Manuskrip

Manuskrip

Manuskrip 
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

Terbaik ke-5 Tantangan Lokit 13

Tahun kesepuluh setelah dipindahkan ke Wilayah Induk, tepat di prosesi awal Hari Pengelompokan. Eve, yang sudah memakai Mind-Moving System (MMS) untuk membantu bergerak, tiba-tiba mendapat pesan dari Passive Mind-Reading (PMR)—sebuah teknologi mutakhir yang mampu menerjemahkan pikiran “waras” dari seseorang yang nyaris kehilangan kemampuan berpikirnya—milik Habil, yang mengatakan, “Aku akan pergi.”

Saat itu, para remaja berusia 17 tahun akan menjalani rangkaian tes pertama dalam Hari Pengelompokan, yaitu identifikasi bakat dan kemampuan, sekaligus pemangkasan bagi mereka yang bakatnya tidak berguna bagi Wilayah. Siklus semacam itu sudah terjadi selama 54 tahun, dihitung sejak Zaman Kehancuran. Secara progresif telah membantu umat manusia dalam mengefisiensikan sumber daya yang ada demi keberlangsungan hidup pascaapokaliptika. Eve sendiri tidak lagi menangani kegiatan tahunan ini, sebetulnya, tetapi sebagai sesepuh zaman tersebut, dia bertanggung jawab mengontrol segala hal agar tidak keluar dari “alur” yang diciptakan Tuan Eliadan di sinilah ia berada.

Akan tetapi, hari itu Eve seketika mengernyit. Lumrahnya PMR hanya mampu menerjemahkan pikiran objektif, berupa ide atau solusi permasalahan yang ada dalam kepala seseorang, bukan hal-hal subjektif seperti respons ketakutan akan kematian. Jadi, pesan dari PMR Habil tentu saja sangat aneh, dan itu mendorongnya untuk beranjak ke luar ruang monitor, menelusuri lorong baja yang pengap serta lengang, membayangkan ia sebagai orang-orang yang menjauhi Kota Kebahagiaan.

***

Orang-orang telah menjadi gila ketika Eve lahir. Entah karena bumi yang makin rusak—ozon menipis; lapisan es di kutub mencair; negara-negara kepulauan tenggelam, sedang daerah hijau semakin sedikit karena overpopulasi—sehingga otak mereka menjadi rusak, Eve tidak paham. Ia hanya tahu, negara adidaya mulai memamerkan kekuatan dan berebut menjadi nomor satu dengan menumbalkan beberapa negara kecil. Senjata nuklir dibuat dan dijadikan gertakan untuk memiliki bidak “lemah”. Di sisi lain, mereka saling memantik api, tersulut, terbakar … dan sekejap semuanya tiada.

Detik ketika semua kegilaan itu sampai pada puncaknya, dunia telah kacau balau dan kehilangan setengah dirinya akibat nuklir. Daerah-daerah yang telah terpapar menjadi wilayah mati dan terisolir. Sisa Umat Manusia membeludak di wilayah yang selamat, yang kelak menjadi Wilayah Induk, Wilayah Timur, Wilayah Barat, Wilayah Utara, dan Wilayah Selatan. Rapat darurat digelar dengan menyertakan para pemimpin serta para ahli yang ada. Di luar, masyarakat mulai dikacaukan dengan sumber daya yang menipis serta alam yang telah rusak, bahkan kini “menghilang”. Rumor berembus dan mereka makin panik lantaran menduga kematian hanya menghitung tahun, sebelum persediaan habis oleh membeludaknya jumlah korban selamat.

Eve hanya ingat, ia ada di sana untuk merancang sebuah sistem baru, yang entah kenapa menemui jalan buntu. Rapat menjadi amat bising dan alot. Orang-orang mulai menyalahkan. Wajah mereka lelah. Putus asa. Bahkan, Habil, sahabatnya yang merupakan salah satu peneliti genius di zaman mereka, sampai pada titik di mana teknologi tidak lagi menjadi solusi untuk menyelamatkan umat manusia.

“Butuh sebuah sistem revolusioner,” katanya, “untuk mengembalikan alur, sekrup yang hilang.”

Saat itulah, seseorang mengangkat tangan. Menyampaikan ide gila. Ia bukan dari pemimpin negara adidaya, tetapi keberadaan serta rencananya lekas menarik perhatian orang-orang.Rencana yang memakan banyak nyawa. Terlalu banyak.

“Kita harus memangkas jumlah kita. Menyimpan yang bisa dimanfaatkan, membuang yang tidak berguna. Kita harus meminimalisir pengeluaran kebutuhan bersamaan dengan memaksimalkan pemulihan keadaan.”

Pria itu menceritakan sebuah sistem tebang pilih: identifikasi bakat dan kemampuan yang diperlukan untuk pemulihan keadaan tanpa melihat status sosial mereka. Ia menyarankan sebuah sistem di mana setiap orang harus patuh, tanpa terkecuali, meski itu berarti mereka harus memangkas lebih dari setengah Umat Manusia yang selamat. “Kita bermasalah pada jumlah, karena itu kita harus mengefisiensikan sumber daya yang ada.”

Ia memaparkan sebuah bentuk genosida dan perbudakan.Rapat menjadi makin bising, terutama ketika pria itu melanjutkan, “Kita ada dalam pemulihan besar-besaran. Kita tidak butuh pembangkang atas nama kemanusiaan, atau ceramah tentang amalan atau dosa di dunia. Kita perlu bertahan. Ada begitu banyak kepentingan dan harapan di bahu kita, karena itu kita harus memberikan solusi untuk Umat Manusia. Sekejam apa pun solusi itu.”

Jeda sebentar.

“Jika kemanusiaan menghambat kita untuk bertahan … jika ketuhanan mendakwa kita berdosa demi menyelamatkan Umat Manusia, maka ….”

Telinga Eve berdenging.

Semua menjadi diorama cepat: buku baru tanpa masa lalu; Umat Manusia di prolog ketika dunia telah luluh lantak; anggapan generasi setelah ini tentang mereka sebagai penjahat serta Zaman Kegelapan.

Orang-orang bergeming ketika pria itu berkata, “Kita akan merancang alur. Menjadi penjahat dalam kitab-kitab. Menunggu saat yang tepat, ketika dunia lebih baik, lebih dinamis, lebih siap untuk menerima kemanusiaan dan ketuhanan.”

Eve gemetar begitu mendengar perkataan ayahnya—pria sinting itu—kemudian, “Sampai saat itu terjadi, kita adalah Zaman Nol. Ketiadaan.”

***

Eve ingat, ketika berusia sepuluh tahun dan dunia tengah dihebohkan oleh proyek pemanfaatan senjata nuklir oleh negara-negara adidaya, seseorang yang ia sebut “ayah” membacakan kisah berjudul The One Who Walks Away from Omelas—tempat utopis di mana seorang anak harus dibiarkan menderita demi kebahagiaan seluruh warga kota. Eve ingat, di akhir cerita, orang-orang yang tidak tahan dengan konsep “pengorbanan” tersebut memilih meninggalkan kota, berjalan menuju kegelapan, dan ia waktu itu bertanya, apa mereka dapat benar-benar hidup dalam dunia utopia: tanpa rasa sakit, tanpa nestapa, yang dijawab tegas: tidak.

“Dunia adil karena setiap orang merasakan ketidakadilan.”

“Tapi, kalau memang ada konsep seperti itu, lalu kenapa orang-orang itu meninggalkan Kota Kebahagiaan? Bukankan memang dibutuhkan ‘tumbal’ untuk sesuatu yang lebih besar?”

Ayah yang ia kenal saat itu adalah seseorang yang hangat, yang mengusap rambutnya lembut ketika menjawab dengan senyum sendu, “Karena kemanusiaan. Demi kemanusiaan.”

Itu adalah kenangan paling membekas sekaligus pembuat kukuh fondasi karakter Eve. Jadi, tidak heran, begitu tahu ide gila ayahnya untuk menumbalkan perikemanusiaan, bahkan ketuhanan, dengan dalih Umat Manusia, ia lekas memberontak. Bersama Habil, ia menggebrak meja rapat-yang-berlangsung-alot, memprovokasi para ahli, para petinggi, untuk menolak dan tetap memperjuangkan perikemanusiaan.

Ayahnya bergeming. Lantas, pada satu waktu, ia bertanya, “Persediaan makan terbatas. Sumber daya terpangkas lebih dari setengah. Sebagian besar lingkungan terpapar radiasi. Dengan jumlah penduduk selamat sebanyak ini, bagaimana caramu mengatasi perselisihan perebutan makanan yang kelak terjadi?”

Eve berusaha memberikan jawaban. Berkali-kali. Namun, nyatanya, ia tidak pernah memiliki jawaban.Beberapa pengganggu rapat dijebloskan ke Ruang Isolasi. Tanpa makan. Hanya minum. Selama entah-waktu, secara berkala data perkembangan keadaan Umat manusia terkini dikirimkan ke tempatnya dan selama itu pula Eve mencerna distorsi yang ada: tidak cukup, tidak cukup, tidak cukup. Mati, mati, mati. Manusia, manusia, manusia.

Di waktu keentah, pintu terbuka, dan ayahnya berdiri di sana. Matanya merah. Wajahnya lelah.”Aku sudah bilang, tidak akan ada penyamaan di waktu ini—yang menyelamatkanmu dari Pemangkasan adalah apa kau berguna atau tidak bagi Umat Manusia. Aku mengakui bahwa kami membutuhkan pemikiranmu di zaman sekacau ini, tapi itu sama sekali tidak berguna kalau kau menentang sistem.”

Waktu itu, Eve tidak melihat ayahnya. Hanya tubuh kosong bernama Elia. “Kita harus hancur, mati, untuk hidup kembali. Kenapa kita mengenal Zaman Kegelapan dan Zaman Pencerahan pun, dimaksudkan untuk konsep itu. Setiap periode punya misi, dan misi kita adalah memperjuangkan Umat Manusia. Kita adalah Zaman Nol.”

Eve menggeram.

“Karena kita Nol, maka akan ada Satu. Dua. Tiga. Karena itu, setelah kita, setelah dunia ini cukup ramah untuk ditinggali oleh orang-orang normal, maka di situlah kemanusiaan, ketuhanan, pencerahan terjadi.”

Eve susah payah menggeram.

Itu monolog yang singkat. Mendoktrin. Menyuruh untuk patuh.

Namun, sebelum tubuh itu kembali berjibaku dengan darah, Eve ingat betul Tuan Elia yang berkata tanpa berbalik, “Eve, kita memang orang-orang itu: yang menumbalkan seorang anak demi menciptakan Kota Kebahagiaan. Tapi, apa karena itu kita pantas dianggap bersalah?”

Pintu ditutup.

Pengap.

Lengang.

Eve merenung. Lama. Lama sekali.

Ia keluar setelah dunia menguarkan bau darah. Sistem telah dibuat. Segala hasil karya kemanusiaan dan ketuhanan disimpan dalam Brankas di Wilayah Induk, sedangkan pemukanya dibungkam, entah dengan cara apa. Hari Pengelompokan pertama dilakukan dengan peserta dari Umat Manusia yang selamat, tanpa melihat status. Mereka yang berbakat ditarik ke kelompok-kelompok tertentu dengan tugas besar memulihkan peradaban, sedangkan yang tidak berbakat, sebagian dijadikan pesuruh; lainnya dibunuh.

Pernikahan dilarang dan digantikan dengan perkawinan tertutup, di mana setiap pasangan tidak saling mengenal, dan setelah berkembang biak, mereka akan dikembalikan ke kelompok masing-masing, sedangkan anaknya ditaruh dalam Ruang Isolasi, dijauhkan dari kasih sayang orangtua hingga dewasa. Sistem ini dimaksudkan agar setiap anak tidak mengenal welas asih sejak kecil dan hanya patuh pada sistem. Di ruangan tersebut, mereka diberi berbagai fasilitas untuk mengetahui serta mengasah bakat, yang pada Hari Pengelompokan akan diidentifikasi serta diuji kualitasnya. Setiap kelompok punya tugas serta mekanisme doktrin tersendiri. Dan, pada kelompok tertentu, yaitu mereka yang punya pola pikir revolusioner atau cocok dengan visi Para Tetua, akan didoktrin serta dilatih untuk dapat meneruskan siklus dari Zaman Nol.

Eve ada di deretan Para Tetua, sedangkan Habil baru bergabung setelah tubuhnya nyaris menyisa belulang. Ia lekas menjadi Pemimpin Kelompok Saintis yang punya tugas besar merampungkan teknologi untuk meminimalisir dampak radiasi. Bersama, mereka saling menjilat ludah. Membalurkan darah sampai yang tersisa hanya bau amis serta rasa jijik pada diri sendiri. Namun, toh, siapa yang peduli? Bukankah kemanusiaan sudah dihapuskan dari zaman ini?

Kalau mengingatnya, Eve ingin tertawa keras, sampai ia tersedak dan mati dengan konyol. Namun, itu mustahil, sebab Para Tetua serta orang-orang penting telah disuntikkan serum agar dapat hidup lebih lama. Mereka adalah otak. Kunci sejarah. Alur baru. Sebuah manuskrip hidup. Oleh karena itu, mereka tidak boleh mati cepat. Mereka. Harus. Hidup. Menderita. Lebih. Lama.

Suatu kali, ketika melihat orang-orang buangan yang mengerjakan proyek reklamasi besar-besaran, Eve menceritakan kisah tentang orang-orang yang pergi dari Kota Kebahagiaan menuju kegelapan, serta tentang kemanusiaan yang dimaksudkan Tuan Elia dulu, yang dijawab oleh Habil: Kita pun sedang berjalan menuju kegelapan. Akhir yang tidak jelas:apakah kita tengah menghargai atau justru melecehkan perikemanusiaan?

Selama itu, berkali-kali Eve bermimpi membunuh semua orang dengan tangannya sendiri: Habil; Tuan Elia; ia. Eve pikir, ia akan baik-baik saja setiap menebas atau tanpa sengaja menginjak organ tubuh korbannya. Akan tetapi, tidak. Ia tidak baik-baik saja. Ia tidur larut dan bangun sebelum fajar keluar setiap hari. Napasnya memburu. Ia beranjak, melihat tanahnya yang lamat-lamat hijau, kemudian tiba-tiba menangis. Ia berjalan sambil mengingat Brankas; Kelompok Histografer yang memanipulasi sejarah; masa depan yang, semoga, lebih baik dari sekarang. Lalu, di ujung Pusat Wilayah Induk, ia akan bertemu Habil, yang kondisinya juga sama-sama buruk, dan mereka akan, selalu, tersenyum getir sambil berkata, “Selamat datang di neraka.”

***

Siklus berputar. Bau darah makin pekat. Zaman Nol masih berjalan di tempat.Orang-orang mati lebih cepat, tetapi titik balik yang dimaksud Tuan Elia belum tampak. Dunia masih belum cukup hijau, cukup stabil, cukup baik untuk sebuah revolusi, ternyata. Padahal, dari kabar yang datang mendadak, Wilayah Timur telah menemukan gadis yang entah kenapa punya intelegensi spiritual, sains, dan logika tinggi. Padahal, Habil sudah sekarat, tapi kenapa Eve masih dibiarkan hidup?

Lorong-lorong pengap. Lengang.

“Aku akan pergi.”

“Aku akan pergi.”

“Aku akan pergi.”

Eve bayangkan Habil ada di ujungnya, menyambutnya di neraka, dan ia temukan ruangan penuh penunjang kehidupan. Ruangan besar yang terasa sempit. Dan, Eve seketika teringat bocah yang ditumbalkan demi kebahagiaan seantero kota.

“Katanya, kita harus mendoakan orang yang akan dan sudah mati. Tapi, memang konsep seperti itu masih berlaku di zaman tanpa agama seperti ini?” Eve tertawa, lantas bergeming.

Ia mendekat, mengingat percakapan mereka berpuluh tahun silam, lantas merapalkan indulgensi.

“Aku akan masuk neraka.”

“Kita memang akan masuk neraka, disiksa dulu, baru masuk surga.”

“Kau tahu, ada beberapa tindakan yang secara tidak langsung dapat ‘mengeluarkanmu’ dari agamamu sendiri.”

“Kau tahu, kita telah hidup di neraka sejak lahir di tanah ini.”

Eve mengingat mimpi buruknya selama ini, juga kabar terakhir perihal gadis dengan tingkat spiritualitas tinggi serta penguasaan sains dan teologi yang seimbang, kemudian merapalkan indulgensi. Ia ingat masa kecilnya; perkataan ayahnya; genosida yang dilakukan atas nama Umat Manusia; titik balik di mana Zaman Nol akan berganti dengan Zaman Satu. Ia kembali merapalkan indulgensi, kemudian berbisik, “Aku akan bertahan sedikit lebih lama.”

Dan, alat penunjang kehidupan, PMR, serta napas Habil berhenti. Menyisa Eve yang menerawang, memikirkan pengganti Para Tetua; Wilayah yang berusaha keras memulihkan diri; Kelompok Saintis yang berupaya menemukan cara menghilangkan dampak radiasi.

Ruangan tambah pengap. Lengang. Tinggal ia sendirian. Dan, kalimat “The Ones Who Walks Away from Omelas” bergema dalam telinganya: ‘Mereka terus melangkah. Mereka meninggalkan Omelas, mereka berjalan menuju kegelapan, dan mereka tidak kembali lagi.’ (*)

Ponorogo, 24 November 2019

Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.

 

Komentar juri:

Ada zaman di mana dunia sampai pada titik teknologi tidak lagi menjadi solusi untuk menyelamatkan umat manusia. Sebuah pemikiran setelah teknologi menjadikan manusia “berubah”, lalu apa yang terjadi setelah “berubah”? Bahkan setelah perikemanusiaan bahkan ketuhanan pun diremehkan.

Ada banyak istilah ilmiah luar biasa dan gambaran kehidupan entah kapan yang menjadi kerisauan penulis. Hal itu sukses membuat saya merampungkan membacanya. Seperti yang sudah-sudah, Devin sukses menggambarkan “dunia baru”.

-Respati

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply