Manajer (Katanya)
Oleh : Ika First
Kepalaku berputar. Dengan cara apa lagi aku harus menyemangati mereka. Para pegawai itu seakan makan gaji buta. Bekerja sedikit, banyak rebahannya. Ah, sial! Mereka yang rebahan, gue yang kena omelan!
Masih terngiang gelegar Big Boss siang tadi. “Rendra, saya gak mau tahu. Kamu saya angkat jadi manajer biar bisa jalanin ini restoran, bukan mandek tengah jalan! Mana usahamu?”
“Saya sudah berusaha, Bu. Tapi ini masa pandemi. Semua usaha mengalami krisis, Ibu tahu sendiri, kan? Untung resto kita masih bisa tetep buka.”
“Ya tapi gak gini juga … masa sehari sejuta aja gak dapet? Yang bener aja, dong? Kelen mau dibayar pakek singkong?”
Muke gile ini Big Boss. Lama-lama gue santet juga nih, orang!
“Saya mau mengundurkan diri saja, saya capek. Gaji bulan kemarin juga belum dibayar.” Gue nyerah. Bisa turun berat badan kalo terus bertahan.
“Loh, mana bisa, kontrak kamu masih kurang setahun, ya! Enak aja mau kabur. Mestinya kamu mikir … gimana naikin omset di masa pandemi. Ini kesempatan kamu.”
“Kesempatan apaan?”
“Naik jabatan dong.” Si bos senyum-senyum.
Ini orang belum minum obat ato pegimane? Naik jabatan mana lagi? Di bawah dia itu gue. Dia mau gue geser dia?
“Maksud Ibu?”
“Udah pokoknya kamu mikir aja gimana biar resto ini jalan lagi. Saya bayar kamu mahal bukan untuk ongkang-ongkang kaki aja!”
“Tapi bulan kemarin belum dibayar, Bu,” gue ingetin lagi.
“Iya, tahu. Kamu kira saya tuli sampe ngomong dua kali? Nanti saya transfer! Gaji segitu aja diributin!”
Wah, sompret bener ini bos! Gue pelet tahu rasa, lu!
Gue keluar dari ruangan Big Boss. Tampak jelas di hadapan, hall resto yang biasanya ramai malah berasa kek kuburan. Hening.
Kalau bukan karena kontrak yang mencekik itu, gue pasti udah kabur dari resto yang sebentar lagi gulung tikar.
Kasihan sebenarnya, dua tahun ini resto inilah yang ngasih gue duit. Buat bayar apartemen, cicilan mobil, juga beli paketan. Tapi apa mau dikata, pandemi ini dirasakan semua orang. Hampir semua pengusaha angkat tangan. Termasuk gue, meskipun status masih karyawan. Bikin pen ngelus dada. Dada gue sendiri.
Sambil berjalan ke dapur, gue putar otak. Apa yang harus dibenahi biar resto jalan lagi di masa sulit ini.
Sampai di sana, Santi udah nunggu. Dia chef resto ini. Wajahnya oriental kek seafood. Kelen tahu Chef Renata? Ya, bener, gak ada mirip-miripnya. Cuma sama-sama sipit, dah gitu aja.
Air muka Santi udah masam banget. Berhari-hari dia hanya menyajikan dessert saja. No appetizer, apalagi main course.
Dia juga udah ngancam gue, kalo sampe minggu ini gak ada yang pesen makan, dia mau bakar ini resto. Sebuah rencana yang pasti gue dukung.
“San, kita ganti menu aja gimana? Mungkin orang-orang bosan dengan masakan Western. Lagian harganya kan mahal. Ini hari semua orang lagi bokek, daripada buat makan di resto mewah, mending diirit buat stok makanan sendiri.” Gue buka percakapan, Santi masih diem liatin gue. Entah melihat atau melotot, gue gak bisa bedain.
“Udah bilang Bos, lu?” tanyanya.
“Udah, itu urusan belakang.”
Selanjutnya gue ngadain rapat kecil-kecilan bareng semua kru. Mulai minggu depan, kita bakal ganti menu Western ke masakan Nusantara. Mereka setuju, yang penting resto jalan lagi, dan bisa ngerasain gaji, lagi.
Gue buat brosur. Promo makan siang siap antar dengan menu nasi Padang ekonomis. Gue minta semua kru sebarin di medsos, sekalian ganti banner di depan. Gue juga minta Big Boss buat sediain drive thru. Untungnya si Bos iya-iya aja, kalo gak, gue tinggal juga ini resto sekarat.
Bulan pertama jalan, permintaan ada meski belum seberapa. Tapi setidaknya cukup buat bayar gaji karyawan. Kebanyakan yang pesen adalah pegawai kantoran sekitar resto. Waitress yang bisa nyetir dan punya SIM, alih fungsi jadi kurir. Lumayan buat ngirit pengeluaran. Resto belum terlalu ramai.
Bulan kelima kami mulai kewalahan, seiring dengan new normal. Semua mulai berjalan seperti biasanya, meskipun tetap harus mengikuti protokol kesehatan. Big Boss bahkan rekrut pegawai baru.
Kesempatan.
Hampir tengah malam gue samperin Big Boss di ruangannya. Resto udah tutup. Para pegawai juga mulai bersiap pulang.
Gue kudu berani.
“Masuk,” sahut Big Boss waktu denger pintunya diketuk. Roman-romannya dia lagi bahagia. Omset tumpeh-tumpeh. Gue khawatir Itu gigi kering keseringan senyum.
“Oh, kamu, Ren, duduk. Kebetulan kamu ke sini, saya pengen ngomong.” Big Boss semringah. Gue berasa matanya berubah warna hijau.
“Saya bener-bener bangga sama kinerja kamu. Resto kita kembali berkibar. Sukses besar. Saya mau buka cabang. Nanti kamu pegang cabang baru, ya. Kontrak kamu saya perpanjang tiga tahun lagi,” kata Big Boss bahagia. Gue ngelus dada.
Kaget gue, datang-datang suruh mimpin cabang. Babat alas lagi dong? Daripada kepanjangan, mending to the point. “Saya mau resign, Bu.”
“What? Kontrak kamu saya perpanjang lo, ini balasannya?” Big Boss kaget dan gak terima. Wajahnya seketika memerah.
“Saya capek, Bu, jadi karyawan. Saya mau nikah dan buka usaha sendiri,” jawab gue santai.
“Wah kebetulan!” Big Boss balik semringah. Nih orang lama-lama kek bunglon, ye!
“Kebetulan gimana?”
“Saya juga mau nikah.” Mata Big Boss kedip-kedip.
“Terus?” Gue tahu nih arahnya ke mana ….
“Nikah aja sama saya. Kamu langsung naik jabatan.”
“Tidak, terima kasih, saya sudah punya calon. Ini surat pengunduran diri saya. Pamit, asalamualaikum.” Gue beranjak dari kursi. Udah gak mau noleh lagi. Bodo amat itu bos mau mangap.
“Rendra, ini SP kok ada dua? Kenapa Santi ikutan resign?”
Oia, lupa.
“Anu, itu, dia mau ikut saya.” Gue cengar-cengir. Kan, belibet ngomongnya. Kenapa jadi grogi gini, sih!
“Ikut ke mana?”
“Ke pelaminan.”
Big Boss megap-megap. Modar sia! Salah sendiri bayarin gaji pakek dicicil. Lu kate kredit mobil! (*)
Ika First. Emak-emak pengangguran yang mencoba mengisi waktu luang agar lebih produktif. Dengan menulis, diharap rebahannya berfaedah.
Editor : Fitri Fatimah
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata