Masakan Terakhir Emak
Oleh: Titik Koma
Juli 2002.
Namanya Adi Gunawan, ia berwajah bulat dengan mata jeli, pipinya gembul, kulitnya hitam kemerahan. Usianya sekitar tiga belas tahun, baru saja tiga bulan lalu ia masuk ke Madrasah Tsanawiyah pilihan ibunya. Sebuah sekolah islami yang tidak terlalu banyak peminatnya, Adi sendiri terpaksa sekolah di sana. Ia ingin sekolah di SMP Negeri yang sudah menjadi favorit banyak orang, sayang kedua orang tuanya tidak mampu membiayai ke sekolah itu. Walaupun sekolah sudah mulai gratis tapi entah mengapa biaya masuk ke sekolah negeri di desa Adi lebih mahal biayanya jika di bandingkan dengan sekolah swasta.
Tubuh bocah itu menggeliat, Adi sudah lama terduduk di samping termos es berukuran sedang. Matahari sedang terik, dengan sabar ia menunggu jam istirahat anak-anak Madrasah Ibtidaiyah. Es batu di dalam termos Adi mungkin sudah mulai mencair.
Setiap hari setelah sepulang sekolah, Adi selalu berjualan es mambo di sekolahnya. Lumayan untuk jajan sehari-hari, Bapak Adi yang hanya pedagang soto keliling sudah lama tidak memberinya uang jajan. Jadi ia harus mencari uang jajan sendiri. Adi tampak merenung sejenak, matanya yang berbinar kadang berubah sendu tiap kali ia melamun.
“Dor! Hahaha.”
Sosok bocah bertubuh gempal tiba-tiba muncul. Anak lelaki itu membawa termos es dengan ukuran besar. Adi menatap termos berwarna hijau itu dengan binar mata ceria.
“Lihat termosku, lebih besar, lebih banyak berisi es.”
Tentunya akan lebih banyak memberikan keuntungan, Adi sudah lama sekali ingin memiliki termos yang sebesar itu. Termos kecil miliknya hanya bisa memuat 30 bungkus es saja, jika ia punya termos yang besar ia bisa membawa lebih banyak. Adi juga tak perlu lari kocar-kacir hanya karena es jualannya sudah habis, dan ia harus mengambil lagi ke rumah bosnya. Belum lagi jika harus dihadapkan pada kenyataan stok esnya sudah habis.
“Nanti aku juga akan dibelikan sama Emak,” katanya sambil memamerkan cengiran lugu.
“Hehe, kau harus punya tenaga kuat seperti ini saat mengangkatnya.”
Bocah bernama Ramdhani itu memamerkan ototnya yang sebesar buah sawo. Keringat yang mengucur di kulit cokelatnya tak ia hiraukan.
“Coba sini!” Adi mengangkat termos milik Dhani sambil berjalan dengan berjingkat-jingkat, membuat Dhani tertawa keras.
Tubuh Dhani lebih tinggi, usianya pun sudah lima belas tahun. Dhani adalah kakak kelas sekaligus teman sekampung Adi, ia teman yang baik. Dhani-lah yang telah mengajak Adi untuk mandiri, bersama-sama mereka berjualan es keliling kampung. Awalnya mereka menggunakan satu termos milik Dhani, karena di tempat mereka mengambil es tidak menyediakan termos untuk berdagang maka mereka harus membawa termos milik sendiri.
“Hehe ….” kekehan Dhani semakin panjang, “Kau berlatihlah dengan termosku, kelak saat kau sudah punya termos seperti milikku, kau tidak akan kaget lagi.”
Dhani mengambil termos kecil milik Adi lalu berjalan mengikuti langkah Adi yang tertatih. Sesekali Adi berhenti dan memindahkan termos besar itu ke tangan yang lain, kegiatan itu berulang setiap kali Adi berjalan menghampiri seorang anak yang melambaikan tangan ke arahnya.
Penghasilan mereka tidak banyak, setiap satu esnya mereka akan mendapatkan upah 50 rupiah, dalam sehari biasanya Adi bisa menjual 60-100 Es mambo. Saat termos kecilnya habis Adi akan berlari sekencang-kencangnya ke rumah bos, berharap masih ada es yang bisa ia jual.
Desember 2002
Pada musim hujan Adi tidak akan menjajakan dagangan esnya, biasanya ia lebih memilih untuk berdiam di rumah tanpa penghasilan apa pun, kerena itu ia selalu menghemat uang jajan yang diberikan oleh Emak. Bapak Adi yang sudah tiga kali ganti barang dagangan tidak banyak membantu Emak, setiap kali Bapak pulang dari berdagang ia tak banyak menghasilkan uang, beruntung jika bisa pulang modal, dan buntung jika sampai merugi. Pernah Bapak menjual gulali, dan barang dagangannya itu laku keras, sampai habis semua butiran gula berwarna merah muda itu di atas putaran yang akan merubahnya menjadi gumpalan kapas, namun sialnya Bapak Adi hanya membawa uang dua ratus lima puluh rupiah dari tiap satu kali goyangan mesin gulali seharga lima puluh rupiah. Lima pembeli yang masih bocah berhasil menipu ayah Adi. Seharusnya ia mendapatkan modalnya kembali bahkan keuntungan tapi karena kebodohannya ia malah rugi. Setiap kali Ayah sibuk menggoyang kaleng gulali yang terus berputar seorang anak kembali membeli gulali dengan uang lima puluh yang sama yang di taruh ke dalam kaleng yang tersangkut di dekat kayu penyanggah pikulannya, setiap kali Ayah mendengar bunyi berderak ia pikir uangnya bertambah banyak, padahal uang yang diterima masih berjumlah sama. Saat ia mengetahui telah tertipu Bapak pulang ke rumah dengan gaya cengiran kuda pada Emak yang hanya bisa mengelus dada, dan kisah itu pun terus menjadi guyonan keluarga yang lucu sekaligus menyakitkan. Pada akhirnya hanya warung lotek Emak yang bisa diandalkan untuk kehidupan sehari-hari dan juga biaya sekolah Adi dan kakak perempuannya.
Musim hujan masih lama, kaki Adi sudah terlalu gatal ingin kembali berkeliling berjualan es. Memaksakan berjualan pun tidak akan menguntungkan, biasanya Adi hanya akan berakhir menyelam di dalam sungai yang berarus kencang, irigasi di desa Adi memang menyenangkan untuk dipakai mandi oleh anak-anak sekampung. Airnya memang tidak jernih, berwarna cokelat dan banyak ganggang, eceng gondok dan lumut yang melintas bersama aliran. Di musin dingin sekalipun, sungai itu tak pernah sepi dari para penggunanya. Tiap pagi para perempuan akan mencuci dan mandi, sore harinya sungai irigasi akan dikuasai oleh anak-anak yang asyik mandi bersama, kadang Adi dan teman-temannya mencari kijing untuk dijadikan lauk yang nikmat.
Saat ini Adi sudah terlalu bosan makan kerang air tawar itu, hampir setiap hari ia menyelam dan mengumpulkan kijing untuk lauk makannya, hari ini ia ingin yang berbeda. Sebenarnya sudah lama Adi ingin sekali makan sup ayam, tapi ia tak berani mengatakannya sama Emak, apalagi sudah beberapa bulan ini Emak sudah jarang sekali berdagang lotek. Beberapa hari yang lalu Emak dibawa pergi sama bibi Ani ke kota, pulangnya mereka membawa oleh-oleh makanan yang banyak sekali, ada martabak dan pukis yang rasanya sangat lezat. Air liur Adi jadi berproduksi banyak saat membayangkannya kembali, jika sekarang ada sup ayam pasti Adi sudah ngiler. Terdorong dengan khayalannya Adi pun tanpa sungkan meminta sama Emak yang sedang terduduk lemah di atas sofa rombeng yang kulitnya sudah tak ada sama sekali—busa dan papan kayu di dalamnya sudah terlihat—di sana Emak sedang melamun, sementara rintik hujan di luar masih terdengar deras jatuh di atas genting.
“Mak, dingin-dingin begini enak kali, ya, makan sup ayam. Hehehe.” Wajah Adi yang polos selalu membuat hati Emak terenyuh.
Masak sup ayam di musim dingin tentu enak tapi harga daging ayam terlalu mahal untuk kantong Emak.
“Hujan begini lebih enak makan sup jamur kuping,” jawab Emak dengan senyuman sendu yang tak bisa ditutupi. Emak melihat wajah anaknya yang terlihat kecewa, lalu kembali berkata, “Jamur kuping rasanya lebih enak dari ayam jika di sup nanti air supnya dicampurkan dengan lada dan jahe yang banyak, rasanya akan menjadi hangat dan nikmat.”
“Yang bener, Mak?” tanya Adi dengan suara riang. “Terus … Emak mau beli jamur kuping?”
“Nggak perlu beli, saat musim hujan begini jamur kuping banyak tumbuh subur. Adi bisa cari sendiri, nanti Emak beli lada sama jahenya.”
“Cari di mana, Mak?”
“Adi bisa cari di batang kayu, atau di pagar-pagar bambu, coba saja kamu telusuri setiap batang pohon yang kamu temui,” kata Emak. Hatinya benar-benar miris tak bisa memberikan keinginan anaknya.
Hari itu Adi mencari jamur kuping yang bentuknya sangat mini, warnanya cokelat dan teksturnya agak kenyal. Ada keraguan di hati Adi, apa mungkin jamur ini lebih enak dari ayam? Ah, Emak tidak mungkin bohong, kalau katanya enak pasti itu benar. Dengan semangat ia berkeliling kampung mencari jamur itu, kadang ia menenukannya di batang pohon kelapa yang sudah ditebang, ia bahkan menemukan jamur di pagar bambu milik tetangganya, banyak sekali jamur yang ia temukan ada yang berwarna putih, juga yang berwarna kehitaman tapi tidak Adi ambil, ia takut jamur hitam itu beracun.
Malam harinya Adi bisa menikmati masakan Emak yang enak, sup jamur kuping yang hangat dan pedasnya luar biasa. Ternyata, makanan itu adalah masakan terakhir Emak untuk Adi, karena setalah itu Emak terus terbaring di kamarnya. Kanker mulut rahim yang diderita Emak sudah stadium akhir. Hari di mana Emak pergi ke kota bersama Bibi Ani waktu itu, ternyata untuk pergi berobat ke dokter ahli. Sayangnya, yang didengar dari mulut dokter adalah suatu keterlambatan, Emak telah divonis tidak akan bisa melewatkan satu tahun lagi. Beberapa bulan setelah itu penyakit Emak makin parah, semangat hidupnya sedikit demi sedikit terkikis. Mungkin inilah alasannya kenapa setiap malam Emak selalu menangis, bukan karena kemiskinan Emak putus asa, tapi karena harus meninggalkan keluarganya dalam kemiskinan.
***
Setelah kematian Emak, Adi masih suka berjualan es, ia yang masih setingkat SMP belajar mencari uang bukan sekadar untuk jajan tapi juga untuk makan. Ia pernah menjadi peminta jariyah, pengamen bahkan pemikul bata. Hidup Adi jadi terlunta-lunta sejak itu, untuk makan kadang Adi bisa pergi ke rumah Bibi Ani atau makan di rumah setiap orang yang menawarkannya, tapi Adi tidak pernah dalam sehari makan dua kali di rumah orang yang sama. Jika ia bisa bertahan dengan sekali makan dia lebih senang seperti itu dari pada harus makan banyak di rumah orang lain.
Perjalanan hidupnya terasa pedih dan sulit, Adi pikir ia tidak akan pernah bisa melewatkan hidupnya tanpa seorang yang bisa dijadikan pegangan, nyatanya ia bertahan. Selalu ada penolong yang menguatkan hati Adi di kala ia benar-benar dalam kesulitan, Tuhan memang memberikan kehidupan yang sulit tapi tidak pernah kesulitan itu melebihi kesanggupannya.
Saat Adi menamatkan sekolah Adi masih diberi cobaan hidup dengan kesulitan dalam mencari pekerjaan yang ia idamkan—menjadi buruh pabrik—Adi kembali berakhir menjadi pengamen. Setelah beberapa lama mengamen dan mendapatkan pandangan penghinaan dari orang-orang Adi baru mendapatkan kesuksesannya saat ia dipercaya mengelola sebuah toko. Masa gemilangnya bersinar pada saat itu, walau hanya seorang penjaga toko kecil tapi Adi bahagia dengan pekerjaannya itu. Hidup tanpa penghinaan adalah kebahagiaannya. Ia bahkan bisa sedikit demi sedikit membahagiakan Bapak.
Kehidupan masih begitu panajang, Adi sadar ia harus berusaha lebih keras lagi. Lagi dan lagi.
Sabtu, 9 Mei 2020
Titik koma, sedang belajar menulis.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.
Sumber gambar: pinterest.com