Pertama kali dia datang dengan napas tersengal disertai pias wajah ketakutan. Pintu rumah yang tercoreng huruf “x” berwarna merah diketuknya tanpa henti. Harapan dibayangkannya berada di balik pintu, bahwa dia bisa selamat dari tuduhan palsu, atau bisa mengadu untuk diadili. Tanpa ada kata, buka pintu, dia tetap menggedor. Baginya, suara hanya akan membuat dirinya ketahuan.
Di ketukan pintu yang ke sekian, tangannya menggapai angin. Pintu lebih dulu terbuka, lalu sebuah tangan menyeretnya dengan cepat. Tubuh yang jenjang tinggi itu tersentak hampir terjatuh. Segera gelap ruangan pengap menelannya. Dia mencoba membuka mata selebar mungkin, mencari celah cahaya yang sekiranya bisa mengetahui benar tidaknya orang yang diharapkan ada di balik pintu. Tapi sebuah tangan terus menyeret, kemudian menuju ruang yang perlahan temaram dengan sebatang lilin di pojokan kamar.
“Apa yang kau lakukan, Tuing? Tuingga? Kau berdarah,” ucap perempuan yang menarik Tuingga di depan pintu. Perempuan itu bernama Jugla.
Jugla melihat bercak darah di sebelah kanan wajah Tuing. Orang yang ditanyai Jugla belum juga bisa menjawab. Dia terlalu ketakutan. Demi mengetahui bahwa Tuing ketakutan, Jugla segera pergi mengambil air dan lap. Sejenak memberikan Tuing kesempatan untuk menenangkan diri.
Dia, Tuingga, yang lebih senang dipanggil Tuing karena lebih mudah dan lucu menurutnya, baru saja mengalami hal rumit. Sayangnya, dia masih takut mengungkapkan hal rumit itu, malah yang sering muncul di kepalanya adalah bayangan tentang wajah ibu dan ayahnya, kemudian kalimat yang terucap dari mulut sang ibu, bahwa dia harus berbeda, harus tak takut melihat sesuatu yang terjadi di hadapannya seperti kejadian saat itu. Namun Tuing tak bisa melakukan sesuatu yang seperti ibunya katakan. Tangan, tubuh, dan mulutnya terlalu menggigil.
Jugla datang tanpa sepengetahuan Tuing langsung membersihkan darah yang terlihat samar-samar itu. Perempuan yang tak memiliki hubungan apa-apa dengan Tuing itu melakukan sebisanya. Walau bukan saudara, mereka sudah bersepakat untuk menjadi saudara sesama nasib. Jugla dapat lepas dari tuduhan sehari sebelum mereka menjadi saudara, lalu di malam harinya, Jugla mendapati bisikan tentang Tuing yang akan menjadi sasaran. Pada saat itulah Jugla mengakrabi Tuing. Perempuan itu sudah beberapa kali dalam sehari mengatakan agar Tuing hati-hati, waspada, dan kalau bisa tinggallah bersamanya. Tapi Tuing menolak, karena dia masih ingin bersama keluarganya. Sekarang tidak lagi, keluarganya lebih dulu mendapat simbah dari kekeraskepalaannya untuk tidak tinggal bersama Jugla.
“Jelaskan apa yang terjadi, Tuing. Tidak terjadi hal buruk pada keluargamu, bukan?”
Tuingga menggeleng. Dia ingin menangis. Kemudian merengkuh tangan Jugla yang sedang membersihkan pipinya. Tubuh Tuingga berguncang. Tanpa suara mulutnya ingin bergumam.
“Katakan yang ingin kau ucapkan, Tuing. Tak ada yang mengejarmu. Rumah ini lebih dari aman untuk bersembunyi.”
Tuing mengerang. Usaha untuk mengucapkan sesuatu ditekannya. Mulutnya mulai mengeluarkan liur. Tiba-tiba dia merasa dirinya telah bisu.
“Atau kau jelaskan besok pagi setelah badanmu lebih ringan. Sekarang aku harus mengobati lukamu.”
Untuk yang ke sekian kalinya Tuing menggeleng. Dia mengucek-ngucekkan mata, lalu hidungnya pada tangan Jugla. Perempuan itu belum juga mendapat kepastian tentang sesuatu yang menimpa saudaranya.
“Aku ingin tidur. Aku tak ingin bangun lagi,” lirih, pada akhirnya kata itu yang keluar dari mulut Tuingga.
Kata yang terucap itu terdengar samar, lebih tepatnya menyayat hati dan telinga. Kalimat yang terucap dengan nada rendah pasrah, seperti suara yang diucapkan orang yang akan tenggelam di hamparan laut. Kalimat itu tidak disertai tangis, tapi menggetarkan hati Jugla.
“Ajarkan aku kalimat. Aku ingin menjawab semua pertanyaan saat tidur nanti. Ajarkan aku. Aku akan menghafalnya, Mbak. Aku akan mengingatnya. Ajarkan aku sekarang, ajarkan aku sekarang.”
Jugla bingung mendengar kalimat Tuingga. Mengajarkan kalimat apa? Dia mencoba memapah Tuingga agar beristirahat terlebih dahulu. Tapi tubuh yang akan diangkatnya itu memberat, mengatakan kalimat yang sama berulang-ulang.
“Ajarkan aku kata yang akan disampaikan ke malaikat nanti. Biarkan aku menghafalnya sekarang. Biar, agar aku siap saat mereka datang kapan saja. Ajarkan aku kalimat jawaban dari pertanyaan malaikat itu.”
Perempuan yang mendengar kalimat tersebut terpaku. Dia berhenti untuk mencoba memapah Tuingga. Kemudian tubuhnya terduduk, sama tinggi dengan kepala Tuingga. Bibirnya menyentuh rambut Tuing. Dalam hati, Jugla berbisik, gadis ini terlalu rapuh untuk mengerti, Tuhan. Mengapa ujian yang kau berikan tidak disertai contekan bagi makhlukmu yang rapuh? Jugla tidak menangis, tapi matanya tak mau tertutup. Sementara itu, Tuing tetap mengucapkan kalimat yang hampir sama berulang-ulang, disertai guncangan naik turun dari pundak dan punggungnya.
Mata lebar dari perempuan yang tak tahu harus berkata apa pada Tuing menatap kosong kegelapan. Dinding dari ruangan yang bergaris kasar tak dapat dirabanya. Dia ingin menjelaskan sama halnya dengan sesuatu yang dia lihat. Dia ingin berkata, “Lihatlah, Tuing. Kalimat yang kau katakan berulang-ulang itu seperti dinding yang sudah tergurat kasar, tak peduli tanpa cahaya, dinding itu akan tetap tergurat walau tak terlihat oleh mata.” Tapi gadis itu tidak mendengar apa-apa.
Tuing sudah waspada sebelum dirinya harus merasakan penyesalan. Kata-kata dari Jugla dia hafal betul, bahwa dia harus hati-hati kalau tidak mau tinggal untuk bersembunyi di rumah perempuan itu, dia harus hati-hati dari laki-laki yang datang mengetuk pintu, atau seseorang berseragam yang berjalan di halaman rumahnya. Karena dari semua laki-laki yang ada sudah mendapat kesempatan untuk melampiskan kegagalan mereka pada keberhasilan. Cukup dengan mengatakan Tuingga anak dari seorang yang berorganisasi merah, maka segala hal bisa semena-mena menggerayanginya. Tuing tahu itu, tapi dia tidak mau meninggalkan orang tuanya. Dia mencoba mengingatkan mereka, bahwa keadaan tak lagi sama, mereka terancam oleh kata-kata. Namun bagaimanalah orang tua Tuingga, mereka berpendirian tidak akan pergi dari rumah aman mereka hanya karena tuduhan. Mereka terlalu menjadikan kebenaran sebagai tombak yang bisa menusuk kesalahan. Lalu yang terjadi, Tuing harus melihat sendiri bagaimana kedua orang tuanya dipermainkan, disayat sana-sini seperti hewan buruan. Sepasang mata Tuing hanya dapat menatap dengan kabut di balik tirai kelambu meja. Dirinya selamat berkat kebohongan ibunya yang mengatakan kalau anak mereka sudah lebih dulu mencapai langit kebenaran. Pemburu tidak akan bisa mengejar.
Pilihan terakhir, dari rasa yang masih baru perihal sayat kehilangan, Tuing memilih bungkam dengan mengadukannya pada Tuhan secara langsung. Tapi sejauh yang dia tahu, dia harus melewati pintu pertanyaan dari malaikat agar dapat mengadu pada Tuhan.
“Ajarkan aku kalimat itu. Aku janji akan menghafalnya,” kalimat yang semakin mendayu dan serak di telinga terus berulang-ulang dikatakan. Seperti berbisik pada gelapnya malam, hai Malam, segeralah turunkan hujan beserta petir dan gunturnya untuk memorak-porandakan kehidupan ini. Tapi langit malam tak mau menjawab.
Tuing tidak menangis tapi dia berguncang.
Jugla tidak menangis terharu tapi matanya tak mau menutup.
Paras dan getar bibir dari keduanya tak terlihat dalam gelap. Lilin terus menjilat-jilat udara, seperti menghitung berapa lama keduanya terjebak dalam keadaan yang sama. Di kejauhan, seperti lolong anjing, atau mungkin saudaranya serigala, sedang mengaung panjang disertai senggakan pilu menghalau angin. Di bagian tempat yang lain, beberapa lelaki dengan laras panjang di tangannya menyisir jalanan, membuka pintu-pintu yang baru, mencipta teriakan sekejap sunyi, lalu tertawa-tawa memperlihatkan mata jail mereka pada pekatnya malam. Mereka seperti ninja? Bukan ninja. Melainkan jurus-jurus dari seribu kesempatan untuk dipergunakan sebagai balas dendam. Pengangguran, merasa tak diakui, tentang penolakan, dan rasa yang tertahan dari nafsu dan birahi, membuat mereka berbondong-bondong tuduh sana-sini.
Tubuh segar dan tak tersentuh Tuing menjadi sasaran. Sama dengan Jugla beberapa hari lalu, sebelum kesegaran dan kulit tak terjamah itu digeramangi tangan-tangan kotor, juga sebelum Jugla berhasil menikam kemaluan makhluk gelap itu dengan kuku tajamnya, menarik daging yang lebih beberapa sentimeter itu dengan kuat. Dia dapat kabur melewati celah pintu rumah tak berpenghuni setelah membuat lima makhluk gelap yang menggerayanginya kesakitan. Entah dengan apa dia bisa membuat mereka tumpang-tindih serentak, tapi tangannya berlumuran darah.
“Aku harus mengobati luka di wajahmu dulu, Tuing,” kalimat itu membuat mata Jugla berkedip, kalimat yang terucap begitu saja karena melihat remang-remang warna merah di belahan wajah Tuingga.
Tuing menggeleng keras. Itu bukan luka. Darah itu menempel di bagian wajahnya setelah penyerang itu pergi seraya tertawa-tawa melangkahi pintu. Tuing merangkak dan memastikan bahwa ibunya masih bernapas dengan menempelkan telinganya ke bagian dada, dada yang penuh darah. Kemudian ke bagian tubuh ayahnya. Tuingga berlari secepat mungkin setelah tahu keduanya tak bernapas lagi. Dia ingin pergi dari kesedihan, tapi kesedihan begitu cepat mengejar bagai petir. Darah di bagian wajahnya bukan dari luka diri. Tuingga terus menggeleng, seraya berkata, ajarkan, ajarkan.
Sela beberapa detik dari kalimat Tuingga, terdengar salak anjing di telinga Jugla, kemudian derap kaki mendekati pintu, disertai suara-suara kecil tentang komando. Sepasang mata Jugla yang hanya mendapati kegelapan dan temaram segera berpaling ke arah pintu. Terdengar derit pintu di bagian lain.[]
Jakarta, 6 Januari 2018
Penulis adalah bagian dari santri Annuqayah, yang menjejakkan kaki dan tangisnya pertama kali di Sampang pada era reformasi. Kunjungi beberapa ceritanya di www.riilfiksi.ga atau surel dengan alamat alimukoddas@gmail.com
Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu ke-4 Februari.
Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:
Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan