Makan Bangkai
Oleh : Musryfatun
Pagi itu, seperti biasa, kami—ibu-ibu—berbelanja kebutuhan lauk-pauk pada abang tukang sayur yang setiap pagi mangkal di di jalan gang kecil tempat kami tinggal.
Sialnya, saat itu aku keluar bersamaan dengan Bu Erna yang juga keluar dari rumahnya. Biasanya, aku menunggu Bu Erna selesai belanja baru akan keluar menemui abang sayur.
Bukan apa-apa, aku hanya malas mendengar ocehan wanita bertubuh gempal itu. Hampir setiap bertemu, pasti ada saja gosip yang ia sebarkan. Entahlah, mungkin ia semacam admin di fans page akun gosip.
Sebenarnya sudah dari setengah jam lalu aku mengintip ibu-ibu yang berbelanja dari balik kaca jendela rumah. Tak ada Bu Erna di sana. Pikirku, mungkin wanita itu sedang pergi sehingga tidak berbelanja seperti biasanya.
“Eh, Bu Rifa, tumben nih, kita barengan. Biasanya juga Bu Rifa belanjanya nunggu saya pulang dulu, ‘kan? Kenapa sih, Bu? Kayak sensi gitu sama saya.” Benar dugaanku, Bu Erna langsung nyerocos, memberondongku dengan banyak pertanyaan.
“Ah, gak juga sih. Kebetulan aja saya keluar pas Bu Erna udah selesai belanja,” ujarku sambil berusaha tersenyum seramah mungkin. Ya, walaupun dalam hati aku tak suka atau cenderung membenci Bu Erna, tetapi aku tetap menghormatinya sebagai tetangga, juga sebagai orang yang usianya lebih tua dariku.
“Oh, ya syukur deh kalau gitu, saya pikir Bu Rifa benci sama saya. Yah, secara saya ini kan orangnya ceplas-ceplos, beda sama Bu Rifa yang irit bicara,” ucapnya lagi sambil melirik sinis ke arahku.
Cepat-cepat aku mengambil sayuran dan bumbu yang kubutuhkan lalu meminta abang sayur untuk menghitung belanjaanku.
“Saya permisi dulu, ya, Bu. Takut Riza bangun, dia di rumah sendirian. Soalnya Abang udah berangkat kerja. Assalamualaikum, ibu-ibu,” ucapku pada ibu-ibu yang masih asyik mengobrol sambil memilih sayuran. Mereka menjawab salamku serentak.
Sayup-sayup terdengar namaku disebut-sebut saat aku telah meninggalkan mereka sejauh beberapa meter. Tak apalah, meski jengkel, setidaknya aku senang tidak ikut makan bangkai bersama mereka.
***
Selesai memasak, aku duduk di kursi teras sambil menyuapi Riza yang masih berusia satu tahun. Melihat Anak itu makan dengan lahap, membuatku sedikit melupakan suasana hati yang mendung akibat bertemu dengan Bu Erna pagi tadi.
Belum habis makanan di piring kecil Riza, terdengar seseorang memanggil namaku dari depan pagar. Kugendong Riza sambil terus menyuapinya.
Tampak Bu Erna bersama dan Bu Yuni, tetanggaku yang lain.
“Eh, ibu-ibu. Mari, silakan singgah,” ujarku sambil membukakan pintu pagar. Mereka berdua sepertinya baru pulang dari warung, terlihat dari barang bawaan mereka di dalam kantong kresek bening berisi barang kebutuhan rumah tangga.
Basa-basi saja aku menyuruh singgah, sebenarnya aku enggan bertemu mereka, terutama Bu Erna.
“Ya ampun, kasihan banget sih, Bu Rifa. Masih harus nyuapin sambil gendong begini.” Bu Erna berkata sambil mencolek pipi Riza. Anak itu menangis, ia memang tak suka dicolek oleh orang yang jarang bertemu dengannya.
“Eh, ini tadi saya ….”
“Kalau saya sih, ya. Anak segini udah saya latih makan sendiri pakai kursi bayi. Capek banget kalau makan mesti digendong begini. Bu Rifa gak beliin Riza kursi bayi, ya?” Wanita bertubuh tambun itu menimpali lagi sebelum aku sempat menyelesaikan kalimat.
“Tiap anak kan beda-beda, Bu,” ujar Bu Yuni. Beliau memang salah satu tetangga yang juga irit bicara sepertiku.
“Iya, Bu. Lagian saya masih kuat kok gendong Riza. Anak saya juga baru satu ini kok, belum terlalu repot.” Lagi-lagi, aku berucap sambil memaksakan senyum. Entah mereka menyadari atau tidak.
Saat tengah berbincang, sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah Bu Erna. Tak lama, seorang perempuan mengenakan gamis serta jilbab longgar turun dari dalam kendaraan roda empat itu.
Aku langsung bisa mengenali siapa yang datang saat sekilas tadi wanita berjilbab longgar itu melihat ke arah kami. Dialah Betty, putri tunggal Bu Erna.
Meski sedikit terkejut, aku senang melihat perubahan cara berpakaian Betty. Terakhir kami bertemu sekitar satu tahun lalu saat dia libur kuliah dan pulang kampung. Gadis itu menempuh pendidikan di seberang pulau. Jadi hanya pulang setahun sekali.
Saat itu, sehari-hari Betty mengenakan kaos ketat serta celana super pendek, sehingga pahanya yang putih mulus dapat terlihat oleh siapa pun. Saat keluar rumah pun, Betty enggan mengganti pakaiannya dengan yang lebih tertutup.
“Maklumlah, dia kan sekarang jadi cewek kota.” Begitu kata Bu Erna saat beberapa tetangga ada yang berkomentar tentang cara berpakaian Betty.
“Eh, Ibu-ibu saya pulang dulu, ya. Ada tamu,” ucap Bu Erna.
“Itu kayaknya si Betty, ya?” tanya Bu Yuni. “Kok berubah drastis gitu, ya?” lanjutnya lagi.
“Ya bagus, dong, Bu. Itu namanya berubah ke arah yang lebih baik,” ujarku.
“Itu anak pulang kok nggak bilang-bilang, ya?” ucap Bu Erna sambil bergegas menuju rumahnya.
***
Pukul tujuh pagi, abang sayur sudah mangkal di jalan depan rumah seperti biasa. Aku mengintip dari balik jendela kaca, sudah beberapa hari ini tidak terlihat Bu Erna berbelanja di sana. Kuputuskan keluar rumah setelah memasang jilbab kaos instan.
“Bu Rifa, sudah dengar kabar belum?” tanya Bu Yuni yang kebetulan sedang berbelanja juga, memilih sayuran segar.
“Kabar apa?” tanyaku.
Bu Yuni lantas membisikkan sesuatu ke telingaku.
“Astaghfirullah.” Aku bergidik mendengar kalimat Bu Yuni.
“Makanya sekarang dia gak pernah keluar rumah. Pasti malu, tuh,” kata Bu Yuni lagi.
“Jangan suudzon dulu, lah, Bu. Kita kan baru dengar kabar burung, belum tentu kabar yang kita terima ini benar adanya,” ujarku.
“Halah. Biar tau rasa dia tuh. Biar gak seenaknya aja ngomongin orang. Sekarang, anaknya sendiri yang punya aib.” Ibu-ibu lain menimpali.
Kembali kulafazkan istigfar dalam hati. Tak tenang rasanya berlama-lama ikut makan bangkai bersama mereka.
“Saya permisi dulu, ya, ibu-ibu.” Aku bergegas meninggalkan mereka.
Sesampainya di rumah, gawai di atas nakas berdering pertanda ada panggilan masuk.
Tertera nama Bu Erna di layar. Tumben dia menelepon, apa ada sesuatu yang penting?
Kuucapkan salam saat panggilan sudah tersambung.
“Bu Rifa, maaf saya mau minta tolong, bisa?” Bu Erna berkata dengan suara parau.
“Aduh, Ma … sakiiit ….” Terdengar suara lain di sana. Sepertinya itu suara Betty.
“Halo, Bu Rifa?”
“Eh … iya, Bu. Insya Allah saya akan bantu sebisa saya. Ibu mau minta tolong apa?” tanyaku.
“Apakah Bu Rifa bisa mengantar Betty ke rumah sakit? Saya sedang tidak punya uang untuk membayar taksi ….” Terdengar isak tangis dari seberang telepon.
“Ya Allah, memangnya Betty kenapa, Bu?”
“Betty … Betty mau … melahirkan, Bu.”
Air mataku luruh seketika. Ternyata benar kabar yang kudengar tadi pagi.
“Ba-baik, Bu. Saya akan segera ke rumah Ibu.”
Sebagai satu-satunya warga yang memiliki kendaraan roda empat di gang ini, tak elok rasanya jika menolak memberi bantuan kepada tetangga yang membutuhkan.
Kata terima kasih bertubi-tubi Bu Erna ucapkan. Kebencian yang selama ini menggunung seakan menguap begitu saja digantikan rasa iba atas musibah yang menimpa Bu Erna. Wanita itu pastilah menanggung malu yang amat sangat. Gadis yatim yang selama ini ia bangga-banggakan, tega mencoreng muka ibunya sendiri.
“Bu, tolong nanti jangan bilang-bilang sama tetangga kalau Betty melahirkan, ya. Setelah ini, saya akan bilang ke orang-orang kalau anak Betty itu adalah anak keponakan saya dari kabupaten sebelah.” Bu Erna berkata saat kami duduk di ruang tunggu rumah bersalin. Ia tidak tahu, bahwa kabar tentang Betty sudah menyebar, layaknya aroma bangkai tertiup angin.
Aku tak mampu menjawab, hanya kuberikan sebuah senyuman kecil kepadanya.
Seringkali, orang-orang yang gemar mengumbar aib orang lain, akan sangat erat menutupi aibnya sendiri. Terkadang mereka lupa, bahwa bagaimanapun bangkai ditutup, baunya akan tercium juga.(*)
Indragiri Hilir, 18 Juli 2020
Musyrifatun,Seorang ibu rumah tangga yang suka mengisi waktu luangnya dengan membaca dan menulis, karena melalui dua hal tersebut ia bisa menambah ilmu, wawasan dan juga banyak teman.
FB : Musyrifatun Darwanto
Editor : Uzwah Anna
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata