Makan Malam

Makan Malam

Makan Malam

Penulis: Ika Marutha

 

“Apa ini? Kau bilang menu hari ini sup ayam, mana ayamnya?” Isabel mengaduk-aduk isi mangkuk yang terhidang di hadapannya lalu membanting sendok. Dia kehilangan selera makan malam ini.

“Halah, gayamu! Seperti punya gigi saja untuk mengunyah daging ayam,” seloroh Boa yang duduk di sebelah Isabel. Dia mengangkat sendok dan menyuapkan cairan sup yang hangat ke dalam mulutnya.

“Hmmm, sup ini terasa berbeda, Susana. Kau memasaknya lebih enak dari biasanya.”

Susana yang berdiri di dapur tak jauh dari mereka, tersenyum. “Habiskan supmu, Boa. Aku sengaja memasaknya mengikuti seleramu.” Susana lalu melepas celemeknya untuk bergabung di meja makan bersama kedua sahabatnya. “Sebentar lagi. Sebentar lagi aku akan punya gigi.” 

Sudah puluhan tahun mereka bertiga hidup bersama di rumah peninggalan almarhum suami Susana. Tak ada masalah baginya untuk menghidupi sahabat-sahabatnya. Harta warisan sang suami cukup banyak untuk biaya hidup tujuh turunan sekalipun. Sayang, mereka kini sudah terlalu tua untuk menghasilkan keturunan baru.

“Gigi palsu maksudmu? Jangan pernah sebut benda terkutuk itu lagi!” Isabel kembali menggerutu. Baru kemarin dia mengalami kejadian memalukan gara-gara benda itu. Gigi palsunya copot tepat di saat dia memamerkan senyum cemerlangnya kepada Finnegan, pemuda perlente yang tinggal selang satu rumah darinya. Ah, sayang sekali, seandainya dia tidak lahir 50 tahun lebih cepat,  mereka pasti akan jadi pasangan yang sempurna. Oh, Finneganku. Air liurnya nyaris menetes setiap Isabel memikirkan pemuda itu.

Meong!

Exo si kucing, mengeong berisik sambil menggesek-gesekkan badannya ke kaki Isabel.

 

“Isabel! Kau tahu aku paling tidak suka jika kucing itu mengganggu makan malamku.” Boa menggerutu.

“Jangan berlebihan, Boa. Exo hanya ingin bersamaku.”

Isabel memungut kucingnya dan berbicara padanya, “Kau cemburu karena aku memikirkan yang lain, ya, Sayang?” Isabel menciumi Exo si kucing sebelum membiarkannya mendengkur kesenangan di pangkuannya.

“Hei, kalian para wanita tua! Aku serius dengan kata-kataku. Aku tidak bicara tentang gigi palsu, melainkan gigi utuh sungguhan. Tidak hanya gigi, tapi juga kulit, rambut, semuanya akan kembali seperti dahulu lagi. Masa mudaku akan kembali. Ucapkan selamat tinggal pada gigi palsu, kerutan, encok, rambut rontok ….”

“Kau sudah menemukan caranya? Kau berhasil bertanya kepada … siapa nama gadis penyihir itu, ah, Wanda?” Boa bertanya penuh semangat.

“Haish! Lupakan dia. Apa yang bisa dilakukan seorang penyihir yang sudah kehilangan nyali? Aku bertemu dengan seseorang yang lebih kuat!”

“Hah? Siapa? Bagaimana? Katakan kepadaku detailnya!” Isabel bertanya curiga.

“Aku akan menunjukkannya langsung kepadamu!” Susana tersenyum penuh rahasia seraya mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Sebuah botol kecil. “Ramuan ini akan membuatku muda kembali.”

“Berikan kepadaku ramuan itu!” Boa memekik seraya melompat ke depan, menerjang piring-piring dan gelas-gelas yang ada di meja makan. Tangannya berusaha menggapai botol kecil berisi cairan berwarna hijau berkilau yang ada di genggaman Susana.

Susana dengan segera menyembunyikan botol itu ke dalam dekapannya.

“Tidak! Untuk apa kau membutuhkan ramuan ini? Kau hanya akan menghabiskan waktu untuk bersembunyi di kamarmu yang bau, seperti yang sudah kau lakukan selama 50 tahun terakhir ini.”

“Justru karena itu, akulah yang paling berhak akan ramuan itu. Kumohon. Aku sudah menyia-nyiakan lebih dari separuh hidupku menatap langit-langit bocor di kamarku dan saat aku merasa muak dan ingin melihat dunia lebih banyak lagi, aku sudah terlalu renta. Tulang kakiku tak sanggup lagi berjalan lebih jauh dari pagar rumah kita.” Boa mulai menangis mengiba. Bibirnya yang keriput semakin tambah kisut.

“Itu salahmu sendiri! Ramuan ini milikku! Milikku! Kau tidak tahu apa yang sudah kukorbankan demi ramuan ini.” Susana berteriak sampai urat di lehernya menonjol. Matanya mendelik seperti mau keluar. Sekali lagi dia ingin mengulangi kehidupannya. Dengan tubuh yang muda, dia bisa mewujudkan mimpinya akan seorang anak yang lahir dari rahimnya sendiri. Dia menyesali kebodohannya untuk tidak menikah lagi. Hidup tanpa suami tidaklah buruk, tetapi tanpa anak-anak? Hampa.

“Apa yang sudah kau lakukan, Susana?” Isabel bertanya. Ada getar ketegangan dalam suaranya yang tenang. Posisinya memang tidak berubah. Dia masih duduk bersandar di kursinya sambil mengelus-elus kepala Exo. Namun, dia menatap Susana seakan-akan sedang memandangi bom waktu.

Hening. Bahkan Boa menghentikan histerisnya. Semua mata tertuju kepada Susana, termasuk juga Exo. Entah bagaimana, kucing itu juga menyatakan ketertarikannya dengan jelas ke arah Susana. Tidak biasanya.

Susana menunduk. “Aku melakukan pertukaran.”

“Apa yang sudah kau tukar demi menjadi muda?” tanya Isabel lagi.

“Milikku yang paling berharga.”

“Kau tak punya apa pun yang cukup berharga selain persahabatan kita!” Boa mendesis.

“Tepat sekali!” Susana menyeringai. Tak ada kata-kata yang sesuai untuk menggambarkan suasana hatinya sekarang. Tak ada yang dapat memahami bagaimana atau kenapa Susana menyeringai sambil bercucuran air mata. Sedetik kemudian, dia tertawa dengan suara paraunya yang khas sementara air mata terus mengalir membanjiri pipi.

“Maafkan aku, sahabatku, Boa. Anggaplah ini hadiah terakhir dariku untukmu. Jangan takut! Ini adalah kematian paling indah yang bisa kau dapatkan. Pergilah dengan tenang. Songsong malaikat mautmu dengan senyum. Aku tahu betapa kau membenci kehidupan. Rasanya melelahkan, bukan? Pergilah, Boa. Kini kau bebas pergi ke mana pun kau mau.”

“K-k-kau! Supnya … sialan kau Susana! Aku, aku ….” Boa terjatuh sambil memegangi lehernya dan dengan tangan lainnya, dia menunjuk Susana. Tubuhnya gemetar menahan emosi juga rasa nyeri tak tertahankan akibat racun yang ditelannya. Terakhir, dia memuntahkan darah hitam pekat sebelum rebah sepenuhnya. Tak bergerak. Selamanya.

“Boa!” Isabel bangkit dari kursinya. Dia terpaku menatap mayat Boa di lantai.

“Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku. Boaaa!”

Susana melengking dengan suara mengerikan. Setelahnya, dia menghapus sisa-sisa air mata, lalu mengangkat botolnya tinggi-tinggi. Matanya membulat, mengagumi kilau warna cairan di dalamnya yang berpendar.

“Kau akan selalu ada di dalam hatiku, Boa. Aku tidak akan pernah melupakan pengorbananmu. Sekarang waktunya. Masa muda, kecantikan, aku datang.” Susana membuka tutup botol dan meneguk isinya.

Tegukan pertama, lehernya terasa seperti terbakar. Seolah-olah dia sedang menelan ribuan jarum berapi. Meski demikian, Susana tidak berhenti sampai tetes terakhir.

“Aargh!” Dia menjerit sambil mencakari wajahnya sendiri. Kini rasa panas yang membakar itu menjalar ke setiap pori-pori tubuhnya. Tidak tertahankan! Apa dia akan mati? Apakah kematian terasa seperih ini? Ini neraka!

Isabel memandang dari sudut ruangan dengan pucat pasi. Oh, inikah yang harus dia jalani? Demi apa? Apa artinya kecantikan jika harus menanggung beban derita seberat itu?

Asap mengepul keluar dari tubuh Susana yang mendidih. Semakin tebal asapnya, semakin lemah jeritannya terdengar. Hingga asap menyelubungi seluruh tubuhnya, juga suaranya. Isabel menunggu. Apa yang terjadi selanjutnya?

Sesosok tubuh bangkit dan keluar dari kepulan asap. Rambut hitam lebat tergerai, mata indah bagai bintang, kulit bercahaya selembut sutra.

“Susana? Kaukah itu?” Isabel tak berkedip. Ramuan itu nyata! “Bagaimana perasaanmu?”

“Isabel, aku hidup!” Susana tersenyum gugup. Dia meraba-raba wajahnya, rambutnya, kulitnya, terpesona dengan apa yang ditemukannya.

“Bagus! Kalau begitu, aku juga.”

“Kau juga? Apa maksudmu?” Susana mengerutkan dahi.

“Kau juga!” Susana terbelalak. “Apa yang kau korbankan?”

Isabel tersenyum samar. Dia mengeluarkan botol yang sama seperti milik Susana dan dengan cepat meneguk isinya. Peristiwa yang sama terulang. Kali ini terjadi pada Isabel. Dimulai dengan jeritan, asap, lalu sesosok gadis cantik muda belia keluar seperti seekor kelinci yang tiba-tiba muncul dari dalam topi pesulap. Isabel versi awal dua puluhan. Dada penuh, senyum menawan dengan gigi putih cemerlang, lengkap, utuh, asli! Finnegan pasti tak akan lagi sanggup berpaling, katanya dalam hati.

“Aku berbeda denganmu, Susana. Aku tidak akan mengorbankan sahabatku sendiri hanya demi kecantikan.” Isabel melirik pada Exo. “Kesayanganku hanya menuntut menu makanan yang berbeda.” Bayangan jasad rusak seorang pemuda sekelebatan melintas di benaknya. Terlalu muda untuk mati, decaknya dalam hati, tapi gadis itu sudah melakukan yang seharusnya dilakukan. Tak ada gunanya kehidupan bagi seseorang yang kerap menghajar adik kandungnya. Setidaknya Isabel bersyukur karena tidak perlu susah payah melakukan pembunuhan itu sendirian.

“Exo?” Susana mengalihkan pandangan kepada Exo si kucing. Seakan-akan tak cukup keganjilan yang terjadi malam itu, sesuatu yang mencengangkan terjadi pada Exo. Kucing itu menggeliat. Tak ada yang aneh dari kucing yang menggeliat, kecuali tubuhnya yang mendadak membesar, membesar, dan terus membesar.

“Kau beri makan apa dia?” tanya Susana sambil bergeser berlindung di balik punggung Isabel.

Exo tak berhenti tumbuh dan berubah perlahan-lahan. Dari kepalanya, mencuat tiga tanduk dan kaki-kaki kucingnya menjelma seperti kaki sapi .

“Isabel, Susana, telah kukabulkan impian kalian.” Exo, bukan, sang Iblis, memandangi keduanya dengan mata merah berkilat-kilat dan liur menetes-netes.

“Ribuan impian manusia telah kukabulkan tapi tak ada yang mampu memuaskan dahagaku. Aku mau lagi. Lebih banyak lagi!” Sang Iblis mengaum, lalu membuka rahangnya yang luar biasa besar. Kemudian, tanpa peringatan, dia menelan Isabel dan Susana.

Bionarasi:

Ika Marutha, alumni Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret angkatan tahun 2000, mulai aktif menulis setahun terakhir. Beberapa cerpennya pernah dibukukan dalam antalogi bersama penulis lainnya.

 

Editor: Erlyna

Sumber gambar: Pinterest.com

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply