Mar
Oleh: Whed
Terbaik ke-13 Lomba “Menulis cerpen berdasarkan setting ‘Pada Hari Kemerdekaan’”
Tidak ada yang berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Hari ini, rumah Mar tetap berdiri kesepian. Separuh dindingnya masih terbuat dari papan. Di sisi kiri dan kanan ditanami pohon kemlandingan. Di belakang rumah itu berdiri kandang yang dindingnya terbuat dari bambu yang dianyam. Rumah itu benar-benar berada jauh dari keramaian.
Mar tetap pergi ke hutan buatan, mencari pakan untuk kambingnya yang tinggal dua ekor, sebab ia telah menjual satu ekor guna membeli sepatu dan seragam anaknya. Sementara itu, Judi yang baru bangun celingukan mencari keberadaan sang emak. Jangan tanyakan mengapa anak itu bernama judi. Barangkali bapaknya memanglah hobi berjudi.
Judi mau menangis sebab televisi di rumah itu belum menyala, padahal ia harus menonton upacara perayaan kemerdekaan.
Ah, tunggu! Rupanya ada yang berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Hari ini Judi libur. Sabtu, 17 Agustus 2024. Judi cuma diminta gurunya untuk menonton upacara di televisi. Namun, TV di rumahnya rusak. Sang bapak tak kunjung datang walau emaknya sudah meminta jauh-jauh hari.
“Bapakmu sibuk main sama lonte.”
“Lonte itu siapa, Bu?”
“Pacar bapakmu!”
Judi manggut-manggut. Ia kini mengerti, bapaknya punya pacar bernama Lonte.
Baiklah, meskipun kau tidak bertanya-tanya siapa Mar, siapa Judi, dan siapa bapaknya, aku akan menjelaskannya seiring cerita ini berjalan. Rumah mereka terletak jauh dari jalan utama sebuah perkampungan. Kau tidak perlu menerka jalan utama di kampung mana.
Jadi, sepanjang jalan utama itu hanya ada satu sekolah dasar negeri yang terletak di kiri jalan apabila kau berangkat dari arah kota—dan kau tak perlu tahu kota mana, tetapi jika penasaran, kau bisa bertanya kepada si penulis. Sekolah itu tempat Judi mencari ilmu.
Sekitar 300 meter dari sekolahan itu kau akan bertemu dengan pertigaan. Kau bisa berbelok kanan, lalu belok kanan lagi saat bertemu pertigaan lagi. Apakah kau melihat umbul-umbul yang bergoyang karena didorong angin?
Sepanjang jalan utama tadi kita melihat umbul-umbul berbaris di tepi jalan. Ada umbul-umbul merah putih, ada juga kuning biru putih. Namun, setelah berbelok kanan di pertigaan, umbul-umbul yang berdiri di tepi jalan makin jarang, bahkan kita hanya menemukan beberapa bendera yang berkibar di depan rumah warga.
Setelah belok kanan dua kali, jalanan mulai menurun, dan hamparan sawah menyambut. Tidak ada rumah-rumah di tepi jalan, apalagi umbul-umbul maupun bendera merah putih. Yang ada hanya lambaian pohon. Ada pohon jati yang doyong ke arah jalanan.
Jalanan makin turun, berkelok. Jalanan yang terbuat dari beton itu tampak putih dan silau dihujani terik mentari. Beberapa bagiannya berlubang.
Setelah melewati kebun pisang, kau akan melihat sebuah rumah pertama yang menghadap ke jalanan. Dan, itulah rumah Mar. Jangan tanya mengapa di depan rumah Mar tidak ada bendera. Mayoritas tetangga Mar pun tidak memasangnya. Daster sobek saja masih Mar pakai, tak sampai pikirannya untuk membeli bendera. Yang ia pikir, bagaimana caranya agar hari ini ia dan anaknya bisa makan kenyang.
Baiklah, kita akan kembali pada nasib Judi yang mulai menangis sendirian di rumah, sementara kambing di kandang mengembik, ayam jago dan betina saling mengejar di halaman yang rumputnya telah mengering. Kemarin, Judi dimarahi sang guru karena lupa tidak mengerjakan PR—lagi. Bocah itu juga sering terlambat ke sekolah (karena tidak ada yang mengantar dengan motor) dan alhasil kena marah. Kini ia tidak bisa menonton upacara bendera. Sungguh lama-lama ia malu karena kelalaiannya, teman-teman pun turut meledek. Anak bodoh, temannya bilang.
Kampung sepi. Para orang dewasa sibuk di ladang, kebanyakan mencari rumput untuk ternak mereka. Anak-anak sekolah yang libur asyik main; seringnya mereka bergerombol di poskamling, memainkan ponsel masing-masing. Sementara anak yang lebih kecil, yang belum punya HP, hanya bisa melihat permainan yang mereka mainkan.
Judi sesenggukan. Ia duduk di karpet, persis di depan televisi yang berada di meja, sehingga posisi si bocah seperti menyembah benda persegi itu. Ia kemudian berdiri, menghampiri si TV, lalu memukulnya pelan. Biasanya, TV akan menyala saat dipukul sang emak. Namun, tidak hari ini.
Judi ingin sekali menyaksikan seperti apa jalannya upacara bendera. Seandainya ia punya bapak yang tinggal satu rumah dengannya—seperti teman-temannya—mungkin ia akan lebih leluasa meminta pria itu untuk memperbaiki TV-nya. Sayangnya, rumah bapaknya berada di paling pinggir, akhir dari kampung, sedangkan rumahnya paling ujung.
Mar pun akhirnya pulang sambil menggendong ikatan besar dedaunan beserta rantingnya. Wanita itu membungkuk sebab terlalu berat beban di punggungnya. Jalannya mirip kungkang.
Ikatan daun itu ia letakkan di sebelah kandang. Tubuhnya melorot ke tanah. Ia sandarkan punggung pada ikatan dedaunan sembari mengatur napas. Kepalanya tengadah. Bulir-bulir keringat membasahi wajah.
Judi sekonyong-konyong menghampiri Mar. Bocah itu merengek, meminta emaknya untuk membujuk sang bapak lagi. Mar cuman bisa mendesah kasar. Lelahnya belumlah lenyap dan ia harus menghadapi tingkah anaknya.
Mar genggam gagang sabit yang tadinya digunakan untuk membabat ranting dan dedaunan. Ia lalu melangkah gontai, meninggalkan Judi dalam kebingungan.
Rumah Mar kembali sunyi. Judi hendak mengekor Mar pergi, tetapi wanita itu memintanya menunggu. Mar bilang, “Tunggu bapakmu di rumah saja!”
Makin mantap langkah Mar menuju rumah bapak Judi. Dalam perjalanannya itu, ia mengenang saat-saat bapak Judi mengetuk dinding kayu rumahnya tengah malam. Janda itu awalnya mengira yang mengetuk ialah setan, ternyata memang setan berwujud manusia. Seandainya Mar tidak membukakan pintu saat itu, barangkali Judi tidak akan pernah terlahir.
Mar menyusuri jalan beton yang menurun, melewati rumah-rumah tetangganya yang sepi sebab para pemiliknya masih berkutat di ladang. Ia melewati bambu yang daunnya melambai-lambai. Anggap saja bambu itu umbul-umbul atau bendera.
Di desa lain, mungkin kau akan sering mendengar sorak-sorai lomba Agustusan. Namun, di kampung Mar tidak ada hal demikian. Mereka adalah orang-orang yang mengandalkan makan enak dari Jum’at berkah, termasuk Mar. Tak heran jika kampung Mar tidak ada bendera yang berkibar.
Mar sudah sampai di rumah bapak Judi. Pintu rumah itu tutup, tetapi dari balik jendela kaca, Mar melihat TV-nya menyala. Mar mengetuk pintu dengan kasar. Beberapa menit kemudian sesosok pria tambun muncul. Ia hanya memakai celana kolor. Tampaknya ia juga baru pulang dari hutan.
Wajah pria itu terlihat masam ketika tahu Mar yang datang. “Apa?” tanyanya.
Mar menunjuk-nunjuk muka pria itu dengan sabit di tangannya. Suaranya menggelegar. Beberapa orang pun muncul. Kebetulan, rumah bapak Judi agak dekat dengan rumah yang lain.
“Kau boleh menelantarkanku, Bajingan! Tapi tak aku biarkan kau terlantarkan Judi!”
Meski cuman lulusan SD, Mar tahu, tanggal 17 Agustus Indonesia merdeka. Mar tahu, sebagian orang-orang telah merayakan kemerdekaan hari ini. Sungguh Mar tahu, hidupnya jauh dari kata merdeka menurut versinya. Ia tak boleh membiarkan putranya turut mengecam pahitnya kehidupan cuman gara-gara lahir dari rahimnya.
“Jangan kau sia-siakan anak itu!” Mar hampir membabat wajah bapak Judi kalau saja wanita itu tidak ditarik salah satu warga yang kebetulan menonton. Bagi mereka, pertengkaran adalah tontonan menarik. Begitu pun hubungan Mar dan bapak Judi menjadi hiburan tersendiri. Bapak Judi ialah duda yang belum resmi, yang ditinggal minggat oleh istrinya, sementara Mar janda yang ditinggal mati sang suami.
Ada yang kecewa ketika Mar batal membabat wajah bapak Judi. Bukankah akan seru jika itu betulan terjadi? Menurutmu?
Sayangnya, hal itu tidak seru. Beberapa orang histeris ketika Mar benar-benar membacok bapak Judi dan mengenai pundak pria itu. Mar kalap. Tangannya tidak bisa berhenti mengayunkan sabit; bapak Judi susah payah menghindar. Hanya teriakan Judi yang tiba-tiba terdengar Mar yang mampu menghentikan aksi wanita itu.
Badan Mar gemetar. Sekujur tubuhnya berkeringat. Sabit di genggamannya jatuh ke tanah. Kulit tubuhnya seperti mengelupas ketika mendengar Judi meneriakkan kata “bapak” sambil menangis. Pemandangan di hadapannya menyesakkan. Bukankah yang merawat bocah itu selama ini ialah ia seorang, pikir Mar pilu.
“Bapakmu belum mati, Le!” ucap Mar dengan kedua tangan terkepal kuat-kuat.
Lambat laun Mar sadar, ia memang yang telah memberi makan bocah itu tiap hari. Ia yang pontang panting mencari utangan demi membiayai sekolah bocah itu. Ia yang meladeni Judi tiap hari. Tapi, bapak Judi pernah memberi Judi uang sepuluh ribu untuk jajan—saat bocah itu benar-benar menginginkannya. Bagi Judi, bahagia ialah saat menerima uang dari bapaknya. [*]
Sltg, 23 Agustus 2024
Komentar juri, Berry:
Dibanding isi ceritanya yang tidak kuat pada setting (Hari Kemerdekaan menjadi “tempelan” saja untuk cerita ini), teknik menulisannyalah yang membuat naskah ini kami pertimbangkan untuk masuk. Teknik yang berbeda itu, dan sesungguhnya ditulis dengan baik pula, membuatnya menonjol dibanding yang lain. Idenya pun sebenarnya cukup menarik.