Malaikat Pelindung?

Malaikat Pelindung?

Malaikat Pelindung?
Oleh : Hertiya

Kurasakan kedatanganmu secara tiba-tiba melalui cahaya yang muncul di samping pembaringan. Kamu ikut berbaring bersamaku yang lemah di atas kasur nyaman bagi para pasien. Samar, kulihat wajahmu tersenyum. Entah apa arti dari senyummu itu.

“Hai, Rachel.”

Dari mana kamu tahu namaku?

Aku mengerjapkan mata, berusaha melihatmu lebih jelas. Ada perasaan asing saat melihat wajahmu secara keseluruhan dalam jarak yang lebih dekat. Wajah yang menurutku bercahaya dan menyejukkan hati.

Kemudian sayapmu yang putih dan lembut menumpu kepalaku sebagai bantalan. Ah, ya. Kamu memiliki sayap. Kamu tahu? Rasanya begitu nyaman. Setelah itu, aku kembali melihat senyumanmu. Kali ini lebih jelas.

Diri ini berusaha sadar dengan siapa aku sedang berbaring saat ini. “Kamu siapa?” tanyaku pelan hampir tak terdengar.

Lagi-lagi kamu tersenyum. Ah! Lalu berkata, “Aku … pelindungmu, mungkin.”

Dahiku mengernyit. Pelindung?

Ini sungguh membuatku bingung. Terlebih saat kamu mengelus pucuk kepalaku dengan lembut hingga rasanya semua sudah gelap.

Terbangun akibat aroma obat yang kembali menusuk indra penciuman. Mataku masih terasa berat untuk terbuka sempurna. Akan tetapi tiba-tiba saja aku kembali dikejutkan oleh sosokmu yang lagi-lagi hadir.

“Ini hari kedua aku menemui, bukan?” tanyamu sambil melangkah pelan ke arahku.

Tunggu, kenapa derap langkahmu tidak kudengar?

Aku masih bungkam. Menatapmu dengan sedikit takut, karena kamu selalu hadir dengan tiba-tiba.

“Sebenarnya ka-kamu si-siapa? Kenapa selalu datang tanpa kuminta?” Aku beringsut menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuh. Meremasnya dengan kuat akibat perasaan yang mulai cemas.

“Aku datang karena diperintahkan,” jawabmu. Tubuhmu mendarat di atas kursi yang ada di samping tempatku berbaring.

“Jangan takut, Rachel,” lanjutmu menggenggam jemariku. Rasanya begitu hangat saat kamu memeganginya.

Sayap itu kemudian mengepak. Membuat mataku membulat. “Apa itu tadi?” tanyaku heran.

“Aku harus pergi. Nanti aku akan menemuimu lagi, Rachel. Sampai jumpa.” Kamu menutup mataku dan … saat kubuka kembali, tiba-tiba saja kamu menghilang dari pandangan, berganti dengan sosok perawat yang sedang mengganti cairan infusku.

Ke mana kamu? Apa semua ini? Apa aku bermimpi? Apa aku berhalusinasi? Argh, ini sungguh membuatku sakit kepala karena terus memikirkannya.

Hari ini sungguh membosankan dan membingungkan. Diri ini masih belum bisa mencerna kejadian yang baru saja dialami. Sesosok malaikat—ya, bisa kukatakan begitu—yang berbicara padaku. Dia yang katanya berperan sebagai pelindungku.

Memikirkan ini semua sungguh menyita waktu, hingga tak sadar hari sudah mulai gelap. Kusuap makanan yang terasa hambar di mulut. Sesekali menyapu ruangan yang tampak sepi. Apa aku menunggu kamu? Yang benar saja, aku menunggu sosok yang bahkan mungkin orang lain tak melihatnya.

“Apa kamu menungguku?”

Deg!

Sup yang ada di hadapanku tumpah karena dengan tak sengaja aku menyenggolnya. Hal ini disebabkan oleh suaramu yang tiba-tiba terdengar dan membuatku terkejut.

Kurapikan sisa makanan dan menyimpannya di samping meja dekat tempatku berbaring. “Kamu?”

“Iya, Rachel. Aku kembali. Bagaimana harimu? Apakah menyenangkan?” tanyamu berjalan memutar ke sebelah kiri.

“Jangan dekati aku! Pergi!” teriakku padanya. Sayap itu lalu mengepak pelan. Entahlah, aku tak tahu apa maksudnya.

Wajahmu memancarkan senyum indah, namun membuatku takut. “Jangan takut. Aku akan menjagamu.”

Aku menggeleng kuat. “Tidak! Pergi dari sini! Jangan menemuiku lagi!” bentakku padamu. Tubuh ini lalu kututupi dengan selimut.

Kemudian kurasakan kamu menyentuh kepalaku. “Jangan takut, Rachel. Kita adalah teman,” katamu lagi.

Teman? Teman macam apa ini? Kehadirannya saja tak kuinginkan.

“Walau kamu tak menginginkan kehadiranku, tapi aku menganggapmu teman. Dan aku akan melindungimu.” Kamu berkata seakan-akan tahu apa yang sedang kupikirkan.

Kubuka perlahan selimut yang menutupi tubuh. Menatap wajahmu dengan ragu, kemudian kamu ikut berbaring bersamaku seperti kali pertama kamu menemuiku malam itu. Anehnya, aku tak protes terhadap apa yang kamu lakukan. Justru memberimu ruang untuk lebih dekat denganku.

Aku tersenyum dan kamu melakukan hal yang sama. Matamu menyipit sebab senyum itu kian merekah. Apa arti semua ini? Apakah kamu benar-benar malaikat pelindung? Atau … justru malaikat yang ditugaskan Tuhan untuk membawaku menghadap kepada-Nya? (*)

Bogor, 10 Juli 2020

Hertiya itu perempuan penyuka makanan berbahan dasar kentang.

Editor : Fathia Rizkiah

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

Leave a Reply