Malaikat yang Berdosa
Oleh: Imas Hanifah Nurhasanah
Butir hujan jatuh satu per satu. Bulan kuning gendut perlahan tertutupi awan.
“Buat Mama, kamu malaikatnya,” suara Dion terasa hampa. Dan seperti pisau tumpul yang dipaksa menyayat urat nadi, terdengar menyakitkan di telinga Hani.
“Kakak tahu kan, aku udah gak betah di sana.”
“Iya, tapi kamu gak harus bohong terus. Aku tahu kamu gak suka sendirian, kan.”
“Aku gak pernah bohong!” suara gadis itu meninggi.
Dion hanya diam menunduk. Kepalanya tak henti mencari cara membuat hati adiknya melunak. “Kakak mohon, kamu pulang, Mama sakit dan Mama pengin kamu ada di sampingnya. Dia kangen, pengin denger cerita kamu.”
“Cerita apa?”
“Cerita tentang kamu menangin lomba lukis, tentang pacar kamu yang seorang tentara, tentang semuanya.”
Dion tahu betul itu semua adalah kebohongan. Tapi jika ini bisa membuat adiknya pulang, ia rela. Ia rela melakukan hal yang sama. Terus berbohong. Terus merayu.
Hani terdiam beberapa saat. “Kakak gak pernah tahu, Kakak gak pernah ngerti. Selama ini, Mama salah, Kakak juga, apalagi Papa. Aku gak betah. Aku di sini aja.”
Sementara di luar hujan makin deras, Dion tak kehabisan akal.
“Jika kamu tak pulang sekarang, Kakak gak akan balik lagi ke sini. Kamu bakal sendirian. Dan lagi, Kakak gak akan kirimin kamu uang.”
Hani masih diam. Ia berpikir sebentar. Ada rasa takut yang timbul, bahwa kakaknya akan berhenti menemuinya di sini. Bahwa ia, mungkin akan terkatung-katung di jalanan nanti. Itu kenyataan menakutkan.
“Oke, aku mau pulang.”
Dion tersenyum. Ada harapan kecil yang diyakininya akan menjadi besar. Adiknya, harus disembuhkan.
***
Dion mengendarai mobil dengan hati-hati. Hujan deras membuat pandangannya menjadi terbatas.
“Kak, pacarku yang tentara itu, sebenernya, udah aku putusin lho.”
“Oh, ya?” Dion menanggapi, ia memasang wajah kaget.
“Heemh, lagian dia gitu, Kak, suka main perempuan. Pernah selingkuh dua kali.”
“Ih, amit-amit, Han. Jangan sampe kamu sama dia. Kakak gak setuju.”
“Iya, kak. Untung udah aku putusin hehe.”
Mendengar tawa kecilnya, Dion mendadak merasa sedih. Ah, adik kecilnya, malaikat kecilnya, tumbuh tak sesuai harapan. Seandainya dulu Mama tak bercerai dan menikah lagi, mungkin ini tak akan terjadi. Ah, ia tak bisa menyalahkan takdir. Ia tak boleh melihat masa lampau. Ia harus berjalan ke depan. Kadang, ia menyesali dulu mengapa harus ikut ayahnya, tidak menemani adik kecilnya melewati masa sulit bersama suami baru mamanya yang berarti ayah barunya. Tapi semua sudah lewat.
Mobil menepi. Terdengar helaan napas berat dari Hani. Sepertinya, ia ingin menyiapkan diri.
“Santai aja, Han, Mama sakit ringan, tapi yang bikin berat itu ya, kangennya dia sama kamu.”
“Ih, kakak bisa aja, hehe. Aku kaget juga Mama sakit dan pengin aku pulang. Kalo lagi sehat dan sibuk, boro-boro.”
“Udahlah, yuk masuk!”
Tepat ketika pintu dibuka, Mama menyambut mereka. Hani segera mendapat pelukan hangat dan erat. “Sayang, Mama kangen. Jangan pergi-pergi lagi, ya.”
Hani segera melepaskan pelukan. “Iya, Ma, Hani janji gak bakal pergi lagi.”
Kemudian, mata gadis itu tertuju pada seorang perempuan yang berdiri bersama papanya. Siapa dia?
“Kenalin, Sayang, ini perawat yang bakal jagain Mama. Ya, jagain kita semua juga, sih,” papanya langsung bicara, seakan tahu rasa penasaran itu tengah menyerang Hani.
“Emang Mama sakit apa?”
“Enggak kok, Sayang, Mama cuma sakit ringan. Tapi gak ada salahnya kan kita sewa perawat, biar kesehatan Mama dan kesehatan keluarga kita terjaga.”
“Oh, bagus kalo gitu. Hani masuk kamar dulu, ya, Mama istirahat gih!”
“Iya, Sayang.”
Setelah pintu kamar Hani tertutup, semua orang di ruangan saling bertatapan.
“Saya akan melakukan pendekatan kepada Hani. Perlahan, saya akan beri tahu dia mengenai kebiasaan berbohongnya itu adalah bagian dari gangguan kejiwaan. Kita semua harus bekerja sama. Jangan sampai menyinggung perasaannya. Gangguan kejiwaan memang tidak disembuhkan. Tapi bisa diatasi, bisa dikendalikan, itulah kenapa disebut gangguan, bukan penyakit. Kita hanya harus membuatnya bisa menerima keadaan dan selalu mendampingi.”
Semua orang mengangguk. (*)
Tasikmalaya, 2018
Imas Hanifah Nurhasanah. Wanita kelahiran 22 tahun silam ini bercita-cita menjadi penulis sejak kecil. Ia juga menyukai jus alpukat, kucing, dan kelinci.
Keinginannya menulis berawal dari kebiasaan sang ibu yang terus memberinya buku bacaan ketika masih di Taman Kanak-kanak. Majalah Bobo, Mangle dan bacaan lainnya.
Ia bisa dihubungi via sosial media di Facebook: Imas Hanifah N atau Ig: @hanifah_bidam.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata