Manusia Sejuta Cerita
Oleh: Vianda Alshafaq
Tepat tiga tahun yang lalu, ketika kita merangkak memulai rajutan mimpi di sini, di sebuah bangunan biru berhias pepohonan yang menghijau dan rimbun. Kala itu, kau melihatku menutup mata, menghirup udara segar lalu menghempaskannya, mengeluarkan segala rasa perih sebab permainan waktu yang tak pernah usai. Kau mendekatiku, diam-diam menelusupkan jemarimu pada jemariku dan memberikan kehangatan layaknya seorang sahabat. Padahal hari itu kita masih sekadar kenalan baru, tak lebih dari itu.
Kau tersenyum manis. Manis sekali. Hingga rasanya mengalahkan manisnya madu yang mengundang semut-semut merah yang berbaris di sudut dinding. Hari itu, mentari menyaksikan kita yang berjalan menuju kelas. Di setiap langkah yang mulai menapaki lapangan itu, kau mengajakku bercerita. Entahlah, aku rasa kita seperti sudah lama berkenalan saja. Seperti dua orang sahabat lama yang bertemu setelah berpisah sejauh miliaran kilometer.
“Semuanya akan baik-baik saja, kau akan melukiskan cerita baru di sini, di bangunan biru yang kerap kali dipandang sebelah mata. Kau tahu, mungkin hari ini kau merasa terdampar di lingkungan ini. Namun, satu hal yang harus kau pegang adalah, boleh saja semua orang menganggap pilihanmu bukanlah pilihan yang tepat saat kau memutuskan menerima sekolah ini menjadi latar kisahmu yang baru. Tapi satu hal yang pasti, pilihan ini adalah milikmu dan kau harus yakin bahwa pilihanmu adalah jalan yang ditunjukkan Tuhanmu. Kau boleh saja berasal dari sekolah yang biasa saja, tak ada masalah dengan itu. Sebab, sekolah luar biasa yang menghasilkan orang-orang luar biasa itu sudah biasa tetapi sekolah biasa yang menghasilkan orang-orang yang luar biasa, itu baru luar biasa. Dan, yakinkanlah dirimu bahwa kau akan menjadi bukti dari kalimat ini. Kau bisa, percayalah!”
Kau memelukku erat, menyampaikan sebuah pesan dari rangkulan yang seakan takkan pernah terlepas. Sebuah pesan yang meluruhkan segala amarah yang bergejolak dalam dadaku. Meminimalisir pecahan-pecahan kaca yang mulai menghiasi bola mata. Perlahan, kau lepaskan dekapan itu. Dalam iris cokelat itu dapat kulihat dengan jelas pancaran cahaya keikhlasan yang kau hantarkan ke dalam jiwaku yang telah lumpuh.
Hari semakin berlalu saja, senja demi senja yang kita nikmati bersama mulai tak terhitung. Bintang-bintang yang berpendar terang mulai berganti hari demi hari. Hingga hari itu, kita memutuskan berjalan dalam sebuah rel perjuangan yang sangat panjang. Kau meyakinkanku dalam perjalanan itu. Kata-kata indah yang kau sampaikan hari itu tak pernah hilang dalam lembar-lembar ingatanku. Aku ingin membuktikannya. Hingga kupikir rel perjuangan itu adalah salah satu jalanku untuk membuktikannya.
Namun, bukankah waktu selalu memilih jalannya sendiri? Aku berhasil melewati rel itu. Kau ingin tahu seperti apa relnya? Jika kau pikir relnya sangat bagus dan membuat perjalanan itu menjadi lancar, maka kau salah. Rel itu sangat tak berbentuk. Ada begitu banyak hambatan-hambatan yang menghadang kakiku. Entah itu dari kereta yang kutumpangi atau bahkan penumpang lainnya yang sangat beragam. Kau tahu seberapa panjang rel yang telah kulalui? Entahlah, aku tak yakin bisa menghitungnya. Kutaksir panjangnya melebihi lintasan Sumatra dan Jawa.
Lantas hari itu, dua tahun setelahnya, sebuah kenyataan menyayat jantungku. Rasanya saat itu aku ingin menghancurkan segala yang menempa tanganku. Aku ingin pergi, meninggalkan genangan darah air mata yang sangat memerah. Ah, haruskah kuceritakan hal ini? Tak perlu, bukan? Kau bahkan lebih paham sebesar apa luka itu melebihi raga ini.
Aku tenggelam dalam samudra merah itu. Dengan lancang, buliran bening yang jatuh di pelupuk mata menyiram lukaku yang semakin menganga. Sebuah buku berjudul Pinus Rimbun itu berakhir dengan peristiwa mengenaskan, sebuah akhir yang tak pernah terukir dalam kerangka tulisanku.
Luka memang sangat menyakitkan, namun tak selamanya menjadi bekas yang mengundang dendam dan amarah. Kadang kala luka itu menyiram kita dengan makna dan hadiah terindahnya.
Sebulan setelah aku keluar dari samudra merah itu, kau mengulurkan tanganmu dan membantuku berdiri kembali. Kau kembali menggenggam jemariku dengan erat dan penuh ketulusan.
“Kita akan bangkit, sebab masih ada buku yang belum kau tulis,” ujarmu penuh semangat.
“Kau yakin kita bisa merajut impian baru?” balasku penuh keraguan.
“Kau selalu seperti ini, penuh dengan keragu-raguan. Jangan lagi kali ini. Kita akan berusaha dan meniti titian mimpi yang baru ini semaksimal mungkin. Hasilnya? Serahkan saja pada Tuhan.”
Sejak hari itu, kita mulai berjalan lagi. Menikmati kerikil demi kerikil yang memilih memanjakan perjalanan kita. Hingga tanpa kita sadari, satu tahun lagi hampir berlalu. Sebuah garis finis mulai tampak di ujung lorong yang kita susuri. Kita hampir sampai di sebuah istana mimpi yang tak pernah kita ceritakan pada siapa pun. Mimpi yang sudah kita usahakan dan hanya tinggal menunggu keputusan Tuhan saja.
Hari ini, kita menikmati sebuah lagu yang menguliti hati. Ah, benarkah sebentar lagi kita akan mengucapkan kalimat ‘sampai jumpa di lain hari’? Rasanya, aku masih tak percaya. Hari ini kita saling merangkul, entah kenal atau tidak, kita menyatu dalam harmoni lagu yang meremas kelenjar air mata. Semuanya menangis. Ratusan mata di lapangan ini semakin memerah. Kita memeluk mereka, sahabat-sahabat yang berbagi luka dan tawa sejak tiga tahun terakhir ini.
Kau bertanya padaku, “Di mana dia? Sahabat kita yang tak pernah lelah menerima berbagai cerita yang kurasa sangat memusingkan kepala. Apa kau bisa menemukannya?”
Aku menoleh ke segala arah. Mencari gadis berkacamata di antara ratusan orang yang berseragam sama. Dan, ya, aku menemukanya dengan air mata yang jatuh di balik kacamata itu.
“Dia di sana,” ujarku menunjuk tempat ia berdiri.
“Kita harus ke sana.”
Dan, kita ke sana, menghampirinya yang sudah dibanjiri air mata dan isak yang tertahan. Setelah sampai di depan gadis berkacamata itu, kita memeluknya erat. Sangat erat seperti benar-benar akan berpisah hari ini. Dia menangis di pundakku, tersedu-sedu. Tak jauh berbeda dengan kita yang masih menyampirkan aliran sungai di pipi yang sudah memerah dijilat mentari.
Tak ada satu kata pun yang ia ucapkan hari ini. Dia hanya menangis dan menikmati suasana yang semakin haru. Dentuman musik yang mulai mencoba mengubah suasana tak mampu mengalahkan rangkulan ini. Aku menyayanginya. Dia adalah sahabat yang takkan pernah hilang dalam lembar sejarah. Entah dalam buku berjudul Pinus Rimbun itu atau bahkan dalam buku lain. Yang jelas dia takkan pernah hilang selagi kisah itu tercakup dalam nama Singka Sajarek yang mulai tersemat dalam kisah-kisah yang terjadi selama tiga tahun ini.
Hari ini berlalu begitu saja. Asap warna-warni yang menghiasi lapangan ini adalah gambaran segala kisah dengan warna yang berbeda-beda. Terlihat cantik ketika kita cermati dengan baik, sangat berharga ketika kita renungkan dengan saksama dan penuh suka ketika kita memikirkan gelak tawa yang mengundang bahagia.
Dalam ruangan berdinding bata yang menjadi tempatku mengistirahatkan diri, kau menghampiriku.
“Tugasku di bukumu yang berjudul Singka Sajarek sudah selesai. Peranku untuk membangkitkan dirimu untuk saat ini juga sudah usai. Kutunggu kau di buku yang baru, dengan judul dan latar yang berbeda. Kau adalah raga tempatku bernaung selamanya. Aku hanya jiwamu yang takkan pernah berhenti di sini. Sebab, kita adalah sepasang kekasih yang takkan pernah bisa berpisah. Sebesar apa pun usaha yang ada untuk memisahkan kita, kita takkan pernah berpisah kecuali atas izin Allah. Aku adalah kau dan kau adalah diriku.” (*)
Vianda Alshafaq, wanita yang lahir di Sumatra Barat delapan belas tahun yang lalu dan sangat mencintai dunia menulis.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata