarang Izul memimpikan ular tersebut. Namun, jika dipikir lagi, insaflah Izul bahwa tak pernah ia melihat ular raksasa meski Izul tak pernah memperhatikan rumpun bambu saban hari.
“Menurutmu, harus apa kita, Mal? Tak mungkin kita diam saja. Geram sudah aku dengar omong kosong Dukun Itam sewaktu mengobati anak orang. Aku yakin dia tak mampu mengobati orang begitu saja,” cerita Izul pada Jamal dan menyerahkan kesimpulan pada Jamal.
“Lah? Tengok kau sekarang, Zul? Tak salah kau tanya padaku? Jika harus membandingkan tentu kau lebih tahu jawabannya daripada aku.”
“Surau ujung desa sebelah rumah Arum kian tampak sepi ya, Mal? Aku perhatikan orang lebih sibuk menatap kejang-kejangnya Arum daripada membantu mencarikan obat atau sekadar berdoa kepada Tuhan untuk memberikan kesembuhan pada Arum.”
“Kutengok juga seperti itu. Zul, sudah lama aku tak sembahyang di surau.”
“Ah, mana kau ingat sembahyang! Kerjamu saban hari hanya mengintip gadis mandi saja di Kelingi.”
“Sembarangan kau bicara Zul. Aku hanya sesekali mengintip bukan saban hari. Ayolah kita ke surau sembahyang mengadu pada Tuhan. Siapa tahu Pelita langsung datang selepas kau berdoa,” balas Jamal dengan logat sok arifnya.
Izul mengiyakan tiap perkataan Jamal meski sesekali ia tertawa.
***
“Jamal, apa kita susul saja Pelita ke kota?” tanya Izul pada Jamal.
“Hah? Betul sajalah kau, Zul? Pergi ke kota? Kau tahu alamat gedung Pelita? Jangan kau kira kota itu sekecil dusun kita, Zul,” balas Jamal dengan nada tak yakin.
“Aku tahu, seminggu sebelum Pelita pergi kami kerap bercakap, membicarakan apa-apa yang akan Pelita lakukan dan apa yang akan terjadi di dusun kita. Tapi, aku tak bilang bahwa aku akan menyusulnya ke kota. Sebentar….” Izul merogoh kantungnya, mengambil kertas yang hampir tak berbentuk lagi.
“Alamat Pelita, Mal!”
“Hah? Yang betul kau? Baiklah jika kau ingin ke kota, aku ikut,” balas Jamal sembari menyentuh pundak kanan Izul.
“Jadi? Kapan kita berangkat, Zul?”
“Mungkin lusa, setelah aku siapkan perlengkapan kita, Mal,” jawab Izul.
“Lusa? Lama betul, Zul. Perlengkapan apa saja yang akan dibawa? Cukuplah uang untuk kendaraan dan makan seadanya saja. Kita tak punya banyak waktu. Kau mau tengok Arumi anak Umak Lina mati terkapar karena keseringan kejang-kejang?” jelas Jamal menanggapi perkataan Izul.
“Ah, lagak kau, Mal! Macam komandan pasukan saja. Jangan bodoh! Apa kau mau hidupmu tak jelas di kota? Kita matangkan dulu persiapan. Lalu kita pergi,” jawab Izul terang.
“Akan kuintai dulu Dukun Itam besok dan tengoklah keyakinan untuk ke kota ini akan bertambah atau berkurang,” ujar Izul pada Jamal. Jamal pun mengiyakan perkataan Izul.
Pagi itu Izul pergi ke rumah Dukun Itam untuk menjalankan kegiatan sehari-harinya sebagai tangan kanan Dukun Itam. Seperjalanan Izul ke gubuk Dukun Itam, ia menemui orangtua Arum menggotong Arum yang kejang-kejang. Ia telah hafal betul raut wajah khawatir orangtua Arum, saban hari telah ia lahap semua kekhawatiran itu semenjak Arum mulai sakit.
“Taruh di sini saja, Mang, biar aku panggilkan Dukun Itam,” tawar Izul sembari menunjukkan dudukan di sebelah rumpun bambu.
Ubak Arum mengiyakan imbauan Izul.
“Ah, anak itu lagi. Dengan orangtua bodoh macam itu mana bisa anaknya sembuh jika syarat dan perintahku tak kunjung diindahkan,” keluh Dukun Itam.
Izul hanya diam, geram betul sesungguhnya Izul mendengarkan ocehan Dukun Itam. Ah, jika kau berilmu kenapa tak langsung saja kau sembuhkan anak itu, otak bejat. Batin Izul dalam-dalam.
“Apa lagi ini? Bodoh kalian, aku suruh bawakan kembang sepatu berwarna ungu bukan merah!” teriak Dukun Itam di depan ubak Arum.
“Sudah aku sisiri hutan dusun namun tak pula aku temui,” jawabnya.
Izul mendengarkan Dukun Itam mengoceh pada ubak Arum, tak jelas lagi di telinga Izul karena ia kian muak dengan semua ocehan Dukun Itam yang tak masuk akal. Tapi Izul tetap bungkam, ia tahu akan ribut besar jika ia membalas ocehan Dukun Itam. Izul malah berdalih meninggalkan hawa panas yang kerap timbul di suasana ini. Ocehan dan teriakan perlahan menghilang, terdengar langkah kaki yang menjauhi gubuk Dukun Itam.
Setelahnya, Izul bertemu dengan Wak Julay, pemukadimah kampung, ia dikenal hafal cerita dan kejadian kampung.
***
Tak sampai sehari penuh Izul dan Jamal telah sampai ke kota, ragu pun hilang dari langkah kedua pemuda ini. Sadar Izul bahwa pakaian orang kota benar-benar rapi dan wangi. Ah, Izul lupa membalutkan minyak wangi yang ia beli di pasar ke bajunya. Celananya juga kusam warnanya karena keseringan terkena matahari.
Sampailah dua sekawan ini di puskesmas pusat. Izul menunggu di dalam, sesekali ia temui perawat yang berjaga di meja tamu, terdengarlah di telinga Izul bahwa perawat tersebut sedang mencari dukun ternama lewat ponsel yang sedari tadi disentuh-sentuh layarnya. Ah, tak jelas Izul mengetahui benda serupa apa itu, yang terang di benak Izul: jika hendak menemui dukun, banyak di dusunnya. Setelah memberanikan diri, ditanyakannya tentang perawat yang bernama Pelita pada penjaga itu.
“Yang benar saja! Untuk apa kau menemui Pelita? Perawat cantik tentu tak mau menatapmu. Sudah pakaian kotor, busuk pula. Mau apa kau ke sini?!” bentak penjaga meja tamu.
Jamal berdiri, menghentakkan kaki. Rongga dadanya bak diisi air panas yang meluap-luap karena baru dimasak di tungku tanah liat. Matanya merah, air mukanya juga tampak merah menyala-nyala. Sadarlah Izul bahwa temannya yang satu ini mudah tersulut emosi. Izul menahan Jamal. Namun, belum sampai kemarahan itu naik ke ubun-ubun, muncullah Pelita dengan seragam putih-putih. Mulanya Pelita tersentak atas kedatangan Izul, kemudian tak disapanya lagi penjaga yang melontaran cacian ke muka Izul. Langsung diajaknya Izul ke ruangannya.
“Kenapa kau kemari, Zul? Apa kau sakit?” tanya Pelita.
“Bukan Pelita, sebenarnya…,” belum selesai Izul melontarkan maksudnya, telah datang rekan Pelita yang memanggilnya untuk mengobati pasien yang terkena kejang-kejang.
“Sebentar Zul, biar aku bertemu pasien dulu. Kau mau ikut?” ajak Arum.
Izul memperhatikan Pelita, betullah jika Izul sangat mencintai Pelita, terasa kian besar getar yang dihasilkan jantungnya. Namun insaf Izul ketika penyakit yang diderita pasien Pelita persis dengan yang dialami Arum. Ditengoklah oleh Izul tiap gerakan yang Pelita ambil, mulanya Pelita memeriksa nadi anak tersebut kemudian menyuntikkan cairan entah apa namanya ke tangan pasien yang kerap kejang-kejang tadi. Lalu, semakin yakinlah Izul bahwa Pelita mampu membantu Arum ketika dua jam setelahnya pasien tadi terlihat tenang bahkan telah mampu bicara. Izul menjelaskan tentang Arum. Keesokan harinya diajaklah Pelita ke dusunnya, Pelita pun mengiyakan.
Tak menunggu lama, sesampai di dusun diajaklah Pelita ke rumah Arum Suci yang kerap kejang-kejang tadi. Mata Izul mencari-cari orangtua Arum, insaflah ia bahwa tak ada orang di rumah keluarga itu. Pastilah mereka berada di gubuk Dukun Itam. Maka berlarilah ketiga orang tadi menuju gubuk Dukun Itam. Tiga langkah sebelum sampai ke gubuk, terdengar tangis dan sesenggukan dari umak dan ubak Arum. Terdengar pula ocehan Dukun Itam yang memarahi kedua orangtua Arum.
“Bukan salahku lagi! Kau tak mengindahkan perintahku. Hingga diajak dedemitlah ruh anak gadismu itu!” teriak Dukun Itam ke muka ubak Arum.
“Tak berotak,” batin Izul. Habis nyawa Arum malah tak ada setitik rasa iba. Perlahan meneteslah air mata Izul, Pelita menyentuh bahu kanan Izul setelah memeriksa detak nadi Arum dan berbisik: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
“Telat kita, Mal, cobalah ragu itu tak kupelihara, pastilah nyawa gadis tak berdosa ini masih ada,” Izul menghapus air mata yang hendak menyentuh bibirnya.
Sejak itu Izul memerangi Dukun Itam yang menyesatkan dan hanya pandai membual, sebagian warga pun kerap percaya pada Izul dan Pelita hingga pada akhirnya rerumpun bambu tempat mata air mendingin dirubuhkan dan diubah menjadi tegakan papan penunjuk arah puskesmas.
Kejadian itu sudah berlalu tiga tahun, tetapi masih membekas di hati Izul. Kenangan biarlah terkenang, akan selalu ada segaris pembelajaran yang hadir di tiap coretannya.
Dukun Itam tak lagi ternama, hidupnya kerap terombang-ambing tak jelas sebab kejadian lampau. Ah, sudahlah. Tak penting mengurusi Dukun Itam. Yang terpenting sekarang, warga dusun telah percaya pada tim medis dan … ah, Pelita. Sampai kini, hati Izul selalu berhasil terpikat padanya.(*)
Catatan :
1Lahan basah yang terbentuk dari lapangan yang sering atau selalu tergenang oleh air.
2Belik: berfungsi seperti sumur hanya saja belik lebih dangkal dan lebih besar.
Penulis: Sunita Kasih
Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita