Maldono vs Saya
Oleh: Rosna
Saya sungguh terpukau dengan berita koran yang baru saya baca itu. Bayangkan, Maldono–teman sekolah saya– telah masuk surat kabar. Tak tanggung-tanggung, dia dipanggil ke balai kota dan diangkat menjadi pegawai kebersihan kota. Sungguh luar biasa. Saya membaca ulang berita itu lalu mencoba menyelusuri wajahnya di foto yang tercetak di koran itu.
Saya mencari sosok berkulit hitam dengan hidung lebar, tetapi tak ketemu. Ada banyak orang yang berjejer di atas panggung dengan pakaian yang sama, rompi hijau dan topi merah. Semua tampak sama. Hanya tiga laki-laki berpakaian cokelat yang berdiri saja yang berbeda.
Saya menghela napas lalu mengulang kembali mencari wajah teman saya itu. Namun, tak ketemu juga. Ada seorang laki-laki berkulit hitam yang saya duga itu adalah Maldono, tetapi bentuk tubuhnya tidak seperti Maldono. Lelaki itu badannya lebih besar dan senyumnya manis. Sementara Maldono, selama saya kenal, dia tak pernah menampakkan senyum yang sebegitu tulusnya.
Saya mengucek mata lalu bertanya apa yang membuat Maldono menjadi seberuntung itu? Padahal, Maldono tak lebih hebat dari pada saya ketika sekolah dulu. Dia bahkan tak hapal perkalian di kelas enam.
Saya berpindah duduk ke kursi penumpang becak, rasanya punggung saya pegal saat membaca beberapa menit tanpa bersandar. Saya melihat kembali koran itu dan baru tersadar ini koran bukan punya saya. Ia ditinggalkan oleh Yu Ningsih, pelanggan becak saya yang setia.
Mungkin Yu Ningsih tahu kalau ada berita Maldono di sini dan dia ingin memberitahukan saya tetapi dia segan. Yu Ningsih bisa jadi takut saya tersindir lalu saya malu kemudian saya tak mau lagi mengantarkannya ke pasar dan menunggu dia selesai belanja.
Ah, bisa jadi tapi dari mana Yu Ningsih tahu kalau Maldono itu teman saya? Ah, kok, saya malah jadi bingung.
Saya mengipas-ngipaskan koran itu ke wajah lalu mulai berpikir. Mungkin Maldono sekarang lagi enak-enakkan istirahat di ruang makan kantor dengan makanan yang banyak. Setelah seharian tadi dia hanya menyapu balai kota lalu mengepel tentu ini saatnya istirahat. Dengan kipas angin yang besar tentu Maldono beristirahat dengan nyaman.
Sementara saya hanya bisa beristirahat di bawah pohon ini setiap hari. Pohon ketapang yang daunnya sudah pada rontok. Kalau hujan ya kena tempias. Kalau panas, ya, keringatan. Juga kadang saya tak bawa bekal makan siang. Lain waktu bawa bekal tapi tak ada lauknya. Ah, Maldono sungguh enak hidupmu kini
Selain itu, Maldono tentu tak perlu memikirkan uang bulanan. Setiap bulan dia sudah menerima gaji. Sambil mengipas-ngipaskan uangnya dia bisa berbelanja di supermarket yang berpendingin itu.
Angin siang berembus lembut membuat mata saya ingin sekali tertutup. Saya berulangkali menguap, rasanya mulut saya juga sudah bosan menganga. Namun, pikiran saya tak mau tertidur. Ia selalu meloncat-loncat, memikirkan kemalangan yang saya lalui dan kesenangan yang didapat oleh Maldono.
Saya masih saja memikirkan Maldono sambil berharap ada penumpang baru yang membutuhkan jasa saya. Saya rela disuruh ke mana saja asal bayarannya sesuai.
Seharian ini saya baru dapat dua penumpang dan itu belum cukup untuk membayar banyak tagihan bulan ini. Saya tengah menghitung kira-kira saya butuh tujuh orang lagi yang menggunakan becak saya maka saya bisa makan dengan lauk malam ini dan bisa menyicil utang.
Tanpa sadar saya tertidur, angin itu benar-benar berniat meninabobokan saya. Mungkin ia sudah bosan mendengar saya mengeluh atau mungkin saya memang sudah mengantuk. Saat saya tidur, saya yakin saya tak memimpikan Maldono atau apapun mengenai dia. Namun, tiba-tiba saja saya tersentak ketika sebuah suara membangunkan tidur saya. Dan, itu adalah Maldono.
“Ini mau niat kerja atau tidak?”
Koran di atas kepala saya terjatuh lalu saya terduduk. Saya mengucek-ngucek mata dan terkejut melihat ternyata Maldono yang membangunkan saya itu.
“Kerja yang benar, dong, pantas saja tak pernah kaya. Tidur saja kerjanya.” Maldono langsung duduk di bangku penumpang membiarkan saya yang masih kebingungan.
“Ayo, antar saya ke balai kota.”
Saya tertegun tetapi cukup sadar untuk berpindah ke bangku sepeda.
“Jangan pandang saya seperti itu, Ton. Saya mau menjemput si Yun. Katanya dia ada acara sekolah di sana. Becak saya lagi rusak.” Maldono melepas topinya lalu mengipas-ngipaskannya ke wajah.
“Jadi yang di koran itu, siapa Don?” tanya saya bingung.
Maldono mengernyitkan dahinya lalu menjawab, “Sudah. Jangan pernah percaya apa yang tertulis di koran selain tanggal dan berita kematian. Ayo, cepatan, nanti anak wedokku, ngambek.”
Saya menarik napas panjang lalu memandang Maldono dengan senyum. Untuk kali ini saya senang karena telah salah menduga.
Dumai, 19 Oktober 2023
Rosna adalah perempuan yang menyukai keramaian.
Editor: Imas Hanifah N