Man from The Rain
Kebanyakan orang sering menggerutu tentang hujan yang tak kunjung berhenti. Namun, bagiku percuma saja berharap ia akan berhenti semintanya kita. Karena hakikatnya, kita hanya bisa menunggu hujan itu berhenti dengan sendirinya. Menunggu sampai ia berkenan untuk mereda.
Kemudian, tempo hari, seorang perempuan memberanikan diri untuk mengakui perasaannya. Anggap saja ia hanya berbagi cerita. Ia hanya butuh didengar. Ia hanya ingin membongkar ketidaktahuannya perihal perasaan yang tak bernama ini. Hujan pun butuh waktu untuk mengumpulkan segala kebenaran yang baru diketahui. Mungkin heran. Mungkin juga bingung. Sama. Perempuan itu juga bingung.
Lantas, apa yang harus perempuan itu lakukan? Ia hanya akan mengaku dengan tulus. Ia hanya ingin tahu apa yang ingin dikatakan hujan itu setelah ia mengungkapkan seluruh hatinya. Mungkin perasaannya tak begitu berarti sekarang, esok, kelak, atau malah sebelumnya. Hujan juga takkan memikirkannya. Namun, berilah sebuah keputusan, apa yang harus perempuan itu lakukan? Apa yang ingin dikatakan oleh hujan? Sebab, sudah cukup lama kebisuan ini mengambang di udara.
Jika butuh waktu, katakanlah seberapa lama harus menunggu jawaban? Janganlah menghindar. Sebab itu bisa membuat si perempuan menjadi gila. Sungguh.
Pesan itu ia baca lamat-lamat sebelum tombol send ia tekan. Desahan napas berat pun terdengar setelahnya. Tak lama kemudian, pemberitahuan message send pun muncul. Artinya, ia berhasil mengirimkan pesan itu kepada akun email Kii Mii.
Lagi, ia menatap kosong pada layar laptopnya. Sekarang sudah pukul delapan malam. Namun ia masih saja bergeming di bangku taman. Udara yang dingin sekaligus menggigilkan tubuhnya tak serta merta menghalanginya untuk semakin larut dalam lamunan. Syal merah marun miliknya pun tergerai ke sana kemari mengikuti arah angin yang menerpa. Sesekali dedaunan kering jatuh menimpa kepalanya.
Kii Mii yang sering disapa Kim adalah pemuda maskulin yang memiliki bentuk rahang tegas dan sorot mata tajam. Namun begtitu, ia sangat lembut dan hati-hati dalam lisan. Ia bisa memabukkan para gadis melalui kata-katanya yang halus. Termasuk Nayla Lee—yang menaruh hati padanya semenjak mereka masih SMP.
“Kim!” seru perempuan itu.
“Hallo, Nay?” Suara serak Kim pun terdengar di seberang sana.
“Tidak. Aku ingin bercerita. Dengarkan saja dulu!” perintahnya yang dibalas dengan oke.
***
“Aish!” Nayla menghentakkan kakinya hingga kursinya—yang berkaki roda—melonjak ke sana kemari.
“Sadarlah kau, Nayla…” Gadis itu mengetuk-ngetuk keningnya sendiri.
“Kamu mulai gila, Nay? Oh ya, emang sudah pembawaan lahirnya gitu,” kata Sonia, teman sekelasnya sembari terkekeh.
“Gak Lucu, tauk,”
“Yang bilang lucu juga, siapa? Emang kamu kenapa, sih, ribet amat dari tadi?” Tanya Sonia, ia berhenti sejenak menyalin tugas matematika Nayla.
Sonia memang tidak secerdas Nayla, tapi hal itu tidak membuatnya rendah diri. Nayla merupakan sahabat yang sangat peduli pada teman-temannya. Maka dari itu, Sonia selalu menjadi pendengar yang baik bagi kegelisahan Nayla. Ia meletakkan penanya dan berbalik menghadap Nayla. Ia siap mendengar curhat sahabatnya itu.
“Kamu percaya, gak, sama kebetulan yang berkali-kali?” tanya Nayla.
“Maksudmu takdir.”
“Kayaknya aku sedang jatuh cinta, Son.”
“Pasti lelaki yang kamu beri nama Rain itu ya? Tulisan-tulisan yang numpuk di berandaku. Tentang hujan, rindu, dan patah hati yang gak pernah absen ditulis oleh sih empu penyuka aksara,” tebak Sonia.
“Kamu stalking aku?” tanya Nayla yang pura-pura kaget.
“Idih, siapa juga? Geer.”
Masih pukul enam, dan lampu kelas yang menyala terang pun menampakkan setiap sudut ruang kelas. Sudah menjadi kebiasaan mereka untuk berangkat lebih awal dari yang lain. Ada saja yang mereka kerjakan, paling tidak ya curhat-curhatan seperti saat ini.
“Menurutku, hujan adalah momentum untuk berhenti sejenak dari segala kesibukan dan menatap rerintikannya. Aku selalu tertegun tiap kali merasakan nikmat yang sederhana ini. Kadang terbersit tentangnya yang selalu berkaitan dengan hujan,” ucap Nayla sembari melihat ke luar jendela.
Sang hujan selalu saja mampir setiap kali ia membicarakan lelaki itu. Saat melihat, mendengar, mengingat, merindu, membencinya, apa pun itu. Hujan akan hadir bersama potongan-potongan adegan bersama lelaki itu.
Sonia tak mampu berkata apa-apa. Ia juga bingung jika dihadapkan dengan percintaan Nayla yang rumit itu. Ia hanya mampu mengelus bahu Nayla dengan penuh perhatian. Memberi kenyamanan pada Nayla. Ia tahu Nayla adalah wanita yang tegar. Ketika ia menunjukkan kerapuhannya sedemikia rupa, maka itu pertanda bahwa dinding pertahanannya sudah benar-benar roboh.
“Hanya kamu yang bisa menerjemahkan perasaan itu, Nay.”
Sonia juga seorang perempuan. Ia memahami perasaan Nayla yang dia sembunyikan dari keramaian dunia. Sebab itu, tanpa Nayla menceritakannya ia sudah mengetahui banyak hal. Terbesit ingatan tentang status Nayla yang masih melekat di kepalanya.
Kan kulepas kenang yang membelenggu. Dan berakhirlah tulisan patahku.
***
“Ada seorang gadis kutu buku yang menaruh hati pada seorang pemuda yang masuk ke ruang guru. Sang gadis melihatnya tanpa sengaja. Entah kenapa, ia jatuh hati pada pandangan pertama. Ia pun mencoba mencari informasi tentang pemuda itu. Menunggunya selepas pulang atau mencari-cari kesempatan agar bisa menemuinya sudah menjadi tugas tambahannya di sekolah. Sang gadis pun akhirnya berhasil mendekati sang pemuda setelah melalui pendekatan beberapa bulan. Sang gadis tentu sangat gembira, karena perjuangannya untuk mendekati lelaki itu berhasil.
“Namun betapa malangnya sang gadis, ia mendapat kabar bahwa sang pemuda sudah mengutarakan perasaannya kepada perempuann lain. Setelah itu, si gadis itu menjadi pemurung. Lama-lama hubungannya dengan pemuda itu makin renggang. Gadis itu memutuskan untuk tidak akan mendekati pemuda itu lagi. Tiap kali ia tak sengaja melihat kemesraan sang pemuda di depan matanya, hatinya terbakar. Tapi segera ia padamkan api itu dengan keyakinan bahwa perasaannya hanyalah sementara—rasa suka anak ingusan semata.
“Dua tahun mereka tetap menginjak kelas yang sama. Sang gadis makin membenci pemuda itu. Mereka seolah tak saling kenal. Semakin ia benci, perasaannya makin berantakkan tatkala ia harus berurusan dengan lelaki itu. Beberapa kebetulan terus terjadi. Entah yang mengharuskannya bertemu dalam kompetisi, entah dalam diskusi kelas dan sebagainya.
“Selama itu, sang pemuda sudah berganti-ganti pasangan. Dan di akhir cerita, kala gerimis datang setelah senja. Sang gadis sedang berada di kendaraan yang sama dengan sang pemuda. Hujan makin deras. Baju sang gadis dan pemuda itu basah kuyup. Pada saat itulah mereka bisa mengobrol panjang setelah dua tahun lamanya saling bungkam. Ia tak percaya orang yang ia sukai sekarang sedang ada di depannya. Tepat di depannya.
“Namun…“
Suara Nayla tercekat. Tak mampu ia menyelesaikan ceritanya. Namun sangat disayangkan jika cerita itu tak bisa ia akhiri. Maka mau tak mau, ia harus mengakhirinya.
“Lagi-lagi sang pemuda tak pernah tahu jika ada seorang gadis yang selalu berjalan di belakangnya. Sedangkan ia terlalu asyik bercengkerama dengan orang lain. Untuk mengakhiri segala perasaan yang tak menentu, sang gadis pun ingin mengakui perasaannya: Bahwa ada seseorang yang tulus mencintamu dan ia adalah seorang gadis yang sedang bercerita saat ini….”
Kim tertegun, tak mampu bersuara. Ada sesuatu yang menjanggal dalam hatinya. Cerita itu menohoknya.
“Kim!”
“Nay?”
“…”
“Aku gak bisa bilang apa-apa sekarang. Ceritamu sungguh menarik. Sangat-sangat menarik. Dan aku suka ceritanya, Nay. Aku tidak bisa membalikkan waktu, Nay. Terimakasih untuk segalanya. Sekali lagi maaf.”
***
Ting!
Buru-buru Nayla bangkit dari tempat tidurnya dan segera membaca pesan yang masuk ke email-nya itu.
To : Nayla Lee
Maaf jika kau terlalu lama menunggu balasanku. Aku hanya ingin menyampaikan apa yang kurasa sangat penting, Nay. Teruslah berbahagia Nayla. Hidupmu akan jauh lebih berharga dengan melupakanku. Aku ini tidak ada apa-apanya bagi wanita hebat sepertimu. Kau tak perlu lagi berjalan di belakang orang yang menjalani kisah dengan yang lain. Berjalanlah di depannya atau bahkan disampingnya, karena masing-masing kita pasti akan menemukan kisah sendiri.
Untuk itu, jika aku memang hujanmu, maka anggaplah demikian. Yang jatuh berkali-kali membasahi bumi. Yang tak pernah menjanjikan sebuah pelangi. Tempatku adalah di langit bersama awan kelabu. Hujan tak mungkin bisa membersamai bumi, Nay. Kuharap kau tahu maksudku.
Kuharap bumi bisa bersahabat dengan hujan.
Nayla pun membuka akun medsosnya. Menulis sesuatu di kolom status.
Di akhir cerita, lelaki hujan itu pun kembali pada langit. Meninggalkan bumi dengan rintikkannya yang masih tersisa. Bumi harus belajar merelakannya untuk kesekian kalinya.(*)
Rye Ayu Cendani, dilahirkan di Kota Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Kelahiran tahun 1999 ini, sangat menyukai hal-hal yang baru dan senang traveling. Sekarang, statusnya sebagai mahasiswi di Universitas Sriwijaya Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat.
ig : ryecendani Email : ryeayucendani@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan