Malam Terakhir

Malam Terakhir

Malam Terakhir
Oleh: Whed

Malam itu hujan baru saja reda saat Danny menjemput Henna untuk mengantarnya pulang. Untuk pertama kalinya mereka berjalan berdua. Biasanya, mereka hanya berkomunikasi melalui aplikasi perpesanan. Karena sudah lama menjalin hubungan lewat dunia maya, mereka memutuskan untuk bertemu. Apalagi ternyata mereka tinggal di kota yang sama—yaitu Savannah, Georgia.

Mereka berjalan beriringan di bawah payung yang sama. Jalan yang mereka lewati begitu sepi sebab udara dingin membuat orang-orang lebih memilih duduk di depan perapian. Akan tetapi, bagi Henna, embusan angin yang berasal dari deretan pohon di sisi kiri jalan itu sama sekali tak membuatnya merasa kedinginan.

Pantulan lampu-lampu kuning di dalam air yang menggenang di aspal membuat jalanan tampak berkilau. Henna menganggap kilauan itu adalah pengganti cahaya bintang yang hilang karena tertutup mendung. Dan nyala lampu-lampu kuning yang dipasang pada tiang setinggi dua kali orang dewasa itu cukup menghangatkan mereka.

“Kau bisa pakai jaketku.” Danny mengamati baju tanpa lengan yang dikenakan kekasihnya.

“Tak usah. Aku tak merasa kedinginan,” ujar Henna.

“Kau yakin?”

“Ya, aku sama sekali tak merasa kedinginan,” aku Henna. Rambut panjangnya terkadang terayun tertiup angin.

“Baiklah.”

Setelah itu mereka diam cukup lama, hanya bunyi kecipak air yang terinjak kaki-kaki mereka yang terdengar. Terkadang, air yang terinjak itu memercik, mengenai betis Henna. Akan tetapi, gadis itu menikmati sentuhan titik-titik air yang ia ciptakan dari sepatu hak tingginya.

Beberapa meter lagi mereka sampai di rumah Henna. Tiba-tiba Henna yang berdiri di sisi kanan kekasihnya memperlambat langkah. Ia berhenti sesaat di dekat pohon besar.

Menyadari tak ada suara langkah lain, Danny ikut berhenti. “Ada apa?” tanyanya.

Wajah Henna berubah murung. Ia menatap rumah yang sudah terlihat dari tempatnya berdiri. Ada lampu kecil yang dipasang di depan rumah itu. Itu rumah Henna.

“Aku tak ingin pulang,” sahut Henna. Wajahnya pucat. Ia pun mengeratkan pegangan tangannya, tak mau lepas dari tangan sang pacar.

Danny mengernyit. “Ada apa?” Lelaki itu menggenggam telapak tangan Henna yang berubah dingin.

“Kau kedinginan.”

Tinggal beberapa langkah untuk sampai di rumah Henna. Akan tetapi, Henna malah memundurkan kaki. Ia seperti orang ketakutan saat melihat rumahnya. “Aku tak ingin pulang,” katanya lagi.

“Kau baik-baik saja?” tanya Danny.

Henna tak menjawab. Ia lantas kembali berjalan, tetapi dengan langkah pelan. Di sisi kanannya sudah tampak sebuah kolam dan itu tanda bahwa rumahnya semakin dekat. Saat itu juga, ia ingin berbalik dan berlari. Namun, perempuan itu tak melakukannya.

Dengan tubuh gemetar, Henna berdiri di depan pintu rumahnya. Saat Danny hendak mengetuk pintu, Henna menolak. Perempuan berkulit putih itu bahkan menunggu kekasihnya pergi sebelum masuk ke rumah.

“Aku baik-baik saja. Pulanglah,” kata perempuan itu. Bibirnya sedikit kebiruan.

Danny menurut. Ia menutup payung sebelum pergi, membelah malam dengan berjalan kaki di jalanan yang sepi. Dalam hati lelaki itu menggerutu mengapa kekasihnya harus bekerja sampai malam.

***

Usai pertemuan itu, Danny memutuskan Henna. Ia tak sanggup bila harus menemui perempuan itu malam-malam. Selain dingin, Danny bosan jika harus berjalan bersama di sepanjang jalan. Kekasihnya pendiam dan Danny merasa perjalanannya begitu lama dan sepi.

“Aku tak bermaksud menyakitimu, Sayang,” ucap Danny di telepon.

“Aku menyukaimu, tapi mungkin lebih baik kita berteman saja.”

Setelah itu, ia menutup telepon. Malam itu ia akan tidur nyenyak, tanpa merasakan tusukan-tusukan angin di sekujur badannya. Danny pun mematikan lampu kamar dan bersiap tidur.

Sebelum matanya terpejam, ia mendengar pintu depan diketuk berkali-kali. Danny menggerutu. Ia menyingkap selimut dan berjalan untuk melihat siapa yang mengetuk pintu dengan keras.

Lelaki itu berjalan di ruangan yang minim cahaya sebab lampu-lampu di ruangan itu sudah dipadamkan. Dengan kasar, ia menarik gagang pintu. Namun, ia tak melihat siapa pun di luar. Hanya ada pohon yang tumbuh di halaman rumah lelaki itu yang tampak kehitaman.

“Sialan!” umpatnya. Ia menutup pintu dengan kasar hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring.

Saat berjalan kembali ke kamar, lagi-lagi ia mendengar pintu yang diketuk. Kali ini lebih keras. Danny membalikkan badan.

“Mengganggu saja!” Lelaki itu kembali membuka pintu. Ia terkejut saat melihat kekasihnya berdiri di depan pintu.

“Henna?” Dahi lelaki itu mengkerut. “Kau … kenapa bisa di sini?” tanyanya keheranan.

Henna tak memberi jawaban. Perempuan itu mengenakan baju tanpa lengan dengan pasangan rok di atas lutut—sama seperti malam-malam saat Danny menjemputnya.

“Kau … boleh masuk,” ucap Danny. Ia memandangi kekasihnya yang masih mematung di luar.

“Di sini saja. Aku tak akan lama.”

“Hei, di sini dingin. Masuk saja!”

“Tidak. Aku hanya sebentar.”

Danny menggaruk kepala dengan jari telunjuk. Lelaki berbibir tebal itu sedikit kebingungan. Pertama, mengapa kekasihnya tahu rumahnya, dan kedua, ia begitu ingin tahu mengapa Henna mendatanginya.

“Baiklah, ada keperluan apa kau datang kemari?”

“Maukah kau mengantarku pulang?” pinta Henna.

“Hah?”

“Untuk terakhir kalinya,” lanjut perempuan itu.

Terdengar desahan napas Danny. Ia kesal, tentu saja. Rencananya tidur lebih awal gagal. Ia harus didatangi kekasihnya, mantan kekasih lebih tepatnya, hanya ingin diantarkan pulang.

“Aku akan mengambil kendaraan.”

“Tidak. Aku ingin kita berjalan.”

“Astaga! Ini sudah malam, Henna. Rumahmu cukup jauh dari sini.”

Henna tak peduli dengan keluhan Danny. Ia tetap memaksanya untuk diantar pulang.

Karena Henna memaksa dan tak akan pergi dari tempat itu, Danny pun mengalah. Lagi pula, ini akan jadi malam terakhir lelaki itu bertemu dengan Henna. Lelaki itu mengambil sesuatu ke rumahnya sebelum mengantar perempuan itu pulang.

Akhirnya, seperti malam-malam yang telah lalu, Danny dan Henna kembali berjalan beriringan. Namun, kali ini tidak disertai hujan yang mengiringi.

Setelah lama berjalan, mereka telah sampai di tepi sungai yang airnya tampak begitu tenang. Danny mulai menggandeng tangan Henna. Sementara itu, satu tangannya merogoh saku celana. Tangannya menggenggam sesuatu. Dengan gerakan pelan, ia menarik tangan kanannya yang sejak tadi tersimpan di saku. Pisau lipat berada di genggamannya.

Henna menghentikan langkah di dekat pohon besar yang berdiri di tepi jalan. Ia tersenyum tipis, nyaris tak kentara. “Untuk apa kau bawa pisau itu?”

Danny terdiam sesaat. Ia tergagap, tak mampu menjawab.

“Ini–”

Dengan gerakan cepat dan tiba-tiba, Danny mengangkat tangan. Ia mengarahkan pisau itu kepada Henna. Pisau kecil itu mengenai dada Henna. Namun, tak ada sedikit pun darah yang keluar. Hal itu membuat Danny terperangah.

Lampu-lampu penerangan jalan tiba-tiba padam. Tempat itu menjadi gelap seketika. Daun-daun melambai, menerbangkan anak rambut Henna hingga menutupi wajahnya. Perempuan itu tersenyum.

“Sudah kubilang. Ini malam terakhir kau mengantarku, Sayang.”

Pisau yang menancap di dada Henna pun berpindah ke dada Danny. Lelaki itu tak bisa bergerak, bahkan berlari.

Lampu-lampu kuning yang berjajar di tepi jalan pun menyala. Tampak darah keluar dari dada lelaki berkemeja abu-abu itu. Pandangan lelaki itu perlahan kabur. Akan tetapi, ia masih bisa melihat mantan kekasihnya berjalan menjauh.

Langkah perempuan itu kian jauh. Rambutnya melambai-lambai. Suara entakan sepatu hak tingginya masih menggema, mengantarkan Danny yang perlahan mulai memejamkan mata. Lelaki itu akhirnya tersungkur di jalanan yang dingin dan lembap.(*)

 

Ruang kecil, 15 Desember 2021

 

Whed. Hanyalah nama pena dari seseorang yang menyukai warna hitam. Ia memiliki mimpi yang lebih tinggi dari langit. Ia juga ingin mewujudkan segala ketidakmungkinan menjadi mungkin lewat sebuah tulisan. Jika ingin lebih mengenalnya, boleh menyapa di akun media sosialnya, tetapi jangan menyesal karena ia kadang agak absurd. Facebook: Whed; Instagram: Whed_666; Email: jokewind777@gmail.com.

 

Editor: Dyah Diputri

Pict. Source: https://pixabay.com/id/vectors/taman-malam-senja-lentera-lampu-5490206/

Leave a Reply