Mangata Terbelah
Oleh: Ray Eurus
Editor: Dyah Diputri
Seorang pemuda duduk termangu, menatap lurus tepat ke arahmu. Mulanya kamu berhasil meyakinkan diri bahwa bisa saja taksiran itu salah. Nyatanya kamu menyerah. Kamu mulai salah tingkah, menari berlebihan kala permukaan air mulai beriak. Bahkan, pak tua berambut seperti tembaga sudah menegurmu untuk tidak bermain dengan perasaan itu. Kemudian, lagi-lagi kamu mengindahkan peringatan dari lelaki baik hati tersebut.
“Ah, itu sekadar anganmu semata, Adaire.”
“Tidak mungkin. Cobalah sisiri siapa di antara kita semua di sini yang lebih menarik daripada aku, Elenio. Tidak ada, ‘kan?!”
Lelaki yang sudah seperti seorang ayah bagimu tersebut berdecak sebal, sebelum berujar, “Kau mulai besar kepala rupanya. Tak ‘kan ada lagi artinya namamu itu jikalau kau terus-terusan membanggakan diri seperti ini.”
Kamu dan lelaki yang sungguh memiliki pemikiran yang terang benderang–seperti arti namanya tersebut, kemudian terbahak bersama. Susul-menyusul.
Pernyataan yang kamu layangkan demi menyangkal niat baik Elenio bukanlah tak berdasar. Semua diri yang bertugas bersamamu pada malam-malam sunyi di telaga sepi, tiadalah yang belia. Apa yang kamu punya, merupakan anugerah yang tak diberikan kepada sembarang diri, begitupun terhadap mereka. Mereka semua harus ditempa dulu hingga matang sebelum mampu menyalakan lentera hatinya dengan terang. Sementara kamu … sudah seperti satu kesatuan dengan kilau perak berpendar, semenjak sepatah kata pun belum bisa kamu sebutkan dengan baik.
Kamu dan kilau itu seperti udara bagi pernapasan, seperti air buat para ikan, dan seperti terang rembulan di kegelapan malam.
“Jangan pernah melarangku untuk menemuinya kala pagi menjelang,” pungkasmu kepada Elenio yang memutar bola matanya, demi meningkahi janji tersiratmu hingga keesokan hari.
***
Wajah semringahmu menyambut sajian di atas meja, kala duduk menemani Elenio di toko roti. Lelaki bertubuh tambun dengan rambut yang sering disugarnya itu, biasa menyediakan sarapan buat para mangata sebelum mereka pulang dan beristirahat untuk kembali bekerja. Sebenarnya, Elenio hanya akan membuka toko tersebut dan sang istrilah yang menyediakan sarapan. Dan mulanya, jamuan makan pagi itu hanya untuk sang suami dan kamu saja, lalu karena kehebohanmu yang mengabarkan tentang kepiawaian sang istri dalam membuat roti-roti manis menjelma serupa magnet yang membuat Elenio dan istrinya merasa tak enak jika hanya menjamumu seorang. Jadilah ritual sarapan selepas bekerja sepanjang malam kala bulan benderang, milik semua mangata.
Suara berdencing-dencing kepingan logam yang sengaja dipasang pada bagian atas tirai menuju ruang perjamuan dari toko roti milik Elenio, mengabarkan seorang pelanggan yang hendak turut sarapan di sana.
“Mohon maaf, kami masih–” Kamu melenggong setelah menggantung kata-kata.
“Oh, maaf. Sedang ada perjamuan makan pagi rupanya.” Pelanggan yang seketika membuat lidahmu kelu tersebut membungkuk sekali, merasa menyesal telah memasuki ruang perjamuan di toko roti milik Elenio ini.
“Tak masalah, tak masalah.” Salah seorang dari mangata berkaca mata tebal dengan janggut yang tak kalah tebal, berujar. “Kami sudah selesai dan akan segera pulang,” lanjutnya.
Kawan-kawan mangata-mu tahu diri. Mereka segera meninggalkan toko Elenio setelah mendapatkan sepotong roti. Tak perlulah lama-lama, yang penting perut mereka sudah terganjal sebelum mengistirahatkan diri di rumah masing-masing. Berbeda denganmu yang terbiasa berlama-lama di sana. Terlebih lagi, atas kedatangan pelanggan satu itu.
“Lihat! Alam mendukungku. Atau mungkin dia sengaja mengikutiku,” bisikmu sambil memajukan kepala, setelah berhasil menguasai diri kepada Elenio yang duduk di seberang meja.
Pak tua itu mengendikkan bahu, lalu berdiri hendak menghampiri pelanggan yang sudah duduk di salah satu kursi yang sudah kosong. Elenio menanyakan kepada sang pelanggan, mengenai minuman hangat yang mungkin hendak dipesannya.
“Izinkan aku yang mengantarkannya. Kumohon.”
Elenio luluh dengan kata terakhir darimu. Dia mengangsurkan pesanan sang pelanggan, membiarkanmu yang menyajikan. Selepas itu Elenio pamit kepada istrinya hendak beristirahat, setelah berpesan kepadamu untuk segera pulang dan tidur.
***
“Aku pernah dekat dengan seorang wanita yang sepertimu.”
Kamu melirik ke pemuda di sebelahmu sebelum memalingkan muka. “Mirip. Apanya?” ketusmu tak dapat menutupi rasa tidak suka disamakan seperti itu, padahal kamu sudah sekuat mungkin bertanya dalam nada datar.
Pemuda itu terkekeh sekilas setelah menyadari kealpaannya dalam memperlakukan wanita. “Maafkan aku. Tak ada maksud apa pun,” ucapnya tulus, “Aku hanya mengenang perjumpaan kita di toko roti hari itu. Saat kamu mengulurkan tangan dan menyebutkan namamu.”
“Lantas, jawabannya apa?”
Pemuda itu kembali terkekeh, kali ini lebih lama.
“Namamu itu,” akunya pada akhirnya.
Kamu mengernyit sambil memalingkan wajah ke arahnya.
“Ada seseorang bernama Rea. Sama sepertimu, Rei.”
“Aku Adaire. Lantas, dia Rea siapa? Apakah sama?” selidikmu mulai tak sabar.
“Rea. Hanya Rea.”
Kamu membulatkan bibir, mendengar jawabannya.
“Kalau Adaire berarti cantik, dan itu memang sesuai denganmu. Sementara dia, Rea. Hanya Rea.”
Kedua pipimu tampak merona mendengar kata-katanya. Sepertinya, dalam sekejap hilang kesalmu karena penuturan pemuda berlesung pipi itu.
“Rea itu adalah dewi matahari. Ya, dia terang benderang seperti matahari,” lanjut sang pemuda sembari menengadah memandang langit.
Ucapan yang semula melambungkanmu, seketika menguap begitu saja. Kamu diam seribu bahasa. Hatimu seperti merasakan pedih di dalam sana.
“Aku pun bercahaya,” cetusmu yang tak dapat menahan diri, lagi.
“Iya. Aku tahu.” Pemuda itu kini memandang ke arahmu, lekat-lekat.
Tatapan kalian saling bersirobok, sebelum akhirnya kamu memalingkan muka karena tak ingin dia menemukan kecewa di dalam sana.
“Ma–maafkan aku, Rei. Aku tak bermaks–”
“Sudahlah, tak mengapa. Mungkin ada baiknya aku pulang dulu. Aku harus istirahat sebelum kembali bekerja.”
Kamu segera beranjak dari sisi sang pemuda tanpa menunggu jawaban darinya.
“Nanti malam aku ‘kan datang.”
Lamat-lamat sempat kau dengar janjinya saat kamu sudah melangkah cukup jauh. Kamu acuh tak acuh.
***
“Semalam kenapa kau tak menari saat kulempar batu ke dalam telaga?”
Kamu hanya menggeleng tanpa memandang ke hadapan, tempatnya duduk untuk sarapan.
“Apa kau masih marah karena obrolan kita kemarin pagi di taman?”
Terkaan sang pemuda berhasil mencuri perhatianmu. “Seharusnya kamu mengerti, tidak ada perempuan yang suka disamakan apalagi dibanding-bandingkan. Apa kau tak tahu rasanya diibaratkan seperti bayang-bayang seseorang?” semburmu dan berhasil mencuri perhatian istri Elenio beserta beberapa pelanggan lainnya.
“Maafkan aku. Sekali lagi aku bersungguh-sungguh minta maaf. Aku hanya ingin membagi kesan pertamaku saat bertemu denganmu saat itu.”
“Ah, sudahlah.” Kamu masih kesal dan berniat akan meninggalkan tempat itu.
“Hey, jangan tinggalkan aku lagi.” Pemuda itu meraih sebelah pergelangan tanganmu dan ikut berdiri. “Ayolah, maafkan aku!” pintanya seraya menyampirkan rambutmu yang tergerai di sekitar pipi ke belakang telinga.
Kamu bergeming, masih menyimpan kesal mengenai seseorang yang kamu yakini cukup istimewa buat pemuda itu.
“Maukah kamu ikut ke rumahku?” tawar sang pemuda, mencoba mengalihkan kebisuan yang kamu ciptakan.
“Buat apa?”
Sudut-sudut bibirnya tertarik ke belakang, menampilkan lubang dangkal di kedua pipi yang mulai ditumbuhi janggut yang sudah dicukur beberapa hari lepas.
“Kita habiskan waktu bersama,” bisiknya ke dekat telinga yang berhasil membuat perutmu seperti digelitik dari dalam.
***
Malam ini, kamu duduk termangu pada bibir telaga sepi. Tatapan matamu lurus memandang ke arah Elenio yang melemparkan tatapan prihatin. Sementara yang lainnya, berbisik-bisik di sekitar Elenio. Air matamu tumpah, seketika. Kamu meratap di sudut derita. Semua sudah terjadi, kamu pun hanya sanggup merutuki diri.
Menerima ajakan pemuda yang dulu selalu duduk terpaku di tempatmu duduk sambil terguguk kini, adalah akhir dari hidupmu. Kilau cahaya keperakan di dadamu padam seketika. Lebih tepatnya hilang.
Sesampainya di kediaman sang pemuda pagi tadi, kamu membiarkan dirinya bersenang-senang dengan menyenangkanmu. Sampai pada saat dia mengajakmu masuk ke kamar gelap, di situlah kamu mulai menyadari satu hal.
“Bisakah aku lihat dadamu, Rei?” pintanya dalam kegelapan.
“Apa yang ingin kau lihat?”
“Cahaya itu. Cahaya yang membuatmu makin cantik.”
Kamu masih menyukai rayuan pemuda itu. “Kalau kubuka, kau mau apa?” tantangmu, alih-alih seperti menggoda.
“Hmm.”
Tanpa pikir panjang, kamu melepas satu per satu kancing baju, sampai teranglah ruangan itu.
“Bolehkah aku menyentuhnya?” Tatapan sang pemuda lekat ke arah dadamu.
“Maaf. Kalau yang itu tidak bisa.” Kamu menolaknya halus, seraya memasang kembali kancing-kancing bajumu.
Sialnya pemuda itu sigap maju, lalu menyobek kembali bagian depan blus berkerah rendah yang kamu kenakan. Dia memaksa meraih lentera yang berpijar dari dalam dadamu.
“Jangan … jangan sentuh!” Kamu memberontak dan berhasil meloloskan diri.
Kamu berlari dan terus berlari kencang meninggalkan kamar gelap dan rumah pemuda sialan itu. Sialnya lagi, setelah sampai di rumah baru kamu menyadari bahwa cahaya dari dalam dadamu menghilang. Jatuh tertinggal di telapak tangan pemuda sang pemuja dewi matahari.
Kini, kamu tidak dapat menari di atas beriaknya air. Kamu tidak lagi menjadi yang terbelia di antara para mangata. Kilaumu hilang. Tempatmu kosong, tidak ada yang menggantikannya malam ini. Mangata terbelah karena satu cahaya kehilangan kilaunya.
Kamu dan kilau itu sudah tak dapat lagi disamakan seperti udara bagi pernapasan, seperti air buat para ikan, dan seperti terang rembulan di kegelapan malam.(*)
Balikpapan, 15 Juli 2021.
Ray Eurus, seorang astrophile sekaligus nyctophobia kecuali saat hendak tidur ini, dapat disapa pada akun Instagram @rayeurus dan atau akun Facebook Ray Eurus.