Mamaku Sayang

Mamaku Sayang

Mamaku Sayang
Oleh : Ina Agustin

Saat awan mendung menghiasi cakrawala, sesekali terlihat kilatan cahaya, petir bersahutan memekakkan telinga. Gawaiku berbunyi mendendangkan lagu ceria. Mama? Kuusap ikon video call ke atas.

“Halo, asalamualaikum,” ucap Mama.

“Wa ’alaikumus-salam, Mama!” jawabku semringah.

“Gimana kabarnya, Neng?” tanya Mama.

“Alhamdulillah, baik. Mama gimana?” sahutku sambil tersenyum.

Aku senang sekali saat melihat Mama meski hanya di layar gawai. Bagaimana tidak, sudah dua tahun tidak ada kabar darinya. Mama tidak bisa dihubungi, nomornya tidak aktif. Rasa khawatir sempat menyelimuti diri ini.

Sebongkah rindu yang kusimpan sedikit terobati saat menerima panggilan video dari Mama. Wajahnya yang mulai senja dan beberapa gigi seri yang tanggal, membuat hatiku terenyuh. Mama, di mataku kau tetap cantik.

Hampir delapan tahun tidak bertemu fisik, membuatku kehilangan sosok seorang ibu. Jarak di antara kami terbentang jauh. Mama tinggal di Negeri Jiran, bekerja sebagai koki di sebuah restoran.

Teringat kenangan saat aku masih kecil. Mama menggendongku sampai ke sekolah karena ia tidak mau sepatuku basah terkena genangan bekas air hujan.

Mama yang selalu membawakan payung ke sekolah saat hujan deras melanda. Mama juga yang siap siaga membawaku ke dokter dan begadang demi menjagaku yang sedang sakit. Mama yang mengajariku salat dan mengaji. Mama yang selalu ceria di hadapanku. Mama yang selalu memberikan yang terbaik untukku. Mama oh Mama, sungguh aku sangat merindukanmu.

“Neng, kenapa nangis?” tanya Mama padaku.

“Eng—enggak apa-apa, Ma. Tadi kelilipan, hehe …,” jawabku sambil mengusap mata.

“Neng, mana anak-anak? Mama pengen liat cucu!” pintanya.

Kuarahkan gawai pada anak-anakku. Adam, Hisyam, dan Haidar tersenyum saat melihat neneknya.

“Halo, Nenek! Ini Adam,” ucap Adam, anak pertamaku, sambil melambaikan tangannya di depan gawai.

“Nek, ini aku, Hisyam,” tutur Hisyam, anak keduaku yang berusia lima tahun.

“Nah, yang ini Haidar baru umur delapan bulan, Nek,” ujarku sambil menggerakkan tangan kanan Haidar, anak ketigaku.

Mama sangat gembira saat melihat cucu-cucunya. Bagaimana tidak, Mama belum pernah bertemu langsung dengan Hisyam dan Haidar. Mama hanya pernah bertemu dengan Adam saat berumur satu tahun setengah waktu ia pulang ke Indonesia.

Ya, Mama pernah pulang dan tinggal di Indonesia selama enam bulan. Setelah itu, kembali lagi ke Malaysia mencari sebongkah berlian. Lebih tepatnya, pertama kali Mama berangkat pada tahun 2005, setahun setelah aku lulus SMA. Lalu Mama pulang pada Desember 2012. Enam bulan kemudian, tepatnya pada bulan Juni, Mama  kembali ke Malaysia hingga sekarang.

Kutahan rasa sesak di dada. Ingin rasanya menangis. Akan tetapi, kuurungkan karena aku tidak ingin melihat Mama khawatir.

“Neng, Insyaallah, dua tahun lagi Mama nak balik.”

Waktu terasa lambat berputar. Menunggu seminggu saja untuk bertemu Mama, terasa sangat lama bagiku. Ya Robb, lindungilah mamaku, cukupkanlah kehidupannya, jauhkanlah ia dari segala marabahaya. Sungguh kekuasaan-Mu meliputi langit dan bumi. Hanya doa yang bisa kulakukan.

Kami mengobrol cukup lama melalui video call. Mama menceritakan tentang kehidupannya di sana. Suka duka ia lalui seorang diri. Bekerja sebagai ART, baby sitter, security sudah pernah digelutinya. Sekarang Mama bekerja sebagai juru masak di sebuah restoran di Malaysia.

Dari nada bicaranya, terdengar Mama pun rindu keluarga di tanah air. Namun, saat ini belum tepat waktunya pulang, karena ia harus mengumpulkan rupiah untuk merehab rumah dan modal usaha. Mama berencana membuka usaha, sebuah warung makan setelah pulang ke Indonesia nanti.

Mamaku pahlawanku. Mungkin itulah julukan yang tepat untuknya. Mama yang membiayai  kuliahku hingga lulus. Mama yang rela menempuh jarak ribuan bahkan jutaan kilometer demi sebongkah harapan. Mama yang selalu bersikap optimis menjalani hari meski sang suami sudah tidak di sisinya lagi. Mama, kau sungguh wanita terhebat yang pernah kukenal.

“Neng, Mama nak salat dulu, ya! Nanti kite sambung lagi,” tutur wanita kelahiran tahun 1963 itu dengan logat bahasa Melayu.

Kami mengakhiri pembicaraan. Kuhela napas perlahan.

“Asalamualaikum,” suara Bang Farhan sambil mengetuk pintu.

Aku menjawab salam sembari memakai jilbab bergo, lalu membuka pintu.

“Kok, matanya sembab? Kenapa, Yang?” tanya Bang Farhan sambil mengernyitkan dahi.

“Tadi Mama video call,” jawabku.

“Alhamdulillah, akhirnya ada kabar juga dari Mama. Gimana Mama, sehat?” tanya Bang Farhan sembari duduk membuka kaus kakinya.

Aku menyuguhkan segelas air putih, lalu kuceritakan mengenai percakapan kami. Bang Farhan menyimak dengan saksama.

“Yang sabar ya, Sayang! Nanti juga enggak terasa dua tahun berlalu,” ujar Bang Farhan sambil mengusap kepalaku.

“Bang ….”

“Iya, Sayang, ada apa?” sahut laki-laki yang sudah sembilan tahun bersamaku.

“Aku ingin membahagiakan Mama,” ucapku dengan mata berkaca-kaca.

“Wah bagus itu, Abang juga ingin membahagiakan Emak dan Mama,” jawabnya, “Abang berharap, bisa menghajikan Emak dan Mama suatu saat nanti.”

“Serius, Bang?” tanyaku sambil tersenyum.

“Iya, Sayang. Semoga Allah memberi kita kemudahan untuk mewujudkan harapan itu,” ucap laki-laki berhidung mancung itu dengan penuh keyakinan.

“Kalau Ayang, punya harapan apa untuk Mama?” tanya laki-laki berkulit sawo matang itu.

“Aku ingin mengurus Mama kelak, di sisa umurnya, saat di mana Mama menginjak usia renta, bolehkah?” tanyaku dengan suara parau.

“Masyaallah, tentu saja boleh, Sayang. Ajak saja Mama tinggal bersama kita nanti! Jadi Ayang tetap bisa mengurus Mama tanpa meninggalkan kewajiban sebagai seorang istri,” jelas Bang Farhan.

“Terima kasih ya, Bang,” sahutku sembari merasakan buliran hangat yang mengalir dari kedua mataku.

Tetesan air turun membasahi bumi, harum wangi petrikor sangat kusukai. Jarum jam menunjukkan angka enam saat ini. Suara azan berkumandang menentramkan hati. Kami bergegas memenuhi panggilan Ilahi.(*)

Tentang Penulis:

Ina Agustin, lahir di Pandeglang, 19 Agustus 1986 ini adalah seorang ibu dari tiga anak laki-laki. Penulis berdomisili di Serang, Banten, dengan aktivitas hariannya sebagai ibu rumah tangga dan mengajar tahsin tahfiz di rumah untuk anak-anak usia SD. Hobi membaca, menulis, dan membuat kue/camilan. FB : Ina Agustin, IG : inamujahidah1986, Email : inamujahidahhh@gmail.com, Motto: Hidup di dunia hanya sekali, hiduplah yang berarti!

Editor : Tri Wahyu Utami

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply