Mari, Aku Jahitkan Cinta

Mari, Aku Jahitkan Cinta

Mari, Aku Jahitkan Cinta
Oleh : Nuke Soeprijono

Aku hanya bisa menghela napas pelan ketika mendengar keributan itu lagi. Mereka seperti tak pernah bosan memperdengarkan suara yang lantang dan sedikit parau–karena pengaruh usia–kepada tetangga yang lain. Selalu saja mereka beradu mulut. Hal apa pun, bisa dijadikan bahan ribut.

Kemarin soal saluran air depan rumah mereka yang mampet. Tiga hari yang lalu soal daun-daun pohon jambu yang berguguran melewati batas pagar pemiliknya. Kali ini, soal kucing.

“Antiik … kucing lu, nih, kebangetan banget kalo beol!” Teriakan itu mulai pecah terdengar. Dari balik pagar rumahku, aku bisa melihat Opa Tejo sedang membungkuk, membersihkan lantai garasinya.

Sesaat kemudian suara perempuan yang lebih cocok dipanggil nenek itu menyahut, “Kenapa emangnya kucing gue, Jo?” Terdengar santai seperti tak terjadi apa-apa, tapi siapa yang paham dengan apa yang dirasakannya.

“Elu, tuh, punya kucing gak dijaga! Abis nih, garasi gue, tai semua!” cerca Opa Tejo sambil menyiram air satu ember ke arah jalan.

Beberapa saat, hanya hening. Entah apa yang dikerjakan Oma Antik, aku belum mendengar suaranya lagi. Opa Tejo lalu mengepel lantai garasinya yang bersebelahan persis dengan teras Oma Antik. Sebenarnya namanya Cantika. Tetapi orang-orang sekitar sini biasanya memanggilnya “Oma Antik”. Mungkin karena sesuai dengan perilakunya yang terkadang–bagiku–cukup eksentrik.

Sedangkan lelaki paruh baya yang biasa disapa “Opa Tejo” ini kutaksir usianya sekitar tujuh puluhan. Pensiunan tentara, tak kalah eksentrik dari Oma Antik. Badannya masih tegap, ke mana-mana selalu mengenakan kacamata hitam model Ray-Ban Aviator. Opa Tejo juga masih suka bepergian dengan Jeep Land Rover tua miliknya yang juga masih terawat baik. Jika kehidupan sehari-hari Oma Antik terkesan antisosial, kebalikan dengan Opa Tejo yang masih mau membaur dengan tetangga kanan-kirinya–meskipun sering terlihat tidak mau kalah, hanya sekadar ingin menunjukkan eksistensi. Maklum saja, Opa Tejo tinggal sendirian di rumahnya. Jadi, sebenarnya dia hanya perlu teman bicara.

“Kucing lu ada berapa, sih? Kalo gak sanggup miara, jangan banyak-banyak, dong!” Opa Tejo mulai mengomel lagi.

“Sembarangan! Kucing gue, tuh, ya, sehari-hari di kandang semua. Emang lu yakin itu kucing gue yang–”

“Alaah … gak usah banyak alasan deh, lu!” potong Opa Tejo. “Udah jelas kucing di sini punya lu semua,” tudingnya lagi.

“Heh, Tejo! Asal lu tau, ya, kucing gue emang banyak. Tapi gue juga paham kali, ngurusnya,” kata Oma Antik sewot. “Semua gue kandangin noh, di belakang rumah. Kandangnya juga gede,” timpalnya lagi. “Jadi kalo sampe ada tai di garasi lu, ya bisa aja kucing garong lewat, trus numpang beol di situ.”

Braak!

Sepertinya Oma Antik menutup pintu rumahnya keras-keras. Aku tersenyum geli membayangkan wajah nenek yang masih sehat dan terlihat cantik itu membanting pintu. Pasti cemberut dengan bibir maju mengerucut.

“Oh, jadi lu gak mau ngakuin, ya? Woyy, Antiiikk … sini lu, belom kelar urusan kita! Wah, bener-bener, lu, ya,” teriak Opa Tejo semakin emosi melihat Oma Antik yang bersikap tak acuh.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan menghela napas lagi sebelum melanjutkan jahitanku. Jika banyak pesanan seperti sekarang ini, mau tidak mau aku harus lebih sering mendengar dan menyaksikan drama lakon Opa Tejo dan Oma Antik. Sebab, mesin jahit ini memang kuhadapkan ke arah jalan, tepat menghadap garasi Opa Tejo. Tadinya, maksudku agar mata tidak cepat lelah, jadi bisa sesekali melempar pandangan pada kendaran yang melintas atau orang yang lalu lalang.

Di antara beberapa pesanan jahitan, ada gamis milik Oma Antik. Hampir jadi. Tinggal meneruskan menjahit bagian samping roknya lalu menyerahkan ke tukang obras di pasar, besok. Aku membayangkan gamis motif batik warna kuning muda ini semakin cantik dipakai nenek umur enam puluh lima tahun itu. Ah, rasanya aku tak sabar, mengantar gamis ini ke rumah Oma Antik. Aku juga membawa misi khusus berkaitan dengan tetangga sebelah rumahnya itu.

***

Spada … Oma Cantika! Assalamualaikum!”

Tanpa menunggu jawaban dari pemilik rumah, aku membuka pagar rumah Oma Antik. Aku langsung menuju pintu samping untuk memberikan pesanan gamisnya yang baru selesai diobras.

“Hei, Putri, masuk, Nak!” ujarnya spontan begitu melihatku berdiri di depan pintu. Aku tersenyum sembari menyodorkan bungkusan plastik warna putih padanya.

“Gamisnya, Oma.”

“Oh, udah jadi, ya? Makasih, ya!” ujarnya lembut. Oma Antik lalu masuk ke kamarnya. Lalu menemuiku lagi seraya menyerahkan dua lembar uang  berwarna merah.

“Eh, Oma abis bikin brownies, enak deh! Cobain dulu, ya?” tawarnya penuh percaya diri. Oma Cantika memang masih semangat meskipun tinggal sendirian di rumah yang cukup besar ini. Anak cucunya hanya terlihat sebulan sekali berkunjung. Saat itu keadaan rumahnya langsung ramai. Dan tiba-tiba menjadi sepi–seperti sekarang ini–ketika anak cucunya kembali ke rumah masing-masing. Makanya, Oma Antik memelihara banyak kucing di teras belakang.

“Kucing-kucing itu untuk membunuh sepi dan tempat curahan kasih sayangku sehari-hari,” katanya waktu itu.

“Nih, Put, dicicipin. Tapi gak terlalu manis, ya. Oma memang harus ngurangin makanan yang manis-manis biar awet muda,” kelakarnya sambil menyodorkan lima potong brownies seukuran tahu, yang ditata dalam piring oval.

“Tadinya ini mau aku kasih ke Tejo. Tapi gak usahlah, hatiku masih kesal!” kata Oma Antik sambil mencebik. Persis gaya anak kecil yang sedang merajuk. Aku jadi teringat kata orang-orang, bahwa menghadapi orang tua itu harus sabar. Sebab mereka lama-lama sikapnya akan kembali seperti bocah. Mungkin hal seperti ini yang dimaksud. Aku hanya tersenyum menanggapinya, sambil mencomot satu potong brownies dan siap memasukkan gigitan pertama ke dalam mulut. Tangan kiriku segera mengambil selembar tisu yang diletakkan disamping piring oval tadi.

Sambil mengunyah, aku masih memerhatikan Oma Antik yang mematut diri di depan kaca dan mencoba gamis barunya. Dia terlihat cantik meskipun kerut di wajahnya sudah tercetak tebal di sekitar mata, dahi, dan samping bibirnya.

“Oma, cantik! Brownies-nya juga enak!” pujiku sambil melap mulut dengan tisu–yang aku yakin belepotan cokelat.

“Ah, bisa aja kamu, Put,” sahutnya malu-malu.

“Beneran, Oma.”

“Eh, kamu tau, nggak, si Tejo kemarin marah-marah mulu sama aku,” katanya tiba-tiba sambil melepas gamis di depanku. Santai sekali. Mungkin aku ini sudah dianggap seperti cucunya sendiri.

“Soal apa, Oma?” tanyaku pura-pura tidak tahu. Tanpa aku bersusah payah memancing obrolan tentang itu, Oma Antik sudah menceritakannya sendiri. Buru-buru aku memasang telinga siap mendengarkan

“Masa dibilang kucingku beol di garasinya? Kan impossible banget! Anabulku itu sehari-harinya ada di dalam kandang semua. Kalaupun aku lepas, itu juga malam hari saat semua pintu terkunci rapat. Kamu tahu, kan?”

Aku hanya mengangguk cepat. Semua orang sepertinya juga tahu jika kucing kampung Oma Antik yang berjumlah sepuluh ekor itu berada dalam kandang besar.

“Si Tejo itu memang selalu cari gara-gara sama aku. Makanya sering gak aku tanggapi. Buang-buang energi aja!”

“Opa Tejo jadi sengaja, ya, Oma? Cari-cari perkara gitu. Naksir Oma, kali? Hihi ….” Aku tidak bisa menyembunyikan rasa geli ini.

Wajah Oma Antik langsung merah jambu. Ah, aku semakin gemas melihatnya. Kenapa nenek-nenek ini jadi seperti gadis ABG?

“Aduh, Oma pake malu-malu lagi. Gimana, mau Putri comblangin, ya, Oma? Hihi ….”

“Sembarangan kamu, Put! Eh, tapi … kamu beneran belum tau, ya, Put?”

“Belum tau apa, Oma?” Aku mengernyitkan dahi benar-benar tidak tahu. Sebenarnya ada rahasia apa antara Opa Tejo dan Oma Antik ini.

“Sebenarnya Tejo itu dulu waktu muda, memang pernah menyatakan cintanya padaku. Kami dulu kawan satu kampus. Tapi dia kakak tingkatku dan kami tidak berjodoh waktu itu. Setelah lulus aku menikah dan ke luar kota bersama suamiku. Sedangkan dia meneruskan karier tentaranya dan menikah dengan tetangganya di kampung. Sekarang rupanya takdir kami bisa bertemu lagi di sini. Yaah … meskipun jadi sering berantem, haha!” Nenek cantik itu terkekeh hingga pundaknya berguncang.

Aku melongo, benar-benar tak percaya dengan apa yang dikatakannya barusan. Seharusnya kisah ini bisa berakhir dengan bahagia. Benar dugaanku! Perasaanku sejak mendengar mereka sering adu mulut memang mengatakan demikian. Jadi, mereka bisa saling berbincang setiap saat dengan penuh kasih tanpa harus teriak-teriak seperti biasanya.

“Oma, aku pulang pamit, dulu, ya. Oh, ya, brownies-nya masih ada tidak?”

“Eh, kamu mau bawa pulang? Masih, sebentar aku ambilkan,” kata Oma Antik sambil gegas berdiri.

“Mmh, anu, Oma, brownies-nya mau aku berikan untuk Opa Tejo ….”[*]

Tgr_301020

Nuke Soeprijono, alter ego yang baru belajar menulis.

Editor : Imas Hanifah N

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply