Malika dan Kenangan-Kenangan di Kepalaku
Oleh: Vianda Alshafaq
Kau ingat, ketika ulang tahunmu yang ke-20 tahun, kita berdiam diri di sebuah ladang kentang yang bunga-bunganya sedang mekar. Ladang itu terlihat seperti taman bunga, bunga-bunganya berwarna putih, kecil-kecil tetapi terlihat sangat cantik. Hari itu aku bilang padamu, bahwa cinta kita akan seperti bunga-bunga itu. Bermekaran hingga ribuan.
Hari itu kita benar-benar seperti orang yang tidak punya pekerjaan atau aktivitas untuk dilakukan. Padahal, kita punya tugas kuliah yang sudah menumpuk seperti gunung. Ada juga tugas lain yang semestinya kita selesaikan, sebenarnya. Namun, kita memilih untuk berdiam diri di sana, menikmati angin sepoi-sepoi yang menerbangkan rambutmu. Walau begitu, Malika, aku tidak menyesal meski kita menghabiskan waktu di sana dan melupakan tugas-tugas itu. Aku bahagia, bisa bersamamu dalam waktu yang panjang.
Aku tidak mengerti mengapa kita harus hidup seperti ini. Memadu kasih diam-diam. Menghabiskan waktu di tempat-tempat yang tak romantis sama sekali. Kadang-kadang, aku ingin membawamu ke taman, tempat di mana kita bisa membeli es krim rasa vanila yang sangat kau gemari. Atau, aku ingin mengajakmu ke alun-alun kota. Mungkin di sana kita bisa bercengkerama, menghabiskan waktu dengan saling menggenggam jemari, atau sekadar saling menatap hingga malam menjelang dan menelan semesta.
Malika, aku sangat ingin mengajakmu melihat dunia bersama-sama. Memadu cinta tanpa batas yang kita buat agar orang-orang tidak menyadari bahwa kita saling mencintai.
“Kita tidak sama seperti mereka. Kau pun tahu itu.” Itu kalimatmu ketika aku mengatakan bahwa aku ingin membawamu ke alun-alun kota di hari ulang tahunmu itu.
Sejujurnya, ketika mendengarmu mengucapkan hal itu dengan sendu, aku ingin memelukmu, Malika. Tapi, aku tidak bisa. Aku hanya bisa menikmati rasa perih yang menjalar di dalam hatiku. Mencabik-cabiknya secara perlahan-lahan. Dan, aku tidak mengerti bagaimana caranya agar kita benar-benar bisa saling memadu kasih tanpa bersembunyi seperti saat itu.
“Jika kita benar-benar tidak ditakdirkan bersama, bagaimana?”
Pertanyaan yang kau ajukan itu seperti pedang yang menyayat hatiku. Lidahku menjadi kelu seketika, tidak ada satu pun kalimat–bahkan kata-yang bisa kuucapkan untuk menjawab pertanyaanmu. Tetapi, Malika, jika hal itu benar-benar terjadi, akankah kau bahagia?
Ah, entahlah!
***
Sudah lima tahun, Malika, tapi aku dan kau masih seperti itu. Saling mencintai. Menumpuk rindu setiap hari hingga ia benar-benar menggunung di dalam hati. Aku sudah tidak peduli benar atau salah. Tetapi, perasaanku benar-benar tak bisa berubah.
Satu tahun lalu kau menemuiku di kafe dekat tempatku bekerja. Kafe dengan lampu-lampu kecil yang berkelap-kelip dan bunga-bunga yang ditata sedemikian rupa hingga membuat tempat ini terasa sangat cocok bagi sepasang kekasih. Kupikir, kau menemuiku untuk menyelesaikan rindu yang sudah kita pendam beberapa tahun belakangan setelah memutuskan hubungan yang kita sembunyikan. Tapi, harapanku itu sia-sia. Kau datang bukan untuk menyiram kembali benih-benih cinta yang sudah layu di hatiku. Hari itu, kau datang dengan sebuah undangan merah jambu yang kau sodorkan ke arahku di atas meja. Tidak, kau tidak memberikan sebuah undangan, melainkan sebuah racun paling mematikan untuk hatiku yang memang sudah hampir mati rasa.
“Pernikahanku akan dilaksanakan tiga hari lagi. Aku harap kau datang dan mendoakan kami.”
Malika, kau ….
Ah, aku bahkan tidak tahu harus mengucapkan apa setelah mendengar berita paling menyedihkan itu.
Tanpa berlama-lama menatap undangan yang terletak begitu saja di atas meja, aku memilih berdiri dan meninggalkanmu dengan air mata yang jelas menumpuk di matamu. Kenapa kau menangis? Tidakkah seharusnya kau berbahagia karena kau akan menikah dalam waktu dekat? Begitu pikirku waktu itu.
Belum juga lima langkah aku berjalan, tiba-tiba kau memegang tanganku–untuk pertama kalinya sejak kita saling mengenal. Aku berhenti, membalikkan badan dan melihatmu dengan mata yang sudah basah, di pipimu sudah tercetak bekas aliran air mata.
“Aku masih mencintaimu,” ujarmu pelan sembari menunduk dan masih menangis.
“Kau akan menikah, Malika.”
Kau tidak menjawab. Kau hanya menangis. Sesekali isakan keluar dari mulutmu. Sungguh, aku tak sanggup melihatmu menangis. Haruskah aku memelukmu? Tapi, bukankah kau tidak mengizinkan aku memelukmu, Malika?
“Tidak bisakah kau yang menikahiku, Lan?” Pertanyaanmu itu membuatku mengernyit. Bagaimana mungkin aku bisa menikahimu? Kalau pun aku bersikeras, bukankah keluargamu akan tetap menolakku?
“Aku tidak mungkin melakukannya, Malika. Bagaimana aku bisa menikahimu sementara kita–“
“Kau hanya perlu mengucapkan dua kalimat!” potongmu.
Aku tidak menyangka kau akan mengucapkan kalimat itu. Kau benar, Malika, aku hanya perlu mengucapkan dua kalimat keramat itu dan setelahnya aku bisa menikahimu. Tetapi, aku tidak bisa–lebih tepatnya tidak ingin-melakukannya.
“Aku tidak bisa melakukannya. Sudahlah. Kita memang tidak ditakdirkan bersama. Aku akan segera menyusulmu. Semoga kau bahagia dalam pernikahan itu,” ujarku, setelahnya kembali berjalan meninggalkanmu yang masih terisak.
Tiga hari setelah itu, seperti permintaanmu, aku mendatangi acara pernikahan itu. Untuk pertama kalinya, aku memasuki masjid dan menyaksikan laki-laki pilihan ayahmu mengucapkan janji pernikahan sesuai aturan agamamu. Sekali lagi, Malika, aku masih merasakan perih yang teramat menyakitkan di dalam hatiku.
***
Hari ini, kita bertemu di kafe dekat kantormu. Kau terlihat sangat cantik, seperti biasanya. Di mejamu sudah ada segelas minuman berwarna cokelat yang hanya tersisa separuh. Ah, apa kau sudah sampai sejak tadi?
“Apa aku sangat terlambat?”’’ tanyaku setelah sampai di kafe itu.
“Tidak juga, hanya lima belas menit.”
Sudah satu tahun saja sejak kita memilih bermain api di balik pernikahan masing-masing. Entah kenapa, sekali pun kita sudah menikah, kau dan aku masih saling mencintaimu. Masih saling merindu dan membiarkannya meluap-luap di dalam hati. Lalu, sekali seminggu atau paling sering tiga kali seminggu, kita akan bertemu. Menghabisi rindu yang sudah menggerogoti hati.
Baru saja aku duduk di kursi di depanmu, ponsel-ku tiba-tiba berbunyi. Di layarnya tertulis “Cristyn”.
“Bisakah kau pulang lebih cepat hari ini? Aku ingin kita makan malam bersama. Mama juga akan ke sini nanti,” ucapnya.
“Aku akan pulang terlambat. Ada kerjaan yang benar-benar harus aku selesaikan,” jawabku, sementara tangan kiriku menggenggam erat jemarimu.
Perempuan yang kunikahi dua bulan setelah pernikahanmu itu hanya menghela napas. Kemudian mematikan teleponnya tanpa mengucapkan salam perpisahan. [*]
September, 2020
Vianda Alshafaq, seseorang yang bukan siapa-siapa.
Editor : Uzwah Anna
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata