Malin nan Malang (Terbaik ke-17 TL 20)

Malin nan Malang (Terbaik ke-17 TL 20)

Terbaik 17 TL 20
Genre Folklore
Malin nan Malang
Oleh: Rinanda Tesniana

 

Ketika aku berumur 10 tahun, bapakku hilang saat melaut dan meninggalkanku bersama seorang perempuan yang sejak kecil aku panggil ibu. Kata Bapak, dia memang tidak melahirkanku, tetapi dia yang merawatku sejak bayi. Aku tidak tahu bagaimana sikap seharusnya seorang ibu, hanya saja perempuan itu sering memarahiku. Dia marah karena sejak Bapak mati, tak ada lagi makanan apa pun yang bisa kami makan, tak ada lagi yang bisa mencucikan pakaiannya, menangkapkan ikan untuknya, atau mengisi bak air untuk mandi. Mana mungkin dia meminta anak lelaki kurus kering ini untuk melakukannya. 

Sejak kecil aku sakit-sakitan. Mungkin karena perutku lebih sering diisi angin laut daripada nasi dan lauk-pauk. Perempuan itu menghamburkan kekesalannya kepadaku karena kesulitan kami. 

“Kau bawa sial, Malin!” 

Aku sedang meringkuk di lantai saat Ibu menumpahkan amarahnya. Tenggorokanku terasa perih jika menelan sesuatu, kepalaku pun seperti diikat kain panas, sakit dan rasanya membakar sampai ke dalam. Pandanganku seolah dilumuri pasir pantai, terlebih saat Ibu berdiri sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arahku. 

“Kau anak pembawa sial, Malin!” ulangnya. “Bapak kau hilang di laut jadi aku terpaksa mengurus kau. Sudahlah sakit terus, tak pula bisa membantuku mencari makan!” 

Ibu menyentuh keningku dengan telapak kakinya. “Panas pula badan kau.” Tak ada iba dalam suaranya. “Kalau sudah sehat besok, kau susullah bapak kau ke laut sana. Biar mati kau dimakan hantu laut!” 

Seumur hidup, aku merasa sikap seorang ibu memang seperti itu. Namun ketika melihat temanku, si Rivai, dipeluk oleh ibunya, atau ibu Hayati yang kerap memuji anaknya karena jago berenang dan rajin membantu melaut, aku tahu sikap Ibu kepadaku itu tidak baik. Bukankah seharusnya seorang ibu menyayangi anaknya? Bukan malah terus marah dan memaki. Akan tetapi ada saatnya dia membutuhkanku. Jika di malam hari dia tidak bisa memejamkan mata, dia akan mendatangiku dalam keadaan tak berbusana. 

Aku memutuskan untuk meninggalkan rumah dan Ibu saat berumur 17 tahun. Sejujurnya aku sudah tidak sanggup diperlakukan seperti hewan perahan. Tak ada air mata yang tumpah saat dia melepas kepergianku. Malah Ibu sibuk mengucapkan rasa syukur sembari memasukkan seluruh pakaianku ke dalam kain sarung. 

“Kau bawalah semua baju kau, Malin! Jangan tunjukkan batang hidung kau lagi di depanku! Mudah-mudahan kau mati dimakan hantu laut!” Begitu ucapnya saat mengantarku sampai ke pintu. 

Rumah kami yang terletak di daerah pesisir, memudahkanku untuk menumpang kapal yang hendak berlayar ke pulau seberang. Tidak ada yang cuma-cuma di dunia ini termasuk keberadaanku di kapal. Aku bekerja menyikat kamar mandi, membersihkan semua kamar awak kapal, mengupas bawang, mengangkat barang, bahkan saat kapal sedang bersandar, aku masih harus bekerja keras sedang awak yang lain bersenang-senang di darat. 

Setelah empat bulan berada di kapal, kami bersandar lama di Selat Sunda sebab kapal kami rusak. Saat itulah aku berkenalan dengan Halimah. Dia putri seorang saudagar yang memiliki banyak kapal pengangkut barang. Dia yang pertama kali mengajakku berbicara, kemudian membawaku berjalan-jalan, dan mengenalkanku pada ayahnya. Sejak dekat dengan Halimah, aku berhenti menjadi awak di kapal sebelumnya dan bekerja di kapal ayah Halimah. Tidak, jangan kalian sangka aku langsung menduduki posisi tinggi. Aku berjuang dari bawah. Mulai dari menyikat kamar mandi sampai akhirnya bisa berdiri di balik kemudi. Tentu saja perjalanan yang cukup mudah itu tak lepas dari dukungan Halimah. Dia merengek-rengek kepada ayahnya agar aku tidak lagi mengupas bawang di dapur. Seiring berjalannya waktu, aku mengumpulkan sesen demi sesen uang hasil kerja kerasku, hingga di umur 27 tahun, aku bisa menikahi Halimah. 

Aku sudah lupa bagaimana rasanya kelaparan. Kini Malin yang dulu diusir ibunya dari kampung telah berubah menjadi saudagar kaya raya. Di perairan, tak ada satu orang pun yang tak mengenal Malin Kundang. 

Halimah, perempuan bertubuh tambun dengan kulit cokelat dan rambut tipis yang selalu ditutupi selendang hitam itu, membantuku mengembangkan usaha. Dia gigih mencari orang-orang kaya yang membutuhkan kapal untuk mengangkut barang. Bayarannya tentu saja tidak murah. Halimah sangat pandai bernegosiasi. Tanpa keberadaannya mungkin aku tak akan berhasil seperti ini. 

Kala itu, ketika musim panas yang terjadi di pertengahan Ramadan, Halimah membawa kabar ada seorang saudagar Minang yang hendak pulang ke kampung halaman di daerah pesisir Sumatra Barat. Dia akan membawa seluruh anggota keluarganya dan menyewa sebuah kapal besar milik kami.  Aku berpikir cukup lama sebelum mengiakan pekerjaan itu. Aku tak ingin menginjakkan kaki lagi di kampung halaman, tetapi tentu Halimah akan heran jika aku menolak pekerjaan itu. Lagi pula, pasti tidak ada seorang pun yang akan mengenaliku. Dan yang paling penting, semoga saja Ibu sudah mati. 

Kami menghabiskan waktu berhari-hari di kapal. Halimah tampak akrab sekali dengan keluarga kaya itu, sedangkan aku tak pernah beramah-tamah dengan mereka. Sesekali saja saat kapal sedang bersandar. Selebihnya aku menghabiskan banyak waktu di balik kemudi. 

Seminggu kemudian kami mendarat di daerah pesisir. Awalnya aku tak berniat singgah. Untuk apa? Lebih baik langsung berlayar. Namun ketika aku teringat Bapak, muncul keinginan berziarah ke kuburannya, atau cukup melihat makamnya dari kejauhan. Jadi aku menyetujui usulan Halimah untuk menginap semalam di rumah Saudagar Minang itu. 

Tak banyak yang berubah dari tempat ini. Rumah Hayati masih sama, hanya pohon kelapa di depan rumahnya kini lebih tinggi. Rumah Rivai tak tampak lagi. Mungkin mereka sudah pindah dan rumah itu hancur terkena air laut. Rumahku …. 

“Hai, itu Tuan Kadi, kan?” Teriakan dari bibir pantai memecah lamunanku. 

Sekelompok pria berlari menghampiri kami kemudian menciumi tangan Saudagar itu dengan takzim. Tak lupa menanyakan kabar keluarga masing-masing. Lalu seorang lelaki berkulit gelap dengan separuh rambut yang sudah memutih, menatapku lama. 

“Kau Malin, kan?” 

“Malin?” Serempak mereka berteriak. “Anak Mak Tun?” 

Aku menggelengkan kepala. Tak boleh ada yang tahu asal-usulku! Terlebih Halimah. Dia hanya tahu aku yatim piatu dari yang berasal dari pulau jauh. 

“Coba panggil Mak Tun! Dia pasti mengenali anaknya.” 

“Aku tidak kenal Mak Tun!” Aku berusaha menghalangi salah satu dari lelaki itu yang sedang berlari menuju rumah Bapak. 

“Mungkin hanya mirip.” Halimah berbisik. 

“Astaga, aku baru sadar! Kau Malin Kundang?” Mata si Saudagar terbelalak. “Kau anak yang tega meninggalkan ibunya dua puluh tahun lalu, kan?” 

“Bang? Namanya pun sama?” Halimah menyenggol bahuku. 

“Setiap hari ibu kau menunggu di pinggir pantai, dia takut kau mati seperti bapak kau.” Suara lain serupa dengungan di telingaku. Mereka menyuarakan hal serupa mengenai Ibu yang terus menunggu Malin pulang hingga tua. 

Sejenak aku seperti kembali ke masa lalu. Ketika Ibu mengusirku dari rumah, ketika Ibu menyisakan tulang ikan untuk aku makan, ketika Ibu menginjak tanganku yang hendak menjangkau nasi, ketika Ibu memaksaku melaut saat aku sedang sakit keras, atau ketika Ibu berdiri di hadapanku dalam keadaan telanjang malam-malam. Aku seperti budak dan tak pernah bisa membantah apa pun perintahnya. 

“Malin! Malin anakku.” Perempuan bertubuh kurus dengan ikat kepala menyerupai tanduk kerbau menutupi rambutnya muncul dari kejauhan. Dia berjalan lemah ke arahku. 

Mendadak rasa mual menyerang kala mengingat semua hal yang pernah dia lakukan. Adegan serupa film bergerak di kepalaku mengiringi langkahnya yang semakin mendekatiku. 

“Malin, siang malam Ibu menunggu kau pulang, Nak.”

Dia bergerak seperti hendak memelukku, tetapi aku mundur selangkah agar tak terjangkau olehnya. 

“Kau siapa? Aku tidak kenal kau!” Aku berkata keras. 

Rasanya sungguh malu karena perempuan itu, yang sudah membuat masa kecilku menderita, mengaku sebagai ibuku di depan Halimah. 

“Hai, Malin, dia ibu kau!” Sorakan penuh amarah terdengar. 

Tidak, tidak! Sampai mati pun aku tidak akan mau mengakuinya sebagai Ibu. Dia memang bukan ibuku. Mana ada seorang ibu yang memperlakukan anaknya seperti binatang. 

“Bukan! Bapak ibuku sudah mati!” ucapku tegas. 

“Malin!” Perempuan itu terduduk di tanah, bertepatan dengan gemuruh memenuhi langit yang sudah menghitam. “Aku menunggu kau, Nak, menunggu kau pulang menemuiku. Aku tak perlu harta kekayaanmu, bawalah semuanya pergi. Aku hanya rindu kau, Malin!” 

Cuih. Sederas apa pun tangisnya, aku tak sudi mengakuinya sebagai ibu. Sejak Bapak mati, sosok ibu pun sudah mati dalam hidupku. 

“Malin!” 

Dia berusaha menjangkau kakiku. 

“Aku bukan anakmu!” Aku mulai berteriak sembari menyepak tangan keriput yang dulu selalu menyakitiku. 

Perempuan itu menangis terisak, lalu berkata, “Ya Allah, tolong tunjukkan kebenaran.” Dia menadahkan tangan ke atas langit, di bawah curah hujan yang membasahi tubuh kami semua. “Jika benar Malin anakku, tunjukkanlah kebenaran, ya, Allah.” 

Petir bersahut-sahutan menimpa tanah yang aku pijak. Titik hujan menderas serupa jarum menimpa tubuhku. Mendadak aku tak bisa bergerak. Kakiku kaku, menyusul paha, pinggang, perut, dada, hingga kepala. Sempat kulihat mulut Halimah menganga saat memandang ke arahku. Lalu tangisan pilu wanita itu terdengar memekak seolah menembus langit ketujuh. 

*

Seorang bocah laki-laki berjaket kuning dengan topi bermotif binatang yang berwarna sama dengan jaketnya berlari sembari menggandeng tangan pria yang berjalan tenang di sisinya. Mereka berhenti di pagar pembatas jembatan. Anak itu menunjuk ke arahku, “Lihat Ayah! Itu dia!” 

“Iya. Itu dia anak durhaka, si Malin Kundang. Kalau kamu membantah ucapan Ibu, kamu akan jadi batu, seperti dia.” 

Anak itu mengangguk dan kembali menatap antusias ke arahku.***

Padang, 25 Maret 2023

Rinanda Tesniana, ambivert yang suka menulis dan membaca.

 

Komentar juri:

Awalnya saya berharap penulis menyajikan ujung cerita yang belum pernah diketahui pembaca ketika menjejaki “rute berbeda” yang dipilih penulis, tetapi tidak, Malin tetaplah dikisahkan sebagai anak durhaka yang dikutuk ibunya. Mungkin penulis sengaja ingin menciptakan pertanyaan di benak pembaca: kisah versi siapakah yang lebih bisa dipercaya? Dan, bagaimana cerita ini mampu mengusik pikiran pembaca terhadap pengetahuan yang sudah umum adalah sebuah keberhasilan cerita. Ia menawarkan alternatif, kemungkinan, dan tafsir bebas. Ada motif janggal ketika tokoh utama mengatakan ingin berziarah ke makam bapaknya, tetapi yang kita tahu di dalam cerita, bapaknya hilang ditelan laut. Mestinya penulis bisa lebih teliti.

—Berry Budiman

Leave a Reply