Mantan, kok, Romantis? (Part 3)

Mantan, kok, Romantis? (Part 3)

Mantan, kok, Romantis?

Part 3 : Main Hati

Oleh : Cahaya Fadhillah

 

Dengan sigap aku melepas ikat rambut. Menyisir rambut lurus hitamku nan indah dengan jari-jariku yang lentik dan cantik. Aku sibuk memuji diri sendiri, karena memang tidak ada yang memuji. Seorang wanita tampak tersenyum melihatku yang sibuk dengan rambutku, yang ternyata lupa belum kusisir, dari kejauhan.

“Mbak, toiletnya di sebelah sana. Kali saja Mbak butuh,” ucapnya tersenyum lagi sambil menunjuk ke arah toilet yang tidak jauh dari tempatku berdiri. 

“T-tapi ….” 

Seperti tahu apa yang kurasakan, wanita itu kembali tersenyum lagi dan berkata, “Masih ada waktu, Bapak sedang ke luar, saya melihatnya tadi di bawah. Mbak baru ya?” tanyanya memastikan sambil melihat gaya pakaianku yang berbeda dari yang lain. 

Jika karyawan lain mengenakan baju seragam, kami yang baru diwajibkan mengenakan kemeja putih serta bawahan hitam. Terserah mau pakai rok atau celana, yang pasti harus sopan dan peduli penampilan. Aku sendiri menggunakan rok selutut agar terlihat seksi, biar teman lelaki yang ganteng terpikat oleh tubuh semokku yang tidak bisa dimaafkan. 

Ah, aku tidak peduli siapa pun yang melihat tubuh gendut ini. Karena kenyataannya, rok ini hanyalah satu-satunya bawahanku. Semua celana sudah tidak muat. Kasihan. Jadi aku butuh bekerja ekstra semangat agar bulan depan saat gajian bisa beli satu celana hitam yang baik dan nyaman.

“Terima kasih, Mbak,” jawabku cepat dan berlari secepat kilat menuju tempat sembunyi paling nyaman dari rambut yang hitam cantik tapi berantakan. 

Wanita itu tampak mengangguk dan masuk ke ruangan yang sama denganku. Aduh, apakah tadi aku kena prank? Apakah dia atasanku juga? Atau istri dari Direktur? Ah, lupakan. Beresin dulu rambutmu, Niki! 

Cermin di depanku terlihat mengejek. Gadis yang tampak di sana cantik, tapi rambutnya? Astaga. 

Ternyata bukan hanya Tirta dan Vera yang jahat hari ini, tapi bertambah lagi satu orang, si Mbak Ayu, yang tadi bertemu denganku dan sekarang ada di sebelah Tirta. Oh, dunia. Tidak kasihankah padaku yang jomlo dan berniat cari jodoh tapi malah bikin malu diri sendiri di depan mantan? 

Jangankan Tirta yang sudah kenal lama, semut di dinding pun sepertinya tidak rela untuk kagum menatapku kali ini. Sungguh hari yang buruk!

Cepat kubuka tas hitam yang kubawa, mencari-cari sisir di antara alat lenong untuk tampil ternyata menyebalkan. Berkali-kali aku berusaha menarik benda yang kubutuhkan, tapi yang didapat selalu uang recehan. Miskin, aku miskin. Jangan sampai di hari pertama aku dipecat. Kalau begini, aku bisa disuruh pulang kampung sama. 

Setelah sisir ketemu, bagai putri cantik yang turun dari surga, akhirnya dandananku hari ini sempurna. Rambut hitam nan panjang kugerai manja di belakang tubuh yang seksi dan ramping tapi besar di paha. Ah, gaji pertama harus kugunakan untuk menyewa pelatih fitness kayaknya, tidak untuk stok camilan di lemari. Titik. 

Walau terseok, akhirnya aku sampai di depan ruangan direktur perusahaan tadi. Dengan membaca “bismillah”, aku mengetuk pintu hitam berwarna hitam sebanyak tiga kali hingga suara mempersilakan masuk terdengar dan aku melangkah dengan lebih percaya diri karena mahkota yang telah disisir rapi. Semua mata tertuju padaku atau mungkin pada rambutku yang berubah wujud.

Di dalam ruangan direktur yang luas, sofa empuk berwarna hitam berjejer rapi mengitari meja panjang senada yang elegan, dan si gadis ayu duduk di kursi single, begitu juga dengan Vera. Wanita yang kutemukan tadi duduk di kursi panjang dengan beberapa map yang menutupi sisi sofa sebelahnya sehingga pantatku yang lumayan lebar tidak akan muat di sana. Satu-satunya tempat kosong hanya di sebelah Tirta. 

Duduk di samping Tirta bukanlah pilihanku, walau hatiku sedikit senang tapi karena dihantui aura menyeramkan, rasanya hidupku mendadak suram. Ya, mbak ayu itu menatapku curiga. 

“Ke mana saja sih lo?” ujar Vera menatapku dengan tajam.

“Toilet,” bisikku sepelan mungkin agar tidak terdengar oleh Mbak Ayu dan Tirta. 

“Rambutnya sudah cantik ya, Mbak. Tidak seperti tadi, lucu,” ucap si Mbak Ayu menatapku sambil terkekeh dengan mulut yang ditutupi telapak tangan. Sungguh, gayanya mengejek adalah pemandangan yang membosankan. 

“I-iya. Tadi lupa,” jawabku singkat sambil nyengir kuda tanpa menoleh ke arah Tirta karena malu. 

“Kebiasaan,” ucap Tirta pendek.

Semua mata tertuju pada lelaki jangkung di sampingku. Yang ditatap hanya diam, pura-pura tidak tahu, sehingga semua mata akhirnya beralih menatapku.

“Kalian saling kenal lama?” tanya mbak ayu itu membolakan mata menatapku dan Tirta bergantian.

“Iya,” ujar Tirta singkat 

“I-iya,” jawabku gugup.

Mata Tirta menatapku, walau jarak di antara kami cukup luas. Tapi, tatapan itu seakan menyeretku ke dekatnya, dekat dan semakin dekat, hingga kurasakan aroma parfum Tirta yang tidak berubah dari dulu. Tirta masih sama, status kami yang berbeda.

“Selamat pagi,” ujar seorang bapak bertubuh pendek, gemuk, dan berwajah humoris yang tadi sempat kulihat di depan. 

“Pagi,” ucap kami serempak. 

“Maaf, saya tiba-tiba ada keperluan. Jadi, penerimaan karyawan baru tidak bisa saya lakukan seperti biasa. Hari ini akan digantikan oleh anak saya saja.” Setelah berucap bapak itu mengambil beberapa map dan tas di atas meja kerjanya. Lalu, ia tersenyum menatap kami yang bengong ditinggalkan begitu saja. 

Mbak yang kutemui di depan tadi kini terlihat sibuk mengemasi map yang berserakan tadi. Lalu, ia ikut pergi setelah menundukkan tubuh tanda permisi kepada kami. 

Hening. Ruangan tiba-tiba hening. Kami berempat diam dengan pikiran masing-masing sebelum saling tatap pada akhirnya. 

“Kalau tahu begini kan gue bisa sarapan dulu,” ujar Vera geram. 

“Salah lo ndak makan, jangan nyalahin keadaan,” ujarku menatapnya kesal.

“Eh, ini semua karena lo, Nik. Lama banget sih dandannya, mau cari kecengan di kantor?” tanya Vera menyipitkan mata, memancing rusuh di pagi yang menyebalkan ini. 

“Masih suka lama, Nik?” tanya Tirta tiba-tiba. 

“Iya. Masih sama kayak dulu, ndak berubah sama sekali. Orang udah ke bulan, Niki masih aja di bumi.” Tawa Vera pecah. Kurasa kelambananku bukanlah sebuah dosa besar, walau memang kadang bikin orang jadi darah tinggi dan tertidur lantaran terlalu lama menunggu. Vera saja yang terlalu mendramatisir keadaan. 

Tirta membalikkan badan menatapku kali ini. Mata teduh itu tidak berkedip sama sekali. Aku yang ditatap seketika membaca doa-doa dengan cepat. Bukan, bukan kerena melihat hantu yang gentayangan, ini semua karena debaran jantung yang terlalu kencang. Takut, kalau tiba-tiba tidak terkendali dan pingsan. 

“Kalau kayak gini terus, kasihan mertuamu nanti, Nik,” ujar Tirta menatapku dengan sangat serius.

“M-mertua?” tanyaku mengerutkan dahi bertanya-tanya. 

“Mertua bagaimana? Pacar saja dia tidak punya sejak putus sama lo, Ta!” Suara Vera terdengar seperti TOA masjid yang nyaring sangat sempurna. 

Tirta dan Mbak Ayu tiba-tiba menatapku dengan wajah tidak percaya.

“Mantan kamu, Ta?” tanya Mbak Ayu memonyongkan bibirnya.

“Iya, mantan spesial,” ucap Tirta tersenyum menatapku yang tidak tahu harus berkata apa. (*)

Bersambung …

 

Part 3 (Sebelumnya)

Part 4 (Selanjutnya)

 

Cahaya Fadillah, lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat. Menyukai literasi sejak duduk di bangku sekolah dasar, tapi baru aktif tahun 2017. Ibu satu anak bernama Muhammad Adz Dzikri Faeb ini sangat suka menulis. Sampai sang suami memberi gelar untuknya “Si Tukang Karang”.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply