Malam Terakhir Seorang Sahabat
Oleh: Santi Astuti
Malam ini adalah malam minggu, seperti biasa, para pemuda di dusun kuningan pasti merayakannya dengan acara kecil-kecilan. Tak mewah memang, namun sanggup membuat kami senang dengan kebersamaan itu. Dan malam minggu kali ini kami membakar singkong dilanjutkan keliling dusun menikmati angin malam.
“Temen-temen, kalo seandainya aku beneran pindah ke Riau, kalian gak akan marah, kan sama aku?” tanya Dewi kepada teman-temannya.
“His! Kamu tuh ngomong apa sih Wot?” Seru Eka menjawab Sewot.
“Ya kalian tau, kan, permasalahan keluargaku gimana? Sekarang orang tuaku udah gak ada Mereka di sana, jadi kemungkinan aku bakalan ikut juga, kan?” ujar Dewi dengan wajah yang muram.
“Udahlah Wi, jangan dipikirin. Kalaupun kamu bakalan pindah ikut orang tuamu, mungkin itu keputusan terbaik buatmu,” timpal Reni menasehati.
“Iya bener itu, toh! Biarpun kita jauh, zaman sekarang kan udah serba canggih, kita bisa whatsapp-an, atau lewat sosmed yang lain juga bisa kan!” seru Nisa menambahkan.
“Eh tapi, aku gak suka. Pasti nanti Dewi lupa ma kita!” bantah Eka.
” Hus! Kamu tuh Ka, kalok ngomong di jaga dong!” jawab Reni.
“Udah-udah kok kalian malah ribut gini sih? Aku kan baru rencana, belum tentu terlaksana, paham?” tutur Dewi menjelaskan.
“Eh! Udah yok, pulang. Udah malem juga nih, keburu ditutup pintu rumahku,” ujar Nisa.
“Yaudah ayok!” seru mereka bersama.
Sesampainya di rumah.
“Assalammualaikmu,” seru Dewi.
“Waalaikumsalam,” jawab kedua paruh baya–kakek dan neneknya.
Dewi terpaksa tinggal dengan mereka lantaran kedua orang tuanya telah pindah ke Riau karena terlibat utang. Alhasil rumah orangtuanya dijual untuk menutupnya.
“Eh cucu Idok udah pulang. Gimana tadi acaranya kok tumben sampek malem banget?” tanya Mbah Kasni—Mbah Putri.
“Iya Mbah, tadi keliling dulu nyari angin sama temen-temen.”
“Angin kok di cari toh? Lah ini di depan kipas angin banyak anginnya.” timpal Kakek Sardi–Mbah Kakung.
“Mbah Kung ini ada-ada aja, masa disuruh ngadepin kipas sih? Yang ada masuk angin nanti,” tutur Dewi sambil ketawa.
“Wi, Mbah mau bicara, bisa?” kata Mbah Kasni.
“Ya ampun Mbah kalok mau ngomong gak usah pakek izin juga gak papa kok. Ada apa emangnya, Mbah?” tanya dewi penasaran.
“Soal rencana kepindahanmu ke Riau,” ucap Mbah Kasni ragu-ragu.
“Entahlah mbah, Dewi juga berat sebenernya, masih pengen di sini, banyak temen, sekolah juga sebentar lagi ujian, belum lagi Mbah Idok sama Mbah Kakung gak ada yang jagain,” ujar Dewi dengan nada yang lemah.
“Mbah ngerti ndok, tapi itu kan maunya orangtuamu.”
“Iya Mbah, Dewi ngerti, nanti coba saya pertimbangin lagi, ya.”
“Ya sudah kalau begitu kamu bersih-bersih, wudhu, lalu tidur. Jangan lupa baca doa sebelum tidur.” ucap Mbah Kakung.
“Okeh asyiap …,” jawab Dewi berdiri dengan tangan bergerak hormat.
Di kamar, sebelum tidur, Dewi masih memikirkan tentang ucapan neneknya tersebut. Bagaimana anak seusianya yang harusnya merasakan hangat pelukan kedua orangtua, harus hidup berjauhan. Masih jelas dalam ingatannya, saat dia berumur 11 tahun. rasa pedih membekas sempurna. Ayahnya yang mencoba mencalonkan diri sebagai kepala desa tak terpilih yang akhirnya meninggalkan banyak utang. Terpaksa mereka harus merantau meninggalkannya bersama kakek neneknya.
“Ya allah, jika memang aku pindah adalah pilihan yang terbaik. Hamba mohon berikanlah umur yang panjang untukku dan orang-orang yang menyanyangiku terutama Kakek dan Nenek serta teman-temanku. Aamiin,” doa Dewi seusai salat.
lalu terlelaplah dia dalam mimpi indahnya.
Keesokan pagi dengan berat hati Dewi memberitahu Mbah Kasni bahwa dia bersedia ikut orangtuanya ke Riau. Lalu mereka berpelukan haru.
Sampai di sekolah dewi terlihat murung sekali, saat diajak bicara pun dia menimpali sekadarnya, tak seperti biasa.
“Eh! Tuh kenapa si Wik-wik?” tanya Erika.
“Eh yang bener Oneng kalok manggil orang entar salah pengertian gimana?” sahut Reni dengan kesal.
“Ye … apa salahnya coba, ya kan bener, Dewi di panggil Wik-wik, sama aja wek …!” ejek Eka menjulurkan lidahnya tak mau kalah.
“Ya … ya terserah kamu Mbak Bambang,” timpal Reni.
“Wot kamu kenapa sih lagi “M” ya? Kok kayanya gak semangat gitu?” ujar Nisa.
“Iya nih! Aku lagi gak mood mau ngapa-ngapain, masih kepikiran soal kepindahan itu,” jawab Dewi. ” Besok lusa aku berangkat,” lanjutnya.
“Ha! BESOK? Kamu gila apa stres sih Wi, kenapa musti secepat itu?” ujar Eka tampak kesal.
“Mau gimana lagi, udah keputusannya begitu,” jawab Dewi datar.
Percakapan mereka terputus karena suara bel masuk terdengar.
Sepulang sekolah Dewi menyiapkan barang-barang yang akan dia bawa.
**
“Janji ya … kamu gak bakalan lupain kita, walaupun udah punya kawan baru, inget kawan lama akan selalu ada,” ucap Reni ketika melepas Dewi di teras depan rumah Kakek-Neneknya.
“Iya aku janji.” jawab Dewi.
“Walaupun jarak memisahkan tapi hati kita akan selalu dekat,” tutur Nisa.
“Dan jangan pernah lupa sama kenangan kita di sini,” Eka menambahkan.
“Iya, iya para bawelku” jawab Dewi.
Akhirnya mereka saling berpelukan, saling mengikhlaskan satu sama lain perpisahan memang selalu menciptakan rasa yang menyesakkan dada. Dan tangisan mereka pun pecah tatkala Dewi memasuki mobil yang akan mengantarkanya.(*)
Santi astuti, lahir di karya sakti, lampung utara lampung.
Akun fb : santi kuningan