Malam untuk Kembali
Oleh : Sekar Rahayu
“Lung, kenapa hujan selalu diidentikkan dengan kenangan?”
Usai bertanya demikian, Yesa menoleh. Gadis berparas cantik itu menatap sosok pemuda di sebelah yang menemaninya menikmati malam. Saat itu, angin tak berembus kencang seperti biasa. Jalanan di bawah pun sepi dari aktivitas sehingga hanya lampu-lampu rumah di sekitar yang bisa dilihatnya.
“Kenapa menanyakan hujan saat cuaca cerah?” Si pemuda balik bertanya, lalu ia sedikit mendongak. “Lihat, bintang bertaburan. Bulan bercahaya terang. Ini malam yang sempurna.”
Yesa mengedikkan bahu. Ia masih menatap si pemuda yang kini mengangkat sebelah kaki berbalut jin biru belel pada balkon, diikuti satu tangan untuk bertumpu pada lutut.
“Aku hanya penasaran,” jawabnya.
“Karena Andreas?” tebak si pemuda. Ia kemudian mengamat-amati sepasang tangannya. “Ah, sepertinya aku belum bisa melakukannya dengan baik. Dia masih bisa menyimpan ingatannya. Apa ini karena aku adalah pemula?”
Yesa tersenyum. Ia menunduk untuk mengamati lantai granit di bawah sana. Kaki telanjangnya diayun-ayunkan, silih berganti.
“Yah, enggak masalah sebenarnya. Toh, keinginanku sudah tercapai. Aku sudah puas.”
“Sungguh?”
Yesa menoleh. Ia menatap tepat pada iris violet si pemuda kemudian mengangguk mantap.
“Sungguh.”
“Bagaimana dengan Andreas?”
“Aku enggak mau memaksa. Itu sudah cukup. Aku sudah selesai dengan pintaku.”
Butuh sekian menit bagi si pemuda untuk meyakinkan diri atas pernyataan Yesa. Setelahnya, ia mendesah lega. Pemuda itu pun berdiri kemudian merapikan jaket kulit yang dikenakan. Lalu, kedua tangannya direntangkan.
“Marvelous! Aku akan segera kembali!” serunya.
“Kau senang jika pulang?” tanya Yesa.
“Tentu saja. Kau tidak?” Si pemuda tertawa. Akan tetapi, tawanya itu perlahan memudar hingga hilang sama sekali saat melihat Yesa memandangnya datar. “Jangan bilang kau mau lagi.”
Gelengan diberikan Yesa sebagai jawaban. “Aku sudah bilang, semua keinginanku sudah terpenuhi.”
“Lalu?” Si pemuda kembali duduk di atas balkon. Ringan saja ia melakukan itu. “Kau sedih berpisah denganku?”
Si pemuda tergelak usai mengatakan hal tersebut. Sementara itu, Yesa ikut tertawa, tawa yang getir.
“Itu sudah tahu,” ujar si gadis, lirih.
Sesaat kemudian, mereka terdiam. Yesa menatap langit malam, pun si pemuda.
“Aku sebenarnya tidak paham bagaimana manusia bisa dengan mudah untuk menyukai sesuatu yang awalnya dibenci.”
Yesa hanya bergumam pendek demi menanggapi ucapan lawan bicaranya. Hati gadis itu berdesir-desir seperti pasir terkena sapuan ombak. Sesungguhnya, ia tak fokus pada indahnya angkasa malam itu. Pikirannya sedang meyakinkan sesuatu.
“Marilah.”
Yesa tak segera menyambut uluran tangan si pemuda. Ia tak paham apa maksudnya. Melihat itu, si pemuda tersenyum. Ia kemudian bangkit kembali. Kakinya mantap melangkah di udara seolah-olah menjejak lantai. Sekilas cahaya keemasan menyelimuti tubuh pemuda itu sebelum berada di hadapan Yesa. Dengan sedikit membungkuk, ia mengulurkan tangan kanannya.
“Karena ini kewajiban dan aku hanya bisa menari, maka marilah, Your Majesty,” ucap si pemuda dengan gelagat layaknya menyambut putri raja.
Yesa tersenyum ala kadarnya. Gadis itu kemudian menggeleng. “Lupain aja. Aku enggak bisa menari.”
“Kau hanya perlu menginjak kakiku.”
“Enggak ada musik.”
Si pemuda menegakkan tubuh. Satu tangannya diangkat dan dijentikkan, kemudian ia berkata, “Music.“
Tiba-tiba rembulan dan bintang-bintang menghilang, menyebabkan langit menjadi gelap. Bersamaan dengan itu, muncullah lampu sorot dari balik gelapnya angkasa. Kemudian, terdengar satu ketukan nada, lalu dua, tiga, dan seterusnya sampai membentuk melodi utuh. Si pemuda menggerakkan tubuh sesuai irama. Lampu warna-warni yang menyorotnya silih berganti memeriahkan suasana. Terkadang pemuda itu terlihat energik, terkadang pula terlihat lucu karena menirukan gaya seperti monyet yang menari.
Melihat hal tersebut, Yesa mendengkus. Ia berusaha menahan rasa geli, tetapi gagal.
“Kau mau aku menari kayak gitu? tanyanya. “Enggak, aku enggak mau. Konyol banget.”
Gerakan si pemuda spontan terhenti. Pun dengan irama yang mengalun. Lampu sorot menghilang sementara langit kembali mendapatkan penerangnya. Wajah pemuda itu menyiratkan kekecewaan yang dibuat-buat. Suasana sunyi lagi.
“Oh, maaf, aku lupa. Kau suka yang lebih …. ” Si pemuda berpura-pura mengingat sesuatu. “Elegan.”
Yesa menyengir lalu memalingkan wajah. Ia tak mau ambil pusing dengan kalimat sindiran itu.
Satu suara perempuan terdengar kemudian. Awalnya hanya berupa senandung. Lambat laun nadanya meninggi, selanjutnya senyap. Hati Yesa bergetar. Ia hafal irama pembuka dari lagu kesukaannya.
Ketika gadis itu menatap ke depan, si pemuda telah menyilakan tangannya. Yesa tak kuasa menyembunyikan senyum. Ia akhirnya menyambut maksud si pemuda. Kaki gadis itu melayang di udara untuk sebentar saja, lalu mendarat tepat di atas kaki lawan jenisnya. Sebelah tangannya terpaut rapat bersamaan dengan pinggang ramping yang diraih pemuda tersebut.
“Siap?”
Dengan senyum lebar dan mata berbinar, Yesa mengangguk tanpa ragu.
“Siap.”
Lalu, suara perempuan tadi kembali terdengar. Kali ini disertai musik pengiring. Cahaya rembulan menyorot setiap muda-mudi itu berpindah tempat. Yesa memang tak mengerti bahasa asing yang dilagukan si penyanyi perempuan. Akan tetapi, ia sangat menikmatinya. Juga, menikmati setiap ayunan tubuhnya di udara yang seirama dengan gerakan si pemuda.
Pada gerakan memutar selanjutnya, secercah cahaya menyelubungi tubuh pasangan tersebut. Seiring pudarnya cahaya keemasan itu, penampilan Yesa berubah. Ia yang awalnya hanya mengenakan kaus kebesaran dan celana pendek, menjadi gaun mengembang layaknya putri di negeri dongeng. Si pemuda pun kini mengenakan kostum laksana pangeran.
Dan, secara ajaib Yesa mampu mengikuti irama lagu tanpa harus menginjak kaki si pemuda lagi. Muda-mudi itu terus menari sembari saling tatap di bawah langit malam bersama kelap-kelip bintang.
Yesa sendiri tak mengerti apa yang menjangkiti dirinya. Tiba-tiba saja ia ingin waktu terhenti untuk malam ini saja. Iris violet si pemuda yang membius terlalu sayang untuk dilewatkan begitu cepat.
Dari sana, gadis itu seperti melihat kembali dirinya di masa lalu. Perjumpaan dengan si pemuda yang mengaku sebagai peri penolong menjadi awal mula perubahan hidupnya. Yesa yang dulu selalu menderita di bawah siksaan sang ibu tiri seolah-olah menjelma sebagai Cinderella dengan segala keberuntungannya.
Dan … Abrakadabra! Hanya dengan sekali jentikan, sang ibu tiri yang kejam berubah perangai. Tak ada lagi teman-teman sekolah yang merisak. Ia yang dulunya dikenal tak pandai bergaul berganti status menjadi siswi populer. Lalu, permohonan terakhir yang merupakan impiannya sejak dulu telah terwujud.
Yesa puas. Sangat puas. Ratusan malam ia habiskan bersama si pemuda dengan segala keajaibannya.
Hati Yesa kembali berdesir. Pemuda itu, peri penolongnya, adalah hal yang tak terduga. Yesa tersenyum getir.
Andai saja ….
“Jangan menyesali apa pun yang sudah kauputuskan. Itu hanya akan memberatkan hati.”
“Enggak. Enggak akan.”
“Bohong. Tadi kudengar—”
“Itu tadi. Sekarang enggak.” Yesa memotong sebelum tubuhnya diputar kemudian kembali ke pelukan si pemuda. “Makasih buat semuanya.”
Si pemuda tak menyahut. Ia enggan melepas pandangan Yesa padanya. Senyum manis itu mungkin adalah yang paling tulus selama ia mendampingi si gadis.
Musik masih mengiringi tarian mereka. Suara si penyanyi perempuan terdengar begitu menghanyutkan, melenakan benak yang mendengar.
“Terima kasih telah menjadi peri penolongku. Terima kasih telah mengabulkan semua permintaanku. Terima kasih telah memberikanku kesempatan untuk merasakan kehangatan seorang ibu, teman-teman, dan … kekasih hati. Terima kasih atas ratusan malam yang kauhabiskan untukku yang merepotkan ini. Terima kasih banyak.”
Pernyataan itu membuat pikiran si pemuda kosong sesaat. Ia tersenyum samar kemudian.
“Baiklah, kuakui kau tidak cocok memakai gaya bicara seperti itu. Tapi bukan berarti gaya formalku sangat kuno seperti katamu dulu.” Si pemuda terkekeh-kekeh, diikuti Yesa.
“Aku terima pernyataanmu tadi,” lanjut si pemuda. “Aku tahu kau gadis yang kuat.”
Yesa mengangguk. “Sudah pasti.”
Lagu yang mengiringi mereka telah melewati bagian klimaksnya. Kini, hanya terdengar instrumen musik tanpa syair. Sorot cahaya rembulan perlahan memudar. Sembari memutar pelan, tubuh muda-mudi itu semakin mendekat dengan lantai granit sampai kaki telanjang Yesa menapak di atasnya.
Alunan suara telah berhenti sepenuhnya. Hening kembali merajai. Yesa menatap kosong ke depan, ke tempat si pemuda yang menghilang. Peri penolongnya telah pergi.
Semburat jingga dari timur menarik kesadaran si gadis. Bersamaan dengan itu, tubuh dan segala benda di sekitarnya bersinar. Yesa berbalik ke belakang, menghadap rumah megahnya yang bagai istana. Kediamannya itu juga bersinar keemasan. Perlahan–seperti dikuliti–bentuk rumah si gadis kembali seperti semula, menjadi tempat tinggal sederhana tanpa ada tanda-tanda kemewahan. Tak ada lantai granit. Tak ada pilar-pilar yang kukuh. Hanya satu rumah sederhana.
Yesa kemudian meneliti diri. Bentuk tubuhnya kembali seperti dulu, lalu ia meraba wajah. Benjolan kecil-kecil itu telah menempati kedudukannya seperti semula dan sepertinya bertambah satu di pipi kiri. Hidungnya juga menjadi pesek. Kaus yang semula sangat besar, terasa pas di badan. Yesa tertawa lirih.
“Welcome Back, Yes.” (*)
Negeri Gemah Ripah, 9 April 2020
Jum’at, 13:13
Sekar Rahayu adalah nama pena penulis yang menyukai bunga. Saat ini bersemanagat belajar untuk membuat cerpen.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata